Melalui tulisan ini, ingin kubagikan kepada mu, kawan,
perjalanan pulang kampung (mudik) yang betul-betul menguras tenaga, emosi, dan
dompet. Demi satu tujuan mulia, berlebaran bersama orang tua dan
saudara-saudara tercinta.
Menguras tenaga karena bukan main lelahnya, dilakukan saat
puasa pula. Perjalanan mudik menjadi sangat melelahkan karena kampung halaman
saya cukup jauh dari Jakarta, sebuah pulau kecil nun di ujung tenggara kaki
Pulau Sulawesi, Pulau Muna namanya (masih Indonesia…hehehe).
Nama yang mungkin terdengar sedikit asing di telingamu kawan.
Itulah sebab, pertanyaan yang kerap paling malas saya jawab kala dilayangkan
kepada saya adalah perihal lahir di mana atau kampungnya di mana.
Terkait hal ini, saya jadi teringat pengalaman saat mengurus
kartu keterangan kehilangan di Polsek Sawah Besar, Jakarta Pusat, tempo hari.
Kala itu, pak polisi yang ramah bertanya, “Lahir
di mana, Pak?” Saya jawab, “Di Muna,
Pak?” Tahukah dikau kawan, bukannya dia mengetikkan jawaban saya itu, dia malah
balik bertanya, “Muna itu di mana, Pak?”
Saya jawab, “Di Sulawesi Tenggara
(Sultra), Pak?”
Maka, diketikkanlah olehnya kata Sultra sebagai nama tempat
lahir saya. Jujur saya sedikit tersinggung dengan peristiwa itu. Untung saat
itu lagi puasa. Kalau tidak, sudah saya salami pak polisi yang ramah
itu…hehehe.
Walaupun terbakar amarah, akal sehat saya masih berfungsi
kawan. Saya sadar bahwa memukul seorang polisi adalah sebuah kebodohan, apalagi
jika itu dilakukan di kantor polisi. Lagi pula, saya memang tidak punya nyali
untuk melakukannya.
Saya kira, ketersinggungan saya adalah sesuatu yang wajar.
Seolah kata “Muna”, tempat saya dilahirkan, tidak layak tertulis pada selembar
kertas surat keterangan kehilangan. Padahal, itu adalah sebuah nama kabupaten
di negeri bernama Indonesia. Maaf kalau saya sedikit lebay dalam hal ini.
Kampung saya memang hanyalah sebuah pulau kecil, hanyalah
sebuah pulau karang yang tidak memiliki sesuatu yang membuatnya bisa dikenal
secara nasional. Tapi, tempat saya pertama kali melihat dunia itu adalah sebuah
entitas dari yang namanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang juga harus diakui eksistensinya.
Bukankah, seperti itulah yang namanya Wawasan Nusantara yang
kerap dikhotbahkan para guru dan dosen kala pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Saya menduga, kita baru tahu kalau Pulau Sipadan dan Ligitan
bagian dari Indonesia ketika kedua pulau itu mulai diklaim oleh Malaysia
sebagai miliknya.
Mudik ke Muna melibatkan hampir semua moda transportasi:
darat, laut, dan udara. Ojek, taksi, kapal laut hingga pesawat udara, semuanya
harus dijajal untuk menginjakkan kaki di sana. Perjalanan Jakarta-Muna dimulai
dari Bandara Seokarno-Hatta. Dengan menggunakan pesawat LION AIR, saya harus
terbang selama tiga jam terlebih dahulu menuju Kendari.
Ini adalah gambar pesawat yang akan saya tumpangi menuju Kendari: Lion Air Boing 737-800. |
Penundaan jadwal terbang (delay) yang seolah telah menjadi trade mark maskapai “singa udara” alhamdulillah tidak terjadi.
Meskipun, ada keterlambatan sekitar lima belas menit dari jadwal keberangkatan
yang tertera di tiket pesawat. Maklum, Late
Is Our Nature.
Penerbangan berlangsung mulus. Meskipun sesekali terjadi
guncangan akibat turbelensi. Duduk di samping jendela membuat saya merasa aman
kala badan pesawat berguncang. Saya selalu yakin, selama sayap pesawat masih
utuh, gak patah, pesawat berarti masih dalam kondisi aman. Melalui jendela
pesawat, saya juga sempat mengabadikan beberapa pemandangan menarik dengan
kamera. Berikut adalah foto-fotonya:
Sayap yang tetap utah kala pesawat berguncang hebat selalu meyakinkan saya bahwa penerbangan dalam kondisi aman. |
Gambar ini saya ambil saat pesawat sedang mengudara di atas Pulau Jawa. Dugaan saya gunung tersebut adalah Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat (sotoy). |
Gambar ini saya ambil saat menjelang buka puasa. Saya bisa fokus ngambil gambar soalnya saat itu lagi gak puasa. Maklum, lagi safar (perjalanan). |
Tepat pukul 17.35, pesawat Boing 737 seri 800 yang saya
tumpangi mendarat di Bandara Haluoleo, Kendari. Meskipun, pendaratan
berlangsung sedikit “kasar” karena panjang lintasan pacu bandara hanya 3
kilometer. Saya harus menginap semalam di Kendari, mengumpulkan tenaga, sebelum
melanjutkan perjalanan dengan kapal laut menuju Muna esok harinya.
Boleh dibilang, perjalanan Kendari-Muna dengan kapal laut
adalah bagian yang paling menguras tenaga dan emosi. Betapa tidak. Karena
kehabisan tempat duduk, saya terpaksa harus berdiri hampir empat jam lamanya.
Celakanya, itu harus saya lakukan di bagian haluan (depan) kapal.
Semua orang yang sering naik kapal laut tentu tahu: guncangan akan sangat terasa di bagian haluan saat kapal menerjang gelombang. Ini tips buat Anda yang tidak biasa bepergian dengan kapal laut, duduklah di bagian tengah atau dekat buritan (belakang kapal), hindari dan jangan sekali-kali duduk dekat ke haluan. Tapi ingat, tips ini tidak berlaku untuk kapal berbadan kecil. Karena pada kapal jenis ini gelombang laut terkadang sama atau bahkan lebih tinggi dari kapal lautnya…hehehe.
Semua orang yang sering naik kapal laut tentu tahu: guncangan akan sangat terasa di bagian haluan saat kapal menerjang gelombang. Ini tips buat Anda yang tidak biasa bepergian dengan kapal laut, duduklah di bagian tengah atau dekat buritan (belakang kapal), hindari dan jangan sekali-kali duduk dekat ke haluan. Tapi ingat, tips ini tidak berlaku untuk kapal berbadan kecil. Karena pada kapal jenis ini gelombang laut terkadang sama atau bahkan lebih tinggi dari kapal lautnya…hehehe.
Naasnya, saat ini adalah bulan Agustus. Periode angin
kancang yang dimulai sejak bulan Juni belum usai. Karenanya, peluang kapal
bakal berguncang dahsyat dihamtam ganasnya gelombang ketika akan memasuki bibir
Selat Buton cukup besar. Dan, itulah yang saya alami dalam perjalanan kali ini.
Kematian serasa begitu dekat kala kapal yang saya tumpangi
melewati Pulau Cempedak. Ombak di sekitar Pulau ini memang terkadang ganas.
Bahkan, dalam kondisi normal pun ombaknya sudah membuat sedikit pucat. Konon,
Pulau Cempedak adalah kawasan keramat, angker, dan horor karena banyak dihuni
oleh mahluk halus alias jin laut. Ada kepercayaan, jika mau selamat kala
melewati pulau ini, kita harus membuang semacam sajen ke laut. Saya memilih
cara lain: berdoa.
Selang beberapa menit setelah para anak buah kapal (ABK)
memberitahu bahwa sebentar lagi bakal terjadi guncangan, kapal mulai bergoyang.
Suasana pun mulai hening dan khusyuk. Semua penumpang tertunduk khidmat dengan
mata terpejam. Kalimat dzikir mulai dilantunkan. Doa-doa meminta keselamatan
pun dipanjatkan ke ‘arsy. Tuhan serasa begitu dekat.
Goyangan kapal kian kuat. Tas-tas koper di haluan mulai
berjatuhan. Bunyi gemeretak terdengar cukup keras kala haluan kapal yang
sedikit terangkat menghantam laut. Kapal yang terbuat dari serat fiber itu serasa mau patah. Saya mencoba
berdiri tegar menyembunyikan rasa takut sembari terus berdoa moga-moga kapal
tidak terbalik. Maklum, meskipun anak pulau, saya hanyalah seorang anak rumahan
yang tak pandai berenang.
Sejurus kemudian, suasana keheningan meluai berganti dengan histeria nan mencekam.
Tangasin anak kecil yang tersengat rasa takut mulai membahana. Para wanita
sesekali berteriak histeris kala badan kapal berguncang dahsyat.
Bersamaan dengan itu, bau minyak angin mulai menyeruak memunuhi
ruang kapal. Kantong-kantong kresek pun mulai disebar. Mabuk laut. Itulah yang
dialami oleh sebagian besar penumpang. Goncangan kapal telah memaksa apa yang
disantap saat sahur harus segera dikeluarkan. Muntah pun tak tertahankan, wuaakkh….memenuhi kantung kresek.
Untungnya, suasana mencekam itu hanya berlangsung lima belas
menit. Setelah itu, kapal mulai melaju dengan tenang. Dan, tak terasa sejam
kemudian kapal telah merapat di Pelabuhan Raha. Sampailah saya di kampung
halaman. Alhamdulillah.(*)
Komentar
Posting Komentar