Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan
kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data
yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret
2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di
bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya
rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh
berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan
segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah
diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak
sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan
jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras,
dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama
ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah
pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia
(TKI) dari luar negeri (remitansi).
Tak terdeteksi
Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar
negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI
adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan
Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja
tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur
resmi alias ilegal. Diketahui, jumlah TKI ilegal cukup besar (khususnya
di Malaysia). Hingga saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah
mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal diperkirakan mencapai
2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di negara
tersebut (Sukamdi, 2008).
Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja
di sektor informal. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah
pembantu rumah tangga (PRT). Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al.
dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun
2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT. Temuan
ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen TKI adalah perempuan.
Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor
informal, mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang yang
mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka digelari sebagai
“pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah
remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2009,
jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).
Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan
lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para
TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang memadai terkait
penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara
sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua residual pada neraca
pembayaran (balance of payment).
Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang
mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim
melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi
Nasional yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di
Nunukan, Kalimantan Timur, hanya 30 persen TKI yang
mengirimkan uangnya ke tanah air dengan menggunakan saluran resmi atau
bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui karabat
atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi
lainnya.
Potensi besar
Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan
kondisi ekonomi pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI
cukup besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang
dilakukan oleh Suhariyanto et al. juga menemukan bahwa sebagian
besar sumber pendapatan rumah tangga migran, yakni rumah tangga dengan
minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKI, berasal dari
remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total pendapatan yang
diterima oleh rumah tangga.
Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern)
rumah tangga migran yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah
tangga migran yang tidak menerima remitansi: porsi pengeluaran untuk
pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi. Ini merupakan
indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima
remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima
remitansi.
Peluang rumah tangga migran penerima remitansi
untuk jatuh miskin juga lebih kecil dibanding rumah tangga migran yang
tidak menerima remitansi. Selain itu, persentase rumah tangga miskin
serta tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan untuk rumah tangga
migran penerima remitansi lebih rendah dibanding dengan rumah tangga
migran yang tidak menerima remitansi. Hal ini menunjukkan potensi besar
remitansi terkait upaya penanggulangan kemiskinan. Karena
itu, program dan kebijakan untuk memaksimalkan pemanfaatan remitansi
bagi program penanggulangan kemiskinan mutlak diperlukan.
Sejalan dengan hal tersebut, berbagai kebijakan
terkait TKI juga harus memperhatikan hal-hal berikut: perekrutan,
orientasi, dan pelatihan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas
TKI; perlindungan dari tindak kekerasan di negara tujuan;
minimalisasi biaya remitansi; serta pemulangan TKI yang lebih
terorganisir dan terintegrasi (jangan sampai TKI diperas oleh oknum yang
tidak bertanggungjawab saat pulang ke tanah air). (*)
Referensi: Kecuk Suhariyanto, Guntur Sugiyarto, dan Ahmad Aven Zora. 2012. Global Crisis, Remittance, and Poverty in Asia. Asian Development Bank (ADB).
Komentar
Posting Komentar