Arif Ibrahim Koto (Nyolong dari FB yang bersangkutan) |
Lima hari lalu (17/7), seorang sahabat nun di Pulau
Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait
penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook.
Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya.
Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya.
"Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presentasi di depan Pak Bupati pula.
Saya tidak bisa membayangkan, kawan yang tubuhnya, juga penampilannya mirip anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu bakal presentasi di depan para pejabat Pemda. Jujur, saya yang saban hari hanya akrab dengan Mr.Xerox (mesin printer) betul-betul angkat topi dan harus berkata: “wow hebat banget gitu loh!”
Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkannya beserta jawabannya. Semoga, juga menjawab keingintahuan Anda terkait penghitungan angka kemiskinan, salah satu indikator statistik terseksi di BPS itu.
(1) Perbedaan antara Purchasing Power Parity (PPP) dan exchange rate itu gimana ya, boss? Yang digunakan sebagai garis kemiskinan (GK) kan dalam PPP, sedangkan orang awam menerjemahkan sebagai exchange rate (nilai tukar) kan?
Jawab: PPP dan exchange rate jelas berbeda. PPP menunjukkan daya beli dari suatu nilai nominal (mata uang), sedangkan nilai tukar menunjukkan harga relatif suatu mata uang (misalnya, rupiah) terhadap mata uang lainnya (misalnya, dollar AS). Karenanya, jika dirupiahkan, 1 dollar PPP tidak sama nilainya dengan 1 dollar AS. Jika berdasarkan kurs saat ini satu dollar AS nilainya sekitar Rp10.000, nilai satu dollar PPP lebih rendah dari itu: sekitar Rp8.000. Kenapa bisa beda? Padahal sama-sama dollar (AS)? Ini dikarenakan daya beli satu dollar di Amerika bisa saja kurang dari Rp10.000 di Indonesia. Ingat, biaya hidup (harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan barang dan jasa) tidak sama pada setiap negara. Bisa jadi, satu paket komoditi barang dan jasa dihargai satu dollar AS di Amerika, dan pada saat yang sama paket komoditi yang identik tersebut bisa diperoleh dengan harga kurang dari satu dollar AS di Indonesia (di bawah Rp10.000). Kira-kira seperti itu filosofi dari PPP. Persoalan pelik dalam penghitungan PPP adalah menentukan paket komoditi yang dapat diperbandingkan antar negara harga-harganya.
(2) Untuk membandingkan kemiskinan antar negara, yang dipakai itu data World Bank atau BPS? kalau data BPS, apakah "apple to apple" terhadap negara lain?
Jawab: Sebetulnya angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia juga dihitung berdasarkan data BPS, yakni data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Yang berbeda adalah batas kemiskinan atau nilai nominal garis kemiskinan (GK) yang digunakan. Bank Dunia menggunakan dollar PPP (bukan dollar kurs) agar ada keterbandingan antar negara. Karena biaya hidup di setiap negara berbeda. Saat ini, ada dua ukuran yang digunakan: 1,25 dollar PPP dan 2 dollar PPP. GK yang digunakan BPS saat ini mendekati 1,25 dollar PPP. Jika yang digunakan adalah garis kemiskinan nasional pada masing-masing negara, keterbandingan antar negara tidak tercapai, tidak “apple to apple”. Karenanya, GK BPS hanya dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Jika digunakan untuk negara lain, tidak representatif. Bisa terlalu tinggi atau sebaliknya, terlalu rendah. Patut dicamkan. Meskipun, angka kemiskinan yang didasarkan pada GK Bank Dunia selalu lebih tinggi dari angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan GK BPS, baik angka kemiskinan Bank Dunia maupun angka kemiskinan BPS selalu menunjukkan tren yang sama terkait perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia, yakni terus mengalami penurunan secara konsisten. Bahkan, laju penurunan persentase penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Bank Dunia lebih tajam bila dikomparasi dengan data BPS. Selain itu, GK Bank Dunia dan GK BPS bukan untuk saling dibenturkan. Kerena keduanya saling melengkapi untuk peruntukan yang berbeda (silahkan baca tulisan-tulisan saya terkait hal ini di Blognya Kadir, boss).
(3) Garis kemiskinan kan katanya berdasarkan konsumsi ya?
Nah, aku bingung, kenapa di sini (Mentawai) yang harganya selangit (bensin aja bisa mencapai Rp.25.000/liter kalau langka, tapi rata-rata sih Rp10.000/liter) tapi garis kemiskinannya rendah? Selalu cenderung dibawah GK Sumbar. Bahkan termasuk yang terendah di antara 19 kab./kota. Padahal, dari segi–biaya–konsumsi justru yang termahal di antara kab./kota lainnya.
Jawab: Itu kelamahan GK yang ada saat ini. Sederhananya, salah satu indikator yang memengaruhi nilai GK (utamanya penghitungan GK sementara ketika akan menentukan populasi rujukan) adalah inflasi, sementara inflasi dihitung hanya pada 66 kota. Untuk Kabupaten Mentawai tentu tak ada inflasinya. Dengan demikian, perkembangan harga-harga di Mentawai dianggap sama dengan kota-kota lain di Sumbar yang dihitung inflasinya, Kota Padang dan Solok, misalnya. Intinya, akurasi penghitungan hingga level kabupaten masih perlu ditingkatkan (jumlah sampel perlu ditambah). Penghitungan akan semakin presisi jika dilakukan semacam Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) dan penghitungan inflasi (perkembangan harga-harga) pada level kabupaten. Dan, ini bisa menjadi proyek yang cukup menjanjikan untuk dipresentasikan di depan Pak Bupati nantinya....hehehe.
Selamat berjuang, boss. Good Luck. (*)
Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya.
Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya.
"Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presentasi di depan Pak Bupati pula.
Saya tidak bisa membayangkan, kawan yang tubuhnya, juga penampilannya mirip anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu bakal presentasi di depan para pejabat Pemda. Jujur, saya yang saban hari hanya akrab dengan Mr.Xerox (mesin printer) betul-betul angkat topi dan harus berkata: “wow hebat banget gitu loh!”
Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkannya beserta jawabannya. Semoga, juga menjawab keingintahuan Anda terkait penghitungan angka kemiskinan, salah satu indikator statistik terseksi di BPS itu.
(1) Perbedaan antara Purchasing Power Parity (PPP) dan exchange rate itu gimana ya, boss? Yang digunakan sebagai garis kemiskinan (GK) kan dalam PPP, sedangkan orang awam menerjemahkan sebagai exchange rate (nilai tukar) kan?
Jawab: PPP dan exchange rate jelas berbeda. PPP menunjukkan daya beli dari suatu nilai nominal (mata uang), sedangkan nilai tukar menunjukkan harga relatif suatu mata uang (misalnya, rupiah) terhadap mata uang lainnya (misalnya, dollar AS). Karenanya, jika dirupiahkan, 1 dollar PPP tidak sama nilainya dengan 1 dollar AS. Jika berdasarkan kurs saat ini satu dollar AS nilainya sekitar Rp10.000, nilai satu dollar PPP lebih rendah dari itu: sekitar Rp8.000. Kenapa bisa beda? Padahal sama-sama dollar (AS)? Ini dikarenakan daya beli satu dollar di Amerika bisa saja kurang dari Rp10.000 di Indonesia. Ingat, biaya hidup (harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan barang dan jasa) tidak sama pada setiap negara. Bisa jadi, satu paket komoditi barang dan jasa dihargai satu dollar AS di Amerika, dan pada saat yang sama paket komoditi yang identik tersebut bisa diperoleh dengan harga kurang dari satu dollar AS di Indonesia (di bawah Rp10.000). Kira-kira seperti itu filosofi dari PPP. Persoalan pelik dalam penghitungan PPP adalah menentukan paket komoditi yang dapat diperbandingkan antar negara harga-harganya.
(2) Untuk membandingkan kemiskinan antar negara, yang dipakai itu data World Bank atau BPS? kalau data BPS, apakah "apple to apple" terhadap negara lain?
Jawab: Sebetulnya angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia juga dihitung berdasarkan data BPS, yakni data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Yang berbeda adalah batas kemiskinan atau nilai nominal garis kemiskinan (GK) yang digunakan. Bank Dunia menggunakan dollar PPP (bukan dollar kurs) agar ada keterbandingan antar negara. Karena biaya hidup di setiap negara berbeda. Saat ini, ada dua ukuran yang digunakan: 1,25 dollar PPP dan 2 dollar PPP. GK yang digunakan BPS saat ini mendekati 1,25 dollar PPP. Jika yang digunakan adalah garis kemiskinan nasional pada masing-masing negara, keterbandingan antar negara tidak tercapai, tidak “apple to apple”. Karenanya, GK BPS hanya dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Jika digunakan untuk negara lain, tidak representatif. Bisa terlalu tinggi atau sebaliknya, terlalu rendah. Patut dicamkan. Meskipun, angka kemiskinan yang didasarkan pada GK Bank Dunia selalu lebih tinggi dari angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan GK BPS, baik angka kemiskinan Bank Dunia maupun angka kemiskinan BPS selalu menunjukkan tren yang sama terkait perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia, yakni terus mengalami penurunan secara konsisten. Bahkan, laju penurunan persentase penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Bank Dunia lebih tajam bila dikomparasi dengan data BPS. Selain itu, GK Bank Dunia dan GK BPS bukan untuk saling dibenturkan. Kerena keduanya saling melengkapi untuk peruntukan yang berbeda (silahkan baca tulisan-tulisan saya terkait hal ini di Blognya Kadir, boss).
(3) Garis kemiskinan kan katanya berdasarkan konsumsi ya?
Nah, aku bingung, kenapa di sini (Mentawai) yang harganya selangit (bensin aja bisa mencapai Rp.25.000/liter kalau langka, tapi rata-rata sih Rp10.000/liter) tapi garis kemiskinannya rendah? Selalu cenderung dibawah GK Sumbar. Bahkan termasuk yang terendah di antara 19 kab./kota. Padahal, dari segi–biaya–konsumsi justru yang termahal di antara kab./kota lainnya.
Jawab: Itu kelamahan GK yang ada saat ini. Sederhananya, salah satu indikator yang memengaruhi nilai GK (utamanya penghitungan GK sementara ketika akan menentukan populasi rujukan) adalah inflasi, sementara inflasi dihitung hanya pada 66 kota. Untuk Kabupaten Mentawai tentu tak ada inflasinya. Dengan demikian, perkembangan harga-harga di Mentawai dianggap sama dengan kota-kota lain di Sumbar yang dihitung inflasinya, Kota Padang dan Solok, misalnya. Intinya, akurasi penghitungan hingga level kabupaten masih perlu ditingkatkan (jumlah sampel perlu ditambah). Penghitungan akan semakin presisi jika dilakukan semacam Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) dan penghitungan inflasi (perkembangan harga-harga) pada level kabupaten. Dan, ini bisa menjadi proyek yang cukup menjanjikan untuk dipresentasikan di depan Pak Bupati nantinya....hehehe.
Selamat berjuang, boss. Good Luck. (*)
Komentar
Posting Komentar