Darmanto adalah seorang puritan. Seorang yang lurus, menjadikan hidupnya tak terlalu berwarna laksana tonil (sandiwara), tak ada klimaks, datar-datar saja.
Empat tahun di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dilaluinya dengan biasa saja. Seperti jamaknya mahasiswa STIS lainnya, hampir semua waktunya habis tercurah untuk kuliah: belajar, belajar, dan belajar, menekuni statisti ka yang pelik itu.
Di sisa waktunya, pemuda asal Pasuruan, Jawa Timur, itu juga aktif di organisasi kemahasiswaan. Rohani Islam (ROHIS) menjadi pilihannya. Sangat cocok dengan pribadinya yang saleh, lurus, dan teguh pendiriaan.
Sebetulnya, nyaris tak ada yang menarik untuk dikisahkan dari hidup Darmanto yang datar-datar saja itu, kecuali benturan antara idealisme yang begitu kokoh dipegangnya dengan realitas yang dihadapinya kala menceburkan diri ke lingkungan birokrasi, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Pusat Statistik (BPS).
Saat kuliah, Darmanto hanya mengenal dua warna: hitam dan putih. Sesuatu yang amat kontradiktif dengan dunianya kini, dunia birokrasi, yang penuh dengan keabu-abuan. Benturan itu begitu hebat dalam dirinya, menjadikannya sedikit menyesal kala memenuhi seruan di sebuah leaflet biru muda yang mampir ke sekolahnya, SMA I Pasuruan yang terletak di Jl. Soekarno Hatta No.40, lima tahun silam.
Seruan yang telah membelokkan niatnya untuk melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Sepuluhnovember (ITS) demi mengejar mimpi menjadi seorang insinyur perkapalan itu seolah telah menggiringnya pada keputusan keliru. Darmanto merasa seperti seorang costumer yang telah dikelabui rayuan manis seorang salesman.
Seruan itu seperti ini bunyinya: “Sekolah Tinggi Ilmu Statistik memanggil putra dan putri terbaik Indonesia untuk didik menjadi ahli statistika.” Bagi Darmanto, sang jawara hitung-menghitung di sekolahnya, kata-kata “menjadi ahli statistika” adalah sebuah magnet yang begitu kuat daya tariknya. Saking kuatnya, Darmanto tak banyak pikir lagi kala melepas kesempatan untuk kuliah di Jurusan Teknik Perkapalan, ITS, Surabaya yang sudah dalam genggaman.
Harapan yang begitu membumbung untuk menjadi ahli statistika layaknya Irving Fisher telah menjadikannya mantap menjatuhkan pilihan kuliah di STIS. Keputusan yang di kemudian hari amat disesalinya.
Darmanto yang kini bekerja sebagai pelaksana tugas dua jabatan seksi sekaligus, yakni Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) serta Seksi Produksi, di sebuah Kabupaten di Pedalaman Sumatera Selatan (Musi Banyuasin) itu baru menyadari sekaligus merasakan: bahwa makna kata “ahli statistika” yang telah membelokkan niatnya untuk menjadi insinyur pembuat kapal di PT. PAL kala itu sejatinya hanyalah sekedar “kuli data”.
Komentar
Posting Komentar