Hari itu, persis di belakangku, seorang
peserta rapat berbicara dengan lantangnya. Dia mengomentari tampilan
slide bahan ajar pelatihan Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 yang
menurutnya kurang pas.
Mana ada ikan tuna yang melayang-layang di atas sawah, mana ada pula laut persis di atas gunung. Kurang lebih demikian ketidaksetujuan yang hendak ia sampaikan
Mana ada ikan tuna yang melayang-layang di atas sawah, mana ada pula laut persis di atas gunung. Kurang lebih demikian ketidaksetujuan yang hendak ia sampaikan
hari itu. Alhasil, layout yang telah dibuat dengan susah payah oleh seorang kawan itu pun disarankan untuk dirubah.
Sungguh rapat yang membosankan. Membahas seni dengan takaran logika. Bukankah mendefenisikan kata indah dan menarik dengan timbangan logika adalah bentuk pemasungan terhadap kreativitas. Ibarat seorang pelukis yang diminta membuat sebuah lukisan colorfull dengan hanya dua pilihan warna: hitam dan putih.
Di tengah rapat yang membosankan itu, telepon genggam (HP) saya berdering. Kutengok layar HP yang sedang menyala, ada panggilan masuk dari sebuah nomor yang tak kukenal. Karena dihinggapi rasa penasaran, saya segera keluar ruangan untuk menjawab panggilan tersebut.
Ternyata, yang bersuara di ujung telepon adalah Pak Agung Priyo Utomo. Dosen saya saat kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dulu. Beliau meminta kesediaan saya mengampu mata kuliah praktek Metode Penarikan Contoh (MPC) untuk satu kelas.
Sebagai alumni yang telah dicecoki segala rupa ilmu statistik empat tahun lamanya, dan telah dihantarkan pada masa depan yang cerah sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, sulit rasanya menolak tawaran tersebut. Kapan lagi berbalas budi kepada kampus kecil di Otista itu. Tawaran tersebut pun saya sambar tanpa banyak pikir. "Saya siap dan bersedia, pak", ucapku menjawab tawarannya.
Merasa asing di kampus sendiri
Setelah mendapat izin dari pimpinan, siang itu (19/10), sebelum shalat Jumat, saya segera meluncur ke STIS untuk pertemuan perdana. Sebelumnya, sekitar pukul delapan pagi, Pak Agung telah menelopon saya untuk mengabarkan bahwa hari itu saya sudah dapat "mengajar", mungkin lebih tepatnya masuk kelas. Jadwalnya setengah dua siang, sesi tiga.
Selepas shalat Jumat dan makan siang, saya segera meluncur ke lantai tiga, menemui Pak Agung di ruang Jurusan Statistika. Jujur meskipun baru dua tahun meninggalkan STIS, saya merasa asing dan tersesat di bekas kampus sendiri. Maklum, saat ini, gedung STIS anyar dan begitu megah.
Saat kuliah dulu, saya hanya bisa menikmati proses pembangunannya. Tanpa pernah mencicipi gedung tersebut untuk kegiatan perkuliahan. Saya hanya sempat menikmati aulu gedung tersebut saat diwisuda sebagai Sarjana Sains Terapan (SST) pada Oktober 2010.
Saya ingat betul betapa menantangnya ujian Analisis Data Kategorik kala itu, di tengah bunyi reruntuhan aula Yopi Bambang Sunyoto yang porak-poranda oleh hamtaman mesin penghancur bangunan (hammer mill). Kombinasi lima butir soal yang harus dituntaskan dalam waktu dua jam dan bunyi bangunan ambruk, yang sesekali mengagetkan, betul-betul memacu adrenalin.
Setelah mengobrol seperlunya dengan Pak Agung dan Ketua Jurusan Statistika serta melakukan perekaman sidik jari agar bisa nyambung ke SIPUDA (web portal dosen STIS), saya langsung menuju ruang Bu Atiek Mar'atis, dosen teori MPC dari kelas yang hendak saya ajar (2H). Saya berdiskusi sebentar dengan beliau perihal materi yang akan diajarkan di kelas.
Tepat pukul setengah dua siang (sebetulnya agak telat...he-he-he), saya masuk ke ruang kelas di lantai 6. Saatnya showtime.
Seperti biasa, saat awal berjumpa selalu diawali dengan perkenalan. Dan itu pula yang saya lakukan. Waktu perkenalan dengan 34 orang mahasiwa(i) saya buat selama mungkin, nyaris satu setengah jam lamanya...he-he-he. Sebetulnya, saya belum sepenuhnya siap membawakan materi siang itu.
Usai perkenalan yang lebih mirip acara parodi itu, saya kemudian masuk ke materi kuliah sesuai yang tertulis di Satuan Acara Perkuliahan. He-he-he, begini-begini, saya sebetulnya memendam bakat tersembunyi: melawak. Jika tak percaya, tanyakan saja pada Julias, ketua kelas 2H, betapa kocaknya saya siang itu. Tapi jujur, saya sebenarnya gugup juga saat pertama kali berdiri di depan para mahasiswa yang cerdas dan haus ilmu siang itu.
Di ruang kelas, kala melampar pandang menyapu seisi ruangan. Ingatan saya sesekali meluncur ke masa lalu, saat masih mahasiswa. Saya seolah sedang melihat diri sendiri dan kawan-kawan semasa kuliah dulu dalam seragam biru-biru. Rasa rindu dan kenangan manis akan masa-masa itu pun menyeruak.
Hidup ini memang selalu penuh kejutan. Apa yang terjadi ke depan seringkali misterius dan sulit diprediksi. Ibarat memilih angka pada tabel angka random, kita tak tahu angka mana yang bakal terpilih. Siang itu contohnya, saya berdiri di depan mahasiswa untuk menceramahi mereka tentang MPC. Sesuatu yang sama sekali tak pernah terbayangkan saat saya masih kuliah dulu, saat mengikuti kuliah MPC empat tahun silam, di kampus yang sama, dengan seragam yang sama. (*)
Sungguh rapat yang membosankan. Membahas seni dengan takaran logika. Bukankah mendefenisikan kata indah dan menarik dengan timbangan logika adalah bentuk pemasungan terhadap kreativitas. Ibarat seorang pelukis yang diminta membuat sebuah lukisan colorfull dengan hanya dua pilihan warna: hitam dan putih.
Di tengah rapat yang membosankan itu, telepon genggam (HP) saya berdering. Kutengok layar HP yang sedang menyala, ada panggilan masuk dari sebuah nomor yang tak kukenal. Karena dihinggapi rasa penasaran, saya segera keluar ruangan untuk menjawab panggilan tersebut.
Ternyata, yang bersuara di ujung telepon adalah Pak Agung Priyo Utomo. Dosen saya saat kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dulu. Beliau meminta kesediaan saya mengampu mata kuliah praktek Metode Penarikan Contoh (MPC) untuk satu kelas.
Sebagai alumni yang telah dicecoki segala rupa ilmu statistik empat tahun lamanya, dan telah dihantarkan pada masa depan yang cerah sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, sulit rasanya menolak tawaran tersebut. Kapan lagi berbalas budi kepada kampus kecil di Otista itu. Tawaran tersebut pun saya sambar tanpa banyak pikir. "Saya siap dan bersedia, pak", ucapku menjawab tawarannya.
Merasa asing di kampus sendiri
Setelah mendapat izin dari pimpinan, siang itu (19/10), sebelum shalat Jumat, saya segera meluncur ke STIS untuk pertemuan perdana. Sebelumnya, sekitar pukul delapan pagi, Pak Agung telah menelopon saya untuk mengabarkan bahwa hari itu saya sudah dapat "mengajar", mungkin lebih tepatnya masuk kelas. Jadwalnya setengah dua siang, sesi tiga.
Selepas shalat Jumat dan makan siang, saya segera meluncur ke lantai tiga, menemui Pak Agung di ruang Jurusan Statistika. Jujur meskipun baru dua tahun meninggalkan STIS, saya merasa asing dan tersesat di bekas kampus sendiri. Maklum, saat ini, gedung STIS anyar dan begitu megah.
Saat kuliah dulu, saya hanya bisa menikmati proses pembangunannya. Tanpa pernah mencicipi gedung tersebut untuk kegiatan perkuliahan. Saya hanya sempat menikmati aulu gedung tersebut saat diwisuda sebagai Sarjana Sains Terapan (SST) pada Oktober 2010.
Saya ingat betul betapa menantangnya ujian Analisis Data Kategorik kala itu, di tengah bunyi reruntuhan aula Yopi Bambang Sunyoto yang porak-poranda oleh hamtaman mesin penghancur bangunan (hammer mill). Kombinasi lima butir soal yang harus dituntaskan dalam waktu dua jam dan bunyi bangunan ambruk, yang sesekali mengagetkan, betul-betul memacu adrenalin.
Setelah mengobrol seperlunya dengan Pak Agung dan Ketua Jurusan Statistika serta melakukan perekaman sidik jari agar bisa nyambung ke SIPUDA (web portal dosen STIS), saya langsung menuju ruang Bu Atiek Mar'atis, dosen teori MPC dari kelas yang hendak saya ajar (2H). Saya berdiskusi sebentar dengan beliau perihal materi yang akan diajarkan di kelas.
Tepat pukul setengah dua siang (sebetulnya agak telat...he-he-he), saya masuk ke ruang kelas di lantai 6. Saatnya showtime.
Seperti biasa, saat awal berjumpa selalu diawali dengan perkenalan. Dan itu pula yang saya lakukan. Waktu perkenalan dengan 34 orang mahasiwa(i) saya buat selama mungkin, nyaris satu setengah jam lamanya...he-he-he. Sebetulnya, saya belum sepenuhnya siap membawakan materi siang itu.
Usai perkenalan yang lebih mirip acara parodi itu, saya kemudian masuk ke materi kuliah sesuai yang tertulis di Satuan Acara Perkuliahan. He-he-he, begini-begini, saya sebetulnya memendam bakat tersembunyi: melawak. Jika tak percaya, tanyakan saja pada Julias, ketua kelas 2H, betapa kocaknya saya siang itu. Tapi jujur, saya sebenarnya gugup juga saat pertama kali berdiri di depan para mahasiswa yang cerdas dan haus ilmu siang itu.
Di ruang kelas, kala melampar pandang menyapu seisi ruangan. Ingatan saya sesekali meluncur ke masa lalu, saat masih mahasiswa. Saya seolah sedang melihat diri sendiri dan kawan-kawan semasa kuliah dulu dalam seragam biru-biru. Rasa rindu dan kenangan manis akan masa-masa itu pun menyeruak.
Hidup ini memang selalu penuh kejutan. Apa yang terjadi ke depan seringkali misterius dan sulit diprediksi. Ibarat memilih angka pada tabel angka random, kita tak tahu angka mana yang bakal terpilih. Siang itu contohnya, saya berdiri di depan mahasiswa untuk menceramahi mereka tentang MPC. Sesuatu yang sama sekali tak pernah terbayangkan saat saya masih kuliah dulu, saat mengikuti kuliah MPC empat tahun silam, di kampus yang sama, dengan seragam yang sama. (*)
Salam MPC.
Komentar
Posting Komentar