“Badan Pertahanan SBY!”,
demikian salah satu kalimat yang terlontar dari salah seorang penanya
di ujung telepon dalam sebuah acara interaktif di sebuah stasiun TV
swasta hari itu.
Kalimat itu tentu sebuah ejekan, bukti shahih bahwa
di ruang publik tidak sedikit orang yang ragu, bahkan tidak percaya
dengan data kemiskinan dan independensi Badan Pusat Statistik (BPS). Ada
kecurigaan BPS selalu memihak pemerintah terkait statistik kemiskinan
yang diwartakannya ke khalayak.
Acara yang membedah editorial Media Indonesia bertajuk Peta Kemiskinan
hari itu menyoroti statistik kemiskinan yang baru saja dirilis BPS
beberapa hari sebelumnya (2/7), tentang jumlah penduduk miskin yang
dikabarkan mengalami penurunan sebesar 890 ribu orang.
Lagi-lagi jumlah penduduk miskin dikatakan turun,
sesuatu yang tentu sulit diterima dan sama sekali “tidak masuk akal”
bagi mereka (termasuk penanya yang komentarnya cukup pedas itu) yang
terlanjur tak lagi percaya dengan pemerintahan saat ini karena pekatnya,
meminjam istilah Sindhunata, “oli kebohongan” yang melumuri jalannya
politik negeri ini.
Beberapa hari lalu, saya juga mendapati hal yang serupa dalam spektrum yang lebih luas. Pada salah satu tulisan saya di Kompasiana ini, seorang pengunjung menuliskan komentar bernada skeptis, “Bapak kerja di BPS, ya? Data-data BPS benar nggak, bisa dipercaya nggak sih?”. Saya hanya bisa tersenyum kala membacanya.
Fakta keseharian, yakni kondisi ekonomi yang kian
sulit bagi rakyat kecil, selalu dijadikan argumen untuk mempersoalkan
realistis atau tidaknya penurunan kemiskinan yang dilaporkan BPS.
Pertanyaannya kemudian, reprsentatifkah fakta keseharian yang dimaksud
untuk menggambarkan kondisi riil negeri ini yang maha luas: dari Aceh
hingga Papua? Sebuah pertanyaan yang tentu harus dipastikan terlebih
dahulu jawabannya sebelum menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk
miskin yang dilaporkan BPS realistis atau tidak.
Faktual, dalam beberapa tahun belakangan ini,
statistik kemiskinan yang dirilis BPS kerap mendapat tanggapan sinis di
ruang publik. Satu kata yang kerap muncul di ruang publik (media) kala
BPS mewartakan jumlah penduduk miskin yang terus turun (sejak tahun
2006) adalah “kebohongan.” Sebuah kata yang, jujur, begitu menyayat hati kami
para insan BPS. Seolah kerja keras, kesungguhan hati, peluh dan lelah
yang telah kami curahkan selama ini kala melakoni peliknya kerja
statistik hanyalah kepura-puraan, sesuatu yang sama sekali tidak
bernilai.
Lewat kata yang mewakili ibu segala dosa itu, yang
merupakan biang keterpurukan dan karut-marutnya kondisi negeri ini, kami
merasa dituduh sebagai aktor yang telah berkontribusi menggiring bangsa
dan negaranya sendiri kepada kehancuran dengan menyajikan kebohongan
yang diramu sedemikian rupa melalui angka-angka statistik. Kami tak
ubahnya para koruptor yang pesakitan itu.
Gelas setengah terisi
Jika publik mau cermat dan hati-hati ketika membaca
data-data statistik yang dirilis BPS, sebetulnya juga terdapat ruang
yang cukup luas untuk mengkritisi dan menyoal keberhasilan pemerintah
berdasarkan data-data BPS, tidak melulu memuji. Bahwa seperti halnya
kata “berhasil”, kata “gagal” juga secara relatif bisa terkonfirmasi
oleh data-data BPS kala menyoroti kinerja pembangunan yang telah dijalankan pemerintah.
Ambil contoh, di awal tahun ini, BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2011 mencapai 6,5
persen. Angka yang cukup impresif kata para ekonom. Fakta bahwa rezim
SBY-Budiono telah berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi
jangan lupa, pada saat yang sama, statistik yang dilaporkan BPS juga
mengonfirmasi, pemerintah telah ”gagal” mewujudkan pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat kecil.
BPS melaporkan, indeks gini telah menembus rekor
tertinggi sepanjang sejarah sejak republik ini berdiri, yakni sebesar
0,41, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga
dibarengi dengan jurang ketimpangan pendapatan yang kian menganga.
Menjadikan si kaya makin kaya, dan si miskin makin terpuruk dalam
kemiskinannya.
Nilai indeks gini yang dilaporkan terus meningkat
selama beberapa tahun terakhir oleh BPS menunjukkan, gemuruh pembangunan
yang dilakukan pemerintah selama ini telah “gagal” menghadirkan
kesejahteraan secara berarti bagi rakyat kecil, yang terjadi justru
sebaliknya: defisit kesejahteraan dan kian meningkatnya kemiskinan
relatif meskipun kemiskinan absolut dilaporkan terus berkurang.
Bukankah, ini merupakan aib bagi pencitraan
pemerintah? Bukankah ini merupakan celah bagi para pengkritisi dan
mereka yang tidak puas dengan pemerintahan saat ini untuk menyerang
kinerja pemerintah sejadi-jadinya? Lalu, masih pantaskah kita sebut BPS
sebagai “Badan Pertahanan SBY”?
Begitupula dengan angka kemiskinan absolut yang dilaporkan turun
sebesar 890 ribu orang itu, ibarat sebuah gelas yang terisi air hingga
setengahnya. Orang bisa menyikapinya secara berbeda. Kita
bisa mengatakan bahwa gelas tersebut tinggal separoh lagi akan penuh,
atau sebaliknya baru terisi setengahnya. Keduanya tentu benar meskipun
makna tersirat yang disampaikan bisa berbeda.
Pemerintah boleh mengklaim telah “berhasil”
menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 890 orang. Tapi, pada saat
yang sama, bukankah cukup beralasan bagi kita untuk mengatakan bahwa
pemerintah telah “gagal” menurunkan jumlah penduduk miskin secara
berarti karena penurunan sebesar itu tentu tidak berimbang dengan
puluhan triliun dana yang telah digelontorkan untuk penanggulangan
kemiskinan. Belum lagi kalau kita hadirkan fakta lain bahwa jumlah
penduduk hampir miskin justru kian bertambah, tentu semakin beralasan
untuk mengatakan bahwa pemerintah telah “gagal”. (*)
Komentar
Posting Komentar