Ada sosok yang menarik untuk diulas di Direktorat Pegembangan Metodologi Sensus dan Survei, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI). Sosok yang tak lama lagi bakal angkat kaki (baca: pensiun) dari BPS itu, boleh dibilang, adalah orang yang paling bertanggungjawab atas validitas dan keterandalan metodologi setiap sensus dan survei besar yang dihelat BPS.
Dia adalah sang maestro, arsitek metodologi setiap sensus dan survei besar yang dilkakukan BPS dalam beberapa tahun terakhir. Saking sentralnya peran sosok yang bernama lengkap Ir. Purwanto Ruslam itu, selama ini di BPS ada pemeo: setiap kata yang terlontar dari lisannya terkait metodologi ibarat fatwa, titah, sebuah kebenaran mutlak (absolutely truth) yang tak bisa dibantah (kecuali oleh orang-orang tertentu pastinya). Terkait metodologi, seolah dia punya otoritas untuk berkata" soal metodologi itu domain gue, kalian cukup manut saja."
Sayangnya, di penghujung masa pengabdiannya, Pak Pur, demikian biasa dia disapa, belum meninggalkan ganti yang sepadan. Sang maestro nampaknya bakal tak tergantikan. Dan, lagi-lagi penyebabnya adalah soal regenerasi yang mandek. Entah transfer of knowledge atau transfer of experiance tidak berjalan dengan baik yang menjadi penyebab atau hal lain, saya tidak tahu.
Namun, tidak semua orang BPS yang pernah bersentuhan dengannya dalam berbagai sensus dan survei mengaguminya sebagai meastro. Atasan saya, salah satunya. Master Ekonomoi Sumber Daya Alam jebolan Queensland University itu berulangkali berucap di depan saya, "menurut saya, Pak Pur itu cuman beken doang." Saya menduga, kasus kesalahan metodologi saat mengestimasi jumlah babi di Provinsi Banten kala dia menjadi staf di Subdirektorat Statistik Peternakan adalah biang minimnya kekaguman terhadap sosok Pak Pur pada dirinya. Kala itu, jumlah babi tiba-tiba menggelembung menjadi ribuan ekor, padahal berdasarkan hasil survei hanya ada satu ekor babi yang diternakan. Menurutnya, ini terjadi karena kesalahan pemberian weight (pembobot) saat proses estimasi.
Data kita, karya kita bersama
Berbeda dengan atasan saya, saya termasuk orang yang kagum dengan sosok Pak Pur. Saat beberapa kali menyimak paparan yang dibawakannya terkait metodologi sensus atau survei, saya selalu merasa disuguhi penyampaian yang bernas, filosofis, dan syarat pengalaman. Satu hal yang tertanam betul dalam pikiran saya adalah statementnya bahwa data hasil Sensus Penduduk 2010 adalah karya kita bersama, data kita, bagaimanapun hasilnya. Penggunaan kata "kita" pada statemen tersebut jelas ingin mempertegas bahwa semua insan BPS yang terlibat dalam kegiatan Sensus Penduduk 2010, baik langsung maupun tidak langsung, bertanggungjawab terhadap akurasi angka 237,6 juta penduduk Indonesia itu. Jika angka ini melenceng jauh dari true value, itu adalah kesalahan kita bersama.
Statemen Pak Pur di atas saya kira berlaku umum pada setiap statistik (baca:data) yang dihasilkan BPS melalui berbagai kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara berjenjang dan kolektif, melibatkan seluruh insan BPS, langsung maupun tidak langsung. Jika angka kemiskinan yang ada saat ini, misalnya, memang tidak sesuai (bukan direkayasa) dengan fakta keseharian yang sesungguhnya–seperti kritikan yang kerap dilontarkan oleh sejumlah kalangan–dan ini terjadi karena data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dihasilkan, yang notabene merupakan dasar penghitungan jumlah penduduk miskin itu, jauh dari akurat, itu adalah salah kita bersama karena angka kemiskinan yang ditanggapi secara sinis oleh mereka yang tidak percaya itu adalah data kita, karya kita bersama. Begitupula dengan angka konversi gabah ke beras, yang menurut saya hasilnya kurang memuaskan itu, adalah karya kita bersama. Saya terkadang merinding membayangkan bagaimana angka itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya strategis terkait kebijakan perberasan di negeri ini, seperti penyusunan neraca perberasan, keputusan impor beras, dan justifikasi surplus 10 juta ton beras di 2014 yang merupakan salah satu target ambisius rezim SBY.
Semua insan BPS harus sadar bahwa setiap data yang dihasilkan melalui berbagai sensus dan survei itu adalah hasil dari sebuah proses statistik yang panjang, merupakan hasil kerja kolektif (teknis dan nonteknis) serta berjenjang: mulai dari perencanaan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, hingga deseminasi. Kesalahan bisa terjadi pada setiap tahapan proses, dan merupakan hasil kontribusi kolektif setiap insan BPS sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Singkat kata, semua kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kolektif dan sistemik. Karena itu, tak ada gunanya saling menyalahkan. Saling melempar kesalahan hanya akan menghambur-hamburkan energi secara sia-sia. Mari kita perbaiki bersama....!
Sebagai penutup, saya hanya ingin menyampaikan bahwa mengumpulkan sampah itu bukanlah hal yang sulit dilakukan, hanya butuh sedikit peluh dan lelah untuk mengaisnya, mungkin juga dengan mengorbankan sedikit rasa malu. Tatapi tidak dengan mengolah sampah yang sama sekali tidak berguna itu agar menjadi sesuatu yang sedikit lebih berguna. Dibutuhkan sedikit “kreativitas” untuk melakukannya. Kreativitas yang tidak hanya memeras otak, tetapi juga menggerus harga diri dan idealisme sebagai seorang statistisi, yang senantiasa dituntut untuk Profesional, Integritas, dan Amanah (PIA).(*)
Dia adalah sang maestro, arsitek metodologi setiap sensus dan survei besar yang dilkakukan BPS dalam beberapa tahun terakhir. Saking sentralnya peran sosok yang bernama lengkap Ir. Purwanto Ruslam itu, selama ini di BPS ada pemeo: setiap kata yang terlontar dari lisannya terkait metodologi ibarat fatwa, titah, sebuah kebenaran mutlak (absolutely truth) yang tak bisa dibantah (kecuali oleh orang-orang tertentu pastinya). Terkait metodologi, seolah dia punya otoritas untuk berkata" soal metodologi itu domain gue, kalian cukup manut saja."
Sayangnya, di penghujung masa pengabdiannya, Pak Pur, demikian biasa dia disapa, belum meninggalkan ganti yang sepadan. Sang maestro nampaknya bakal tak tergantikan. Dan, lagi-lagi penyebabnya adalah soal regenerasi yang mandek. Entah transfer of knowledge atau transfer of experiance tidak berjalan dengan baik yang menjadi penyebab atau hal lain, saya tidak tahu.
Namun, tidak semua orang BPS yang pernah bersentuhan dengannya dalam berbagai sensus dan survei mengaguminya sebagai meastro. Atasan saya, salah satunya. Master Ekonomoi Sumber Daya Alam jebolan Queensland University itu berulangkali berucap di depan saya, "menurut saya, Pak Pur itu cuman beken doang." Saya menduga, kasus kesalahan metodologi saat mengestimasi jumlah babi di Provinsi Banten kala dia menjadi staf di Subdirektorat Statistik Peternakan adalah biang minimnya kekaguman terhadap sosok Pak Pur pada dirinya. Kala itu, jumlah babi tiba-tiba menggelembung menjadi ribuan ekor, padahal berdasarkan hasil survei hanya ada satu ekor babi yang diternakan. Menurutnya, ini terjadi karena kesalahan pemberian weight (pembobot) saat proses estimasi.
Data kita, karya kita bersama
Berbeda dengan atasan saya, saya termasuk orang yang kagum dengan sosok Pak Pur. Saat beberapa kali menyimak paparan yang dibawakannya terkait metodologi sensus atau survei, saya selalu merasa disuguhi penyampaian yang bernas, filosofis, dan syarat pengalaman. Satu hal yang tertanam betul dalam pikiran saya adalah statementnya bahwa data hasil Sensus Penduduk 2010 adalah karya kita bersama, data kita, bagaimanapun hasilnya. Penggunaan kata "kita" pada statemen tersebut jelas ingin mempertegas bahwa semua insan BPS yang terlibat dalam kegiatan Sensus Penduduk 2010, baik langsung maupun tidak langsung, bertanggungjawab terhadap akurasi angka 237,6 juta penduduk Indonesia itu. Jika angka ini melenceng jauh dari true value, itu adalah kesalahan kita bersama.
Statemen Pak Pur di atas saya kira berlaku umum pada setiap statistik (baca:data) yang dihasilkan BPS melalui berbagai kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara berjenjang dan kolektif, melibatkan seluruh insan BPS, langsung maupun tidak langsung. Jika angka kemiskinan yang ada saat ini, misalnya, memang tidak sesuai (bukan direkayasa) dengan fakta keseharian yang sesungguhnya–seperti kritikan yang kerap dilontarkan oleh sejumlah kalangan–dan ini terjadi karena data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dihasilkan, yang notabene merupakan dasar penghitungan jumlah penduduk miskin itu, jauh dari akurat, itu adalah salah kita bersama karena angka kemiskinan yang ditanggapi secara sinis oleh mereka yang tidak percaya itu adalah data kita, karya kita bersama. Begitupula dengan angka konversi gabah ke beras, yang menurut saya hasilnya kurang memuaskan itu, adalah karya kita bersama. Saya terkadang merinding membayangkan bagaimana angka itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya strategis terkait kebijakan perberasan di negeri ini, seperti penyusunan neraca perberasan, keputusan impor beras, dan justifikasi surplus 10 juta ton beras di 2014 yang merupakan salah satu target ambisius rezim SBY.
Semua insan BPS harus sadar bahwa setiap data yang dihasilkan melalui berbagai sensus dan survei itu adalah hasil dari sebuah proses statistik yang panjang, merupakan hasil kerja kolektif (teknis dan nonteknis) serta berjenjang: mulai dari perencanaan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, hingga deseminasi. Kesalahan bisa terjadi pada setiap tahapan proses, dan merupakan hasil kontribusi kolektif setiap insan BPS sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Singkat kata, semua kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kolektif dan sistemik. Karena itu, tak ada gunanya saling menyalahkan. Saling melempar kesalahan hanya akan menghambur-hamburkan energi secara sia-sia. Mari kita perbaiki bersama....!
Sebagai penutup, saya hanya ingin menyampaikan bahwa mengumpulkan sampah itu bukanlah hal yang sulit dilakukan, hanya butuh sedikit peluh dan lelah untuk mengaisnya, mungkin juga dengan mengorbankan sedikit rasa malu. Tatapi tidak dengan mengolah sampah yang sama sekali tidak berguna itu agar menjadi sesuatu yang sedikit lebih berguna. Dibutuhkan sedikit “kreativitas” untuk melakukannya. Kreativitas yang tidak hanya memeras otak, tetapi juga menggerus harga diri dan idealisme sebagai seorang statistisi, yang senantiasa dituntut untuk Profesional, Integritas, dan Amanah (PIA).(*)
Komentar
Posting Komentar