Statistik kemiskinan yang dirilis pemerintah di
ruang publik kerap menuai polemik, silang sengkurat, dan mengundang
kontroversi. Angka kemiskinan versi pemerintah memang selalu
menggemaskan.
Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga resmi
pemerintah yang selama ini diamanahi tugas untuk menghitung angka
kemiskinan, acapkali dituduh berbohong terkait angka
kemiskinan yang dirilisnya. Statistik kemiskinan telah dipolitisasi dan
dimanipulasi, diramu sedemikian rupa untuk menyenang-nyenangkan
penguasa. Demikian, sejumlah hujatan terhadap BPS yang kerap tersua di
pelbagai media.
Alhasil, di tengah kepercayaan publik terhadap
statistik kemiskinan resmi yang telah menyentuh titik nadir, pemerintah
pun mengalami hambatan untuk meyakinkan publik terkait keberhasilannya
dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Padahal, telah luar biasa usaha (effort)
yang dikerahkan pemerintah untuk itu. Anggaran yang telah digelontorkan
pun bukan main banyaknya, nyaris menyentuh 100 triliun.
Angka Statistik Kontra Realita
Jika menengok publisitas angka-angka statistik
selama ini –bukan hanya yang diwartakan oleh BPS –capaian Indonesia
dalam mereduksi jumlah penduduk miskin, boleh dibilang, cukup
mengesankan. Sepanjang tahun 2005-2009, misalnya, data dari Bank Dunia
menunjukkan bahwa laju penurunan jumlah penduduk miskin Indonesia
termasuk salah satu yang tercepat di dunia, yakni mencapai 0,8 persen
per tahun. Indonesia lebih baik dibanding Kamboja (0,11 persen),
Thailand (0,09 persen), Philipina (0,01 persen), dan India yang justru
mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,18 persen per
tahun sepanjang tahun 2005-2009 meskipun performa makro ekonominya jauh
lebih mengesankan dibanding Indonesai.
Sayangnya, di dalam negeri capaian di atas justru
minim apresiasi dan sama sekali sepi dari riuh tepuk tangan.
Keberhasilan tersebut seolah tenggelam oleh arus ketidakpercayaan
terhadap pemerintah yang dianggap gagal dalam penegakkan hukum
–khususnya pemberantasan korupsi –dan perlindungan hak asasi manusia.
Negeri ini pun dicap sebagai “negara gagal” oleh rakyatnya sendiri.
Kondisi ini sebetulnya dapat dimengerti. Pasalnya,
statistik kemiskinan yang begitu mengesankan itu “seolah” tidak sejalan
dengan fakta keseharian yang ditemui oleh publik. Bagi mereka, angka
kemiskinan yang dilaporkan terus menurun secara konsisten selama
beberapa tahun terakhir adalah sesuatu yang terlalu sulit diterima
–bahkan tidak masuk akal–di tengah kian beratnya tekanan beban ekonomi
yang dirasakan karena harga-harga kebutuhan pokok yang terus merangkak
naik dengan kecepatan yang jauh melampaui peningkatan pendapatan mereka.
Berhubung kehidupan ekonomi yang dirasakan kian sulit dan mencekik,
menurut mereka yang terjadi galibnya adalah sebaliknya: jumlah penduduk
miskin bertambah.
Tentu saja, baik statistik kemiskinan versi
pemerintah maupun sanggahan publik di atas, yang dibangun berdasarkan
fakta keseharian yang dirasakan, keduanya bisa benar atau salah.
Statistik kemiskinan yang dirilis pemerintah selama ini boleh jadi tidak
menangkap kondisi kemiskinan yang sesungguhnya terjadi. Dalam bahasa
statistik, mungkin saja pengukuran kemiskinan yang dilakukan pemerintah
–yang dalam hal ini BPS –ternyata bias. Jika demikian kondisinya tentu
harus diperbaiki.
Ruang untuk hal ini cukup terbuka, mengingat metode
yang digunakan hanyalah pendekatan statistik (kuantitatif) yang sudah
barang tentu tidak menghasilkan sebuah angka dengan kebenaran absolut
(pasti). Orang bilang, jika tak ada error, bukan statistik namanya. Coba tengok hasil hitung cepat (quick count)
Pilkada DKI Jakarta baru-baru lalu yang didasarkan pada metode
statistik (survei), tentu berselisih dengan hasil penghitungan resmi (real count) KPUD DKI. Itulah statistik, selalu ada selisih antara hasil estimasi (perkiraan) dengan yang diestimasi.
Statistik kemiskinan yang diwartakan BPS selama ini
juga hanyalah estimasi yang didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS), yang memotret pengeluaran konsumsi 75.000 sampel
rumah tangga yang menyebar di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
Peluang hasil estimasi melenceng jauh dari fakta yang ingin dipotret
(kondisi kemiskinan) tentu selalu ada –meskipun sebetulnya sangat kecil
(tidak lebih dari 5 persen).
Atau boleh jadi justru sebaliknya, statistik
kemiskinan pemerintah sudah betul dalam menggambarkan kondisi kemiskinan
yang terjadi, dan sanggahan publik yang didasarkan pada fakta
keseharian ternyata keliru. Hal ini tentu sangat mungkin terjadi karena
untuk menarik konklusi tentang gambaran kondisi kemiskinan
Indonesia–dari Sabang sampai Boven Digoel–informasi yang sifatnya
sepotong-sepotong alias parsial acapkali menyesatkan.
Gambaran sederhananya seperti ini: bila kita hanya
menyimpulkan gambaran demografi penduduk Indonesia menurut jenis kelamin
berdasarkan fakta keseharian yang kita dapati di dalam bus Transjakarta
tanpa menengok ke jalan raya (tempat sepeda motor tumpah ruah yang
umumnya dikemudikan para lelaki), tentu kita akan menyimpulkan bahwa di
negeri ini lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Kesimpulan yang
tentu sesat dan keliru karena hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan
bahwa sex ratio penduduk Indonesia sebesar 101. Artinya, untuk setiap 100 penduduk perempuan ada 101 penduduk laki-laki……bersambung.
Tulisan selanjutnya: Orang Miskin, Berapa sih Jumlahnya?
Komentar
Posting Komentar