Di tengah buramnya gambaran kehidupan berbangsa
saat ini, ternyata masih ada sedikit asa dan optimisme kedepan, bahwa
kita akan merengkuh kejayaan sebagai bangsa: menjadi bangsa yang adil,
makmur, dan sejahtera. Tak kurang 15 tahun lagi momentum dan kesempatan
itu bakal datang. Jika kita gagal memanfaatkannya, habislah kita!
Bonus demografi
Bonus demografi, itulah “doorprize” yang bakal
diterima bangsa ini pada tahun 2020-2030 nanti. Saat itu, beban
tanggungan penduduk usia produktif (15-64 tahun) menjadi sangat kecil.
Sebagai gambaran, setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 44
orang tidak produktif. Masa itu pasti akan datang, tak bisa dihadang.
Namun pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkannya sebagai fondasi
kejayaan di masa datang?
Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika
dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi (pendapatan nasional) yang stabil.
Karenanya, linieritas pertumbuhan ekonomi harus dijaga, bahkan harus
ditingkatkan. Dengan demikian, kala masa itu tiba, penduduk kita –yang
didominasi kelompok usia produktif –memiliki pendapatan per kapita yang
tinggi.
Ada dua prediksi terkait hal ini. Pertama,
pendapatan per kapita mencapai 3.583 dollar AS (Rp33,6 juta) di tahun
2030 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun.
Kedua, pendapatan per kapita mencapai 7.000 dollar AS (Rp65,8 juta)
dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen per tahun (Kompas,
10/09/2012). Kita tentu amat berharap apa yang terjadi lebih baik dari
kedua prediksi tersebut.
Menjamin linieritas pertumbuhan ekonomi nampaknya
bukan sesuatu yang terlalu sulit ditengah mengesankannya kinerja makro
ekonomi saat ini. Tapi masalahnya, linieritas pertumbuhan ekonomi saja
tidak cukup untuk mendapatkan berkah dari bonus demografi. Besaran
angka-angka pertumbuhan bakal tak begitu berarti jika pertumbuhan yang
terjadi tidak berkualitas. Dan, inilah tantangan yang harus segera
dibereskan dalam 15 tahun ke depan.
Faktual, kualitas pertumbuhan ekonomi yang terjadi
selama ini, boleh dibilang, kurang memuaskan (baca: buruk). Betapa
tidak. Ekonomi memang tumbuh rata-rata 6 persen, tetapi pada saat yang
sama penurunan kemiskinan justru berjalan lambat. Itu pun dengan
catatan, batas kemiskinan yang digunakan terlampau rendah menurut
sejumlah kalangan.
Selain itu, mudah ditengarai bahwa pertumbuhan yang
terjadi selama ini lebih dinikmati oleh kelompok kaya. Ini
terkonfirmasi oleh perkembangan rasio gini (indikator ketimpangan
distribusi pendapatan) yang terus menanjak selama beberapa tahun
terakhir, bahkan telah menembus rekor tertinggi pada tahun 2011, yakni
sebesar 0,41. Itu artinya, ketimpangan distribusi pendapatan telah
memasuki skala medium. Dengan angka sebesar itu, dapat dimaknai bahwa 40
persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 19,6 persen
pendapatan nasional, sementara 20 persen penduduk dengan pendapatan
tertinggi justru menikmati 44,8 persen pendapatan nasional.
Menata kesempatan
Bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika
disokong oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dan ini bakal sulit
terwujud jika pertumbuhan ekonomi mengesampingkan peran sektor riil.
Faktual, sebagian besar penduduk –utamanya penduduk miskin
–menggantungkan hidupnya di sektor riil. Namun celakanya, ditengah
mengesankannya angka-angka pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun
terakhir, sektor riil justru terjebak dalam pertumbuhan rendah. Inilah
sebetulnya yang menjadi biang kenapa pertumbuhan yang terjadi juga
dibarengi dengan jurang ketimpangan yang kian menganga.
Peran sektor rill yang –seperti–terlupakan dalam
pembangunan menjadikan akses dan kesempatan penduduk miskin untuk
meningkatkan kapabilitas diri (utamanya pendidikan) kian terbatas. Dalam
hal pendidikan, misalnya, mereka tak bisa berbuat banyak di tengah
kapitalisasi lembaga pendidikan yang hanya memberi kesempatan lebih
kepada kelompok kaya. Jangan heran kalau kemudian 2,3 juta anak negeri
ini terpaksa harus menjadi pekerja karena mahalnya akses pendidikan
(Kompas, 10/09/2012).
Tentu sebuah mimpi buruk jika sebagian besar
penduduk usia muda (sekolah) –yang berasal dari rumah tangga miskin
–saat ini justru menjadi beban di pasar tenaga kerja saat masa bonus
demografi itu tiba, karena kompetensi mereka yang rendah. Oleh karena
itu, sudah menjadi tugas negara untuk menata kesempatan (managing opportunity)
buat mereka dalam 15 tahun ke depan. Mereka harus diberi kesempatan
untuk mendapatkan akses pendidikan yang murah/terjangkau dan
berkualitas. (*)
Komentar
Posting Komentar