Lewat tulisan singkat ini, saya ingin membagikan sebuah pengalaman menarik saat menjadi asrot dalam rapat koordinasi Sensus Pertanian 2013 (ST2013) yang mempertemukan BPS dan para pemangku kepentingan (stakeholders), yakni pihak-pihak yang berkepentingan dengan data hasil ST2013 (Kementerian Pertanian dan Bappenas), Jumat lalu (11/5).
Rapat yang diawali paparan bertajuk Rencana Kegiatan Sensus Pertanian 2013 oleh Direktur Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (STPHP) itu berlangsung seru, terutama pada bagian tanya jawabnya. Peserta rapat sangat antusias dalam mengajukan sejumlah pertanyaan dan saran. Di antara sekian banyak pertanyaan yang diajukan, ada sebuah pertanyaan yang menurut saya cukup menarik. Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang pejabat Eselon IV di lingkungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan).
Pejabat yang menurut saya namanya lumayan keren itu, Oscar Rully, bertanya perihal konsep "petani" yang bakal digunakan BPS dalam pelaksanaan ST2013 nanti. Menurut dia, konsep yang digunakan BPS selama ini dalam mendefenisikan petani kurang pas. Dengan defenisi yang kurang pas itu, ada kemungkinan mereka yang hanya terlibat dari sisi permodalan saja pada sebuah usaha pertanian (tanaman pangan, misalnya), yang menurut dia lebih pantas disebut sebagai pengusaha tercatat sebagai petani. Konsekwensinya tentu jelas, jumlah petani kita bisa membengkak.
Pertanyaan di atas memang harus dijawab secara tuntus dalam forum yang terhormat lagi bergengsi itu. Pasalnya, tema yang diusung dalam ST2013 kali ini adalah "Menyediakan Informasi untuk Masa Depan Petani yang Lebih Baik." Pertanyaannya kemudian, siapa petani yang dimaksud dalam tema itu? Selain itu, ini juga terkait dengan kredibilitas BPS sebagai lembaga penyedia data pertanian di depan para stakeholder yang terhormat. Yang terakhir ini mungkin sedikit lebay.
Pertanyaan tentang siapa petani yang dimaksud nampaknya tidak mudah untuk dijawab. Terbukti, Pak Direktur STPHP, yang sudah dua kali memanggil saya keruangannya untuk diintrogasi dan dinasehati, tak bisa menjawab. Karenanya, dia menunjuk salah seorang pejabat Eselon III di lingkungan Direktorat STPHP untuk menjelaskan perihal konsep petani dalam ST2013.
Sayangnya, pilihan Pak Direktur yang jatuh pada Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Statistik Hortikultura itu ternyata kurang tepat. Sang kasubdit anyar itu gagal menjelaskan dengan baik: penjelasannya boleh dibilang tidak lengkap dan goyang. Kesalahan fatal dalam penjelasannya adalah ketika membatasi konsep petani hanya mencakup mereka yang menjual sebagian atau seluruh hasil komoditas pertanian yang diusahakan. Artinya, mereka yang bertani hanya untuk konsumsi sendiri tidak termasuk petani. Ini tentu sebuah kekeliruan. Untungnya, seorang pejabat Eselon IV dari Subdit Statistik Tanaman Pangan tampil dan angkat suara untuk menjelaskan konsep petani yang dimaksud dengan jelas dan terang, yang tidak lain adalah atasan saya. Kredibilitas BPS pun terselamatkan dalam forum bergengsi itu.
Pesan yang ingin disampaikan dari tulisan ini adalah kita harus bertanggungjawab saat diamanahi tugas sebagai seorang pejabat dengan menunjukkan kualitas dan kapabilitas yang mumpuni. Jika tak mampu, jangan sekali-kali mengemban amanah itu.(*)
Komentar
Posting Komentar