Suka atau tidak, produksi beras nasional hingga kini masih
menjadi indikator keberhasilan pemerintah. Karenanya, di semua rezim yang berkuasa di negeri ini, surplus dan swasembada adalah dua kata yang harus
terwujud kala kita berbicara tentang produksi beras nasional.
Pemerintahan SBY sendiri punya target ambisius terkait
produksi beras nasional, yakni surplus 10 juta ton beras di tahun 2014. Sesuatu
yang sebetulnya tidak mudah di tengah berbagai persoalan pelik yang sedang membelit
sektor pertanian tanaman pangan kita. Faktual, saat ini sawah-sawah kita sudah
lelah dan tak lagi subur. Produktivitas tanaman padipun terus melandai. Dalam
sepuluh tahun terakhir, misalnya, secara rata-rata peningkatan produktivitas
hanya sebesar 1,28 persen per tahun.
Persoalan tidak hanya berhenti sampai di situ, masih banyak
persoalan lain yang juga siap menghadang upaya pemerintah mewujudkan mimpi
surplus 10 juta ton beras di tahun 2014, misalnya, laju konversi lahan sawah ke
penggunaan nonpertanian yang terjadi secara masif (mencapai 100 ribu hektar per
tahun dan hanya mampu diimbangi pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar
sawah baru per tahun), sumberdaya manusia yang tak lagi mendukung upaya introduksi
berbagai teknologi pertanian guna menggenjot produktivitas (sebagian besar petani
kita berumur tua dan berpendidikan rendah), anomali iklim, ketidakpastian
pasokan air terkait dukungan jaringan irigasi (52 persen jaringan irigasi dalam
kondisi rusak), dan serangan hama/organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang merajalela.
Jalan terjal
Secara sederhana, surplus 10 juta ton bakal terwujud dengan
menggenjot produksi dan menekan angka konsumsi beras per kapita. Terkait
pencapaian target surplus 10 juta ton
beras di 2014, pemerintah telah menetapkan sasaran produksi padi yang harus
dicapai hingga tahun 2014. Tahun ini, misalnya, produksi beras nasional ditargetkan
sebesar 38,13 juta ton. Beras sebanyak itu diperoleh dari produksi padi sebesar
67,82 juta ton gabah kering giling (GKG) dengan asumsi 56,22 persennya bakal
menjadi beras dan pada saat yang sama angka konsumsi beras per kapita penduduk
Indonesia sebesar 135,01 kilogram per tahun.
Dalam dua tahun ke depan, target produksi beras yang
ditetapkan pemerintah lebih tinggi lagi, yakni sebesar 40,51 juta ton (setara
dengan 72,06 juta ton GKG) pada tahun
2013 dan 43,05 juta ton (setara dengan 76,57 juta ton GKG) pada tahun 2014. Artinya
sepanjang tahun tahun 2013 dan 2014,
produksi beras/padi nasional ditargetkan mengalami peningkatan sebesar 6,25
persen per tahun.
Kabar baiknya, tahun ini produksi padi nasional diperkirakan
mencapai 68,59 juta ton GKG (angka ramalan I) atau setara dengan 38,56 juta ton
beras. Artinya, target untuk tahun 2012 telah terlampaui. Namun, pemerintah
sebaiknya jangan senang dulu. Tantangan dalam dua tahun ke depan tentu bakal
lebih berat. Peningkatan produksi sebesar 6,25 persen per tahun tentu bukanlah
hal yang mudah. Statistik menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007 hingga 2011,
produksi padi nasional hanya mengalami peningkatan secara rata-rata sebesar 3,88 persen per
tahun. Tanpa upaya yang radikal, target peningkatan produksi sebesar 6,25
persen nampaknya bakal meniti jalan terjal nan berat.
Sementara itu, angka konsumsi beras per kapita yang mencapai
139,15 kilogram di tahun 2010 ditargetkan mampu ditekan sebesar 1,5 persen per
tahun hingga tahun 2014. Untuk mewujudkannya, diversifikasi pangan menjadi
tumpuan. Ditengarai, saat ini angka konsumsi beras per kapita sudah jauh di bawah
139,15 kilogram per tahun. Namun sayangnya, penurunan ini justru tidak
dibarengi dengan peningkatan konsumsi komoditas pangan lokal –misalnya jagung,
singkong, dan talas –tetapi justru dibarengi dengan peningkatan konsumsi produk
pangan olahan gandum seperti mie instan. Ini tentu tidak baik karena impor
gandum bakal semakin meningkat. Program diversifikasi pangan nampaknya telah
salah sasaran karena justru membuat kita semakin bergantung pada komoditas
pangan impor.
Kritikan OECD
Untuk mengamankan target produksi yang telah ditetapkan,
pemerintah telah mengerahkan segenap daya dan upaya dengan melibatkan sejumlah Badan
Usaha Milik Negara yang membidani masalah pangan (Bulog, Perhutani, Pertani,
Pupuk Kaltim, dll) serta kementerian terkait (Kementerian Pertanian dan Kementerian
Pekerjaan Umum). Anggaran yang telah digelontorkan pun bukan main banyaknya,
mencapai puluhan triliun rupiah. Secara umum, upaya-upaya yang telah dilakukan
pemerintah mencakup: peningkatan produktivitas, pengurangan konversi lahan dan
kehilangan pascapanen, perluasan areal tanam, pengendalian serangan hama/OPT,
serta perbaikan manajemen.
Namun, energi besar yang telah dikerahkan pemerintah selama
ini untuk mewujudkan swasembada beras, termasuk surplus 10 juta ton di tahun
2014, telah menuai kritik pedas dari Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Dalam laporan bertajuk review of agriculture policies
Indonesia yang dirilis Rabu lalu (10/10), OECD mengklaim kebijakan ketahanan
pangan Indonesia telah salah arah karena terlalu fokus pada pencapaian
swasembada, terutama beras, sehingga cenderung abai terhadap produksi komoditas
pertanian lain (selain padi) yang bernilai tinggi, seperti komoditas
hortikultura dan perkebunan. Padahal menurut OECD, kedua jenis komoditas ini
justru dapat meningkatkan penghasilan dan akses pangan bagi banyak rumah tangga
tani.
Terlepas dari kritikan OECD, kita tentu berharap bahwa target
surplus 10 juta ton beras di 2014 bakal terwujud meskipun jalan menuju ke sana
sedikit terjal dan berat. (*)
Sumber data: Badan Pusat Statistik dan Kementerian
Pertanian.
Komentar
Posting Komentar