Saya punya sohib (sok dekat) seorang pejabat eselon IV di BPS. Kami berdua sering terlibat diskusi "ngawur" selepas jam kerja. Saya sering mampir ke ruangannya saat jam kerja usai, tujuan utama saya sebetulnya cuma satu: mencari tumpangan alias tebengan gratis untuk pulang.....hehehe.
Maklum, dari hari ke hari pelayanan bus Transjakarta (busway) kian "brengsek." Saat menunggu bus di Halte Budi Utomo, di dalam pikiran saya terkandang terlintas niat jahat. Bukan melakukan pelecehan seksual di dalam bus. Meskipun, kesempatan untuk itu memang terbuka lebar.....hehehe. Bukan, saya masih sedikit bermoral untuk tidak melakukan itu.
Niat jahat yang saya maksudkan adalah memukul supir bus dan penjaga pintunya atau kalau perlu pejabat yang bertanggungjawab terhadap brengseknya pelayanan yang diberikan pihak Transjakarta. Saya katakan brengsek karena jelas sudah keterlaluan menunggu lebih dari satu jam hanya untuk masuk ke dalam bus yang syarat penumpang, berhimpit-himpitan hampir satu jam lamanya menuju tempat tujuan.
Regenerasi
Lupakan soal pelayanan busway yang brengsek itu. Mudah-mudahan, setelah pilkada Rabu nanti pelayanan busway segera dibenahi. Meskipun, Si Kumis, yang katanya ahli soal Jakarta itu, kembali berkuasa....ohh tidak, Jakarta bakal kembali BERKUMIS (BERantakan, KUmuh, dan MISkin).
Kembali ke topik utama. Tema diskusi kami beragam, mulai dari yang ringan dan santai hingga yang berat dan serius, seperti metodologi thesisnya yang mengusung topik mengenai kepuasan konsumen data terhadap website BPS (www.bps.go.id), hukum mengkhususkan amalan tertentu pada malam nisfu (pertengahan) sya'ban, Sensus Pertanian yang belum kunjung kelar kuesionernya padahal tak lama lagi bakal dihelat (2013), soal promosinya menjadi kepala BPS di salah satu kota di Sumatera, dan tentu saja juga soal masa depan BPS setelah ditinggal pergi Pak Rusman, yang kini menjabat sebagai Wamentan....gile, berat banget.
Terkait tema yang terakhir, kami berdua banyak memilki kesamaan pandang. Kesimpulan kami selalu mengarah pada satu titik: kepemimpinan BPS bakal mengalami kemunduran setelah kepergian Rusman. Sulit memang menemukan pemimpin baru sekaliber beliau di tubuh BPS dewasa ini. Saya khawatir, dibutuhkan waktu sangat lama untuk memunculkan kembali Rusman yang baru atau mungkin sosok seperti baliau tak akan muncul lagi hingga BPS dibubarkan...karena selalu mewartakan jumlah penduduk miskin terus menurun, padahal kenyataannya kondisi ekonomi yang dirasakan rakyat kecil kian sulit....hehehe.
Ini serius, saya kira kita patut khawatir karena Rusman meninggalkan BPS tidak dalam kondisi paripurna meskipun dengan berbagai capaian yang luar biasa. Apa yang diretasnya saat menjadi orang nomor satu di BPS belum tuntas. Terutama soal reformasi birokrasi, soal change and reform, di tubuh BPS. Ini adalah sebuah pekerjaan besar yang belum final, kalau menurut saya masih berupa gagasan di awang-awang.
Merubah mindset atau paradigma bukanlah perkara yang remah. Apalagi hal itu merupakan hasil dari sebuah proses yang telah berlangsung sangat lama. Ibarat batuan telah mencapai milestone, keras, tak akan pecah, bahkan mental meskipun digodam sekeras apapun. Hanya dengan kepemimpinan yang kuat perubahan yang dimaksud bakal terwujud. Alasannya, kita adalah bangsa komunal dan paternalistik, kita selalu butuh panutan alias role model yang bisa diajidakan acuan setiap perkataan dan tingkah lakunya. Sayangnya, sosok itu telah pergi dari BPS tanpa meninggalkan ganti yang sepadan. Tanpa kepeminpinan yang kuat, ide-ide besar seperti change and reform, STATCAP-CERDAS, PIA, atau apalah namanya hanyalah sekedar utopia.
Pemimpin yang hebat tidaklah turun dari langit. Dia tidak muncul begitu saja secara tiba-tiba. Tetapi lewat sebuah proses kaderisasi yang panjang, terencana, dan berkesinambungan. Kenapa kita begitu sulit mencari pemimpin baru yang sepadan atau bahkan kualitasnya melebihi Rusman dari sekian banyak pejabat eselon I dan II di BPS? Jawabannya, menurut saya sederhana, kaderisasi tidak berjalan seperti seharusnya.
Singkat kata, pemimpin hebat itu tidak lahir secara kebetulan, tetapi disiapkan secara terencana dan berkesinambungan. Dan ini harus dilakukan sedini mungkin (kalau perlu sejak sang kader pertama kali menginjakkan kakinya di kampus STIS, di Otista itu).
Hanya pendapat pribadi seorang kuli data yang pikirannya sering "ngawur." Jika tak setuju ditunggu sanggahannya.
Komentar
Posting Komentar