Suatu ketika, dalam sebuah obrolan di sebuah situs jejaring sosial (chatting), seorang kawan menumpahkan keluh kesahnya kepada saya. Dia curhat soal ketidakjelasan hasil ujian penyetaraan golongannya.
Beberapa bulan sebelumnya, kawan yang masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan berbekal ijazah SMA itu berhasil dinyatakan lulus dalam ujian penyetaraan golongan.
Artinya, dengan itu ijazah S1-nya akan diakui sebagai tiket merengkuh golongan kepangkatan yang lebih tinggi dalam karirnya sebagai seorang PNS. Bayangkan, ia yang semula golongan IIa bakal segera lompat ke IIIa.
Tentu sebuah lompatan yang sangat luar biasa karena normalnya dibutuhkan waktu sekitar 16 tahun untuk naik dari golongan IIa ke IIIa. Perbaikan kesejahteraan plus harga diri dalam waktu singkatpun segera terbayang di depan mata.
Dia seharusnya gembira dengan itu semua. Tapi, justru perkara itulah yang menjadi sumber keluh kesahnya kala itu. Dari kantor provinsi dia mendapat kabar bahwa penyetaraan golongannya tak bisa diurus meskipun dia telah dinyatakan lulus dalam sebuah ujian yang pelaksanaannya bahkan diawasi langsung oleh Kepala Biro Kepegawaian Pusat itu.
Alasannya sederhana, yakni soal ijisah S1-nya yang tidak sesuai dengan formasi pegawai di tempatnya bekerja. Yang dibutuhkan oleh institusinya adalah seorang sarjana S1 jurusan Statistika atau Matematika, sementara dia adalah seorang sarjana Fisika, Fisika kelautan pula...he-he-he.
Sepintas, alasan di atas memang cukup masuk di nalar. Meskipun sama-sama terkait pekerjaan hitung-menghitung, Statistika atau Matematika tentu berbeda dengan Fisika, apalagi Fisika kelautan.
Tapi, kawan saya yang terkenal kritis dan skeptis itu tak lantas percaya begitu saja. Dia berusaha mencari jawaban yang lebih memuaskan. Upaya yang pada ujungnya mengantarkan dia pada kesimpulan penuh prasangka: dia sengaja dihambat, dia sedang dizalimi.
Hal yang paling mengganjal dalam dirinya adalah jawaban dari pertanyaan: kenapa tidak dari awal diputuskan bahwa seorang sarjana Fisika seperti dirinya tak bisa ikut ujian penyetaraan? Kenapa baru setelah hasil ujian diumumkan hal tersebut diputuskan? Sungguh sebuah keanehan dalam alam birokrasi, pikirnya.
Karenanya, kepada saya dia minta tolong untuk menanyakan kejelasan perkara yang sedang membelitnya ke Biro Kepegawaian Pusat. Jujur, sebagai PNS anyar, saya sebetulnya giris alias tak punya nyali melakukannya.
Namun, melihat harapan yang mulai lasap (lenyap secara perlahan-lahan) dari dirinya, saya coba mengetikkan jawaban yang setidaknya dapat menerbitkan asa, meskipun sejatinya kosong: "Ya, nanti saya coba". Kata nanti, yang kenyataannya tak pernah terealisasi. Mungkin karena saya lupa atau pura-pura lupa.
Waktu demi waktu pun berlalu setelah obrolan yang mengundang rasa iba itu, tanpa ada kejelasan mengenai nasibnya. Hebatnya, kawan yang satu ini memang langgam pribadi yang tak gampang menyerah. Elannya (semangat juang yang menyala-nyala) untuk mendapat kejelasan tak kunjung padam.
Suatu ketika, di sebuah pulau kecil di ujung tenggara Sulawesi, di tengah ketidakjelasan mengenai nasibnya dan waktu tunggu hasil percobaan yang telah saya janjikan, saat sedang membolak-balikan buku agenda yang dicetak khusus oleh institusinya dia dapati alamat e-mail para pejabat kantor pusat. Tidak main-main, matanya langsung tertuju pada alamat e-mail kepala kantor pusat yang kini menjabat sebagai orang nomor dua di sebuah kementerian yang mengurusi sektor pertanian negeri ini.
Hari itu juga, tanpa panjang pikir, dia langsung mengirim surat elektronik ke alamat e-mail kepala kantor pusat tersebut. Dia ingin meminta kejelasan mengenai perkara yang sedang membelitnya langsung kepada orang nomor satu di institusinya. Sungguh sebuah keputusan yang sangat berani dengan hasil yang belum tentu sepadan.
Di surat itu, dia kisahkan panjang lebar mengenai perkara yang sedang membelitnya, bahwa dia nampaknya sedang terzolimi oleh kesewenang-wenangan atasannya. Dia mengiba dan meminta keadilan kepada orang yang menurutnya adil lagi bijaksana. Dia haturkan puji-pujian dengan menamsilkan orang nomor satu di institusinya itu laksana Umar bin Abdul Aziz, khalifah kaum muslimin yang masyur akan keadilannya itu.
Dan, tak dinyana surat elektronik yang ditulis secara apik itu menemui maksudnya, terbaca oleh yang dituju. Betul-betul sakti lagi ampuh. Maka, hari itu juga, telepon di ruang kepala kantor provinsi Sulawesi Tenggara berdiring. Tidak main-main, telepon tersebut langsung dari kepala kantor pusat untuk menanyakan tantang perkara dirinya.
Dia ternyata memang sengaja dihambat dan dizalimi. Kepala kantor provinsi pun kena semprot. Dengan segera proses penyetaraan golongannya yang sempat terhenti dituntaskan. Tidak lama kemudian golongan IIIa yang diimpikannya pun terwujud. Akhirnya, dia telah memperoleh apa yang menjadi haknya dengan sebuah proses yang tak biasa dan bakal menjadi catatan sejarah dalam hidupnya.
Di tempatnya bekerja, kabar mengenai peristiwa luar biasa itu dengan cepat tersiar dan menjadi buah bibir. Dia kemudian menjadi bintang, bintang dari suatu peristiwa langka, tentang bagaimana seorang pegawai rendahan seperti dirinya bisa "melawan" kesewenang-wenangan seorang kepala kantor provinsi dengan mengadu secara langsung kepada seorang kepala kantor pusat. Sungguh sangat cerdas lagi berani.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh bagaimana pengaruh kuat dari sebuah tulisan, tentang bagaimana sebuah tulisan dapat merubah nasib seseorang. Bahwa tulisan adalah alat bagi mereka yang tertindas untuk bersuara secara lantang tanpa perlu merasa rikuh (canggung) untuk merengkuh keadilan. (*)
Salam menulis.
Komentar
Posting Komentar