Virus Jokowi-Ahok terus mewabah. Keduanya membuat publik terkagum-kagum dengan sejumlah gebrakan yang tak biasa. Publisitas tentang pasangan ini di ruang publik (media) pun seperti tak ada habisnya. Selalu dinanti, seolah hanya ada satu provinsi di negeri ini: DKI Jakarta.
Ibarat berita tentang selebriti kondang, berita Jokowi-Ahok sangat laku dijual oleh media, ratingnya bagus kerena memang perhatian publik sedang tersedot oleh keduanya. Penyebabnya sederhana, publik negeri ini sudah lama rindu kehadiran sosok pemimpin yang merakyat dan mau turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluh kesah rakyatnya, mau bekerja dan tak hanya bisa mengumbar janji, serta tegas dan cepat dalam menyelesaikan masalah.
Pasangan Jokowi-Ahok ibarat oase di tengah gersangnya padang pasir, pemuas dahaga publik akan kehadiran sosok pemimpin dengan tipikal yang mampu memenuhi ekspektasi mereka yang sudah muak dengan kebanyakan pemimpin negeri ini, yang hanya bisa omong doang dan membangun jarak dengan realitas yang terjadi di masyarakat.
Fenomena Jakowi-Ahok sudah sepantasnya menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi semua pemimpin di negeri ini dari pusat hingga daerah: tentang bagaimana sesungguhnya cara menjadi pemimpin yang dicintai dan dieluk-elukkan oleh rakyatnya.
Kalau Jokowi selalu menyedot perhatian publik dengan blusukan-nya yang membuat aparat/para pamong di lapangan ketar-ketir, Ahok beda lagi. Ketegasannya dalam memimpin rapat yang rekamannya diunggah ke YouTube membuat kita terkagum-kagum. Sepertinya baru pertama kali dalam sejarah birokrasi negeri ini ada rapat yang direkam dengan kamera kemudian dipublis di media sosial.
Ini tentu terobosan baru di tengah era keterbukaan informasi dan pentingnya mengedepankan pelayanan publik (public service). Publik perlu tahu apakah yang dikerjakan para aparat Pemerintah Dearah (Pemda) selama ini betul-betul berorientasi pada pelayanan publik atau sebaliknya: hanya sekedar menghambur-hamburkan anggaran daerah demi keuntungan segelintir orang.
Kita sebetulnya sudah lama memendam kecurigaan terkait hal ini, bahwa telah terjadi inefisiensi dan pemborosan dalam pengelolaan anggaran daerah. Hal ini bukan hanya fenomena DKI Jakarta sebagai provinsi yang memiliki anggaran daerah paling besar, tetapi telah terjadi secara masif di hampir semua provinsi dan kabupaten/kota.
Terobosan Ahok dengan merekam semua rapat –termasuk pembahasan tentang anggaran –yang dilakukannya dengan Satuan Kerja Perangkat Dearah (SKPD-SKP) telah menjawab rasa ingin tahu dan kecurigaan kita selama ini. Saat rapat dengan Dinas Pekerjaan Umum, misalnya, kita tentu terkesiap kala mengetahui anggaran untuk mesin scanner saja mencapai puluhan miliar rupiah, begitu pula dengan dana untuk membangun pos polisi yang mencapai satu miliar rupiah.
Nyotowi dan tim memukau
Dari semua rekaman vidio rapat Ahok dengan SKPD-SKP yang diunggah di YouTube, rapat dengan Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi DKI Jakarta boleh dibilang yang terbaik. Berbeda dengan rapat-rapat dengan SKPD-SKP yang diunggah sebelumnya, rapat dengan BPS DKI Jakarta berlangsung santai dan penuh keakraban. Tim BPS DKI Jakarta yang dipimpin langsung oleh Kepalanya, Nyoto Widodo (Nyotowi), nampak betul menguasai materi yang dipaparkan. Semua pertanyaan yang dilontarkan Ahok dapat dijawab dengan tuntas dan clear. Boleh dibilang, Nyotowi dan tim tampil memukau hari itu.
Dari vidio tersebut nampak jelas kalau Ahok terkagum-kagum saat menyimak paparan yang disampaikan BPS. Kekaguman tersebut sekaligus membantah persepsi keliru yang beredar di ruang publik/media selama ini bahwa Ahok “tidak suka” dengan data BPS.
Terkait perbedaan data jumlah penduduk miskin di Jakarta versi Pemda DKI dan BPS adalah bukan sesuatu yang harus dipertentangkan karena metodologi dan cara pandangnya memang beda. Kedua data tersebut justru memperkaya informasi terkait upaya penanggulagan kemiskinan di Jakarta.
Sebagai lembaga yang selalu merujuk pada kosep-definisi dan metodologi baku yang telah digariskan United Nations (UN) dalam penyelenggaraan statistik resmi (official statistcs), BPS tidak beloh seenak hati dalam menghitung berbagai indikator statististik, termasuk angka kemiskinan. BPS boleh saja menggunakan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai standar penentuan jumlah penduduk miskin (garis/batas kemiskinan) seperti yang dikehendaki Ahok. Tapi berhubung secara metodologi dan konsep-definisi dalam pengukuran kemiskinan cara tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi UN, BPS tidak dapat melakukannya.
Terlepas dari persoalan data jumlah penduduk miskin di Jakarta, sebetulnya ada begitu banyak data-data BPS yang yang sangat berguna bagi Pemda DKI sebagai dasar perumusan, pengambilan, dan evaluasi kebijakan. Misalnya, data mengenai kerawanan sosial di Jakarta yang dipaparkan oleh tim BPS saat rapat dengan Ahok.
Singkat kata, Ahok sebetulnya suka dengan data BPS. Dan, memang harus seperti itu galibnya. Mustahil kita bisa membangun dengan baik jika tanpa didukung dengan data. Pasalnya, ada banyak fakta lapangan yang tak bisa ditangkap secara kasat mata –dengan blusukan sekalipun –meliankan lewat data.
Kalau tak suka, tak mungkin Ahok meminta agar website www.jakarta.go.id tertaut (link) dengan www.jakarta.bps.go.id dan mau menerima sejumlah publikasi yang diserahkan BPS saat rapat hari itu dengan raut wajah gembira, bahkan meminta tanda tangan Nyotowi segala dan berfoto bersama di ruang kerja wakil gubernur. Bagi BPS ini adalah bentuk apresiasi, bukti bahwa output/ hasil kerja kami dihargai. Apresiasi yang semakin menyalakan elan kami untuk menyediakan data statistik yang akurat dan terpercaya untuk semua. (*)
Salam Statistik!
Komentar
Posting Komentar