Setelah dua kali mengikuti rapat persiapan
Sensus Pertanian 2013 (ST13) dalam sebulan ini, saya sebagai pendengar merasa
ada yang sedikit janggal dalam proses perencanaan sensus yang digadang-gadang
bakal mengumpulkan informasi untuk masa depan petani yang lebih baik itu.
Mungkin, ini hanya perasaan saya yang masih bau kencur dan kurang pengalaman.
Tapi, saya kira semua orang akan merasa janggal – entah itu berpengalaman atau
tidak – tatkala kuesioner yang bakal digunakan dalam sensus masih mengalami
perubahan dan perombakan di sana-sini meskipun tahap persiapan telah memasuki
gladi bersih.
Saya menduga, hal di atas terjadi setelah
serangkaian pertemuan (diskusi) yang dilakukan oleh tim ST13 dengan para stakeholders (instansi terkait: Kementan,
KKP, KemenPU, dll) serta para praktisi dan penggiat sektor pertanian (para
pelaku usaha dan asosasi) dalam beberapa bulan terakhir. Diskusi yang tentu
saja terlambat, karena seharusnya dilakukan sejak jauh-jauh hari, sedari dulu
sebelum seluruh informasi yang ingin dikumpulkan dipetakan dan ditentukan skala
prioritasnya serta dituangkan dalam butir-butir pertanyaan di kuesioner.
Dari serangkaian diskusi yang telah dilakukan,
nampaknya tim ST13 baru menyadari informasi apa saja sebetulnya yang dibutuhkan
dan diinginkan oleh para pengguna data, dan bahwa kuesioner yang ada selama ini
belum mampu mengakomodir secara optimal semua itu. Kesadaran yang sudah barang
tentu sedikit terlambat karena tahap persiapan sudah terlalu jauh, gladi bersih
pun sudah dilakukan. Terlalu banyak yang harus dikorbankan, terlalu banyak
konstrain yang harus diterabas jika harus melangkah ke belakang.
Kisah menarik terkait hal ini adalah ketika
Ketua Dewan Hortikultura Nasional mengomentari isi kuesioner subsektor
hortikultura, “Di kuesioner ini, Anda
nampaknya ingin mengumpulkan data tentang petani mangga (saja). Terus terang,
data ini tidak berguna buat kami, yang kami butuhkan adalah data petani mangga
golek dan arum manis serta di mana saja sentra-sentra produksinya”. Untuk
mengakomodir apa yang disampaikan dalam statemen ini konsekwensinya tentu
jelas, harus dilakukan sedikit perubahan pada kuesioner subsektor hortikultura.
Ini baru salah satu contoh yang terjadi di lapak hortikultura, sejumlah
subsektor lain juga kurang lebih sama (nampaknya akan mengalami sedikit
perubahan).
Semoga
tidak terulang
Saya kira, kita semua sepakat, dalam konteks
fungsi ideal birokrasi, peran utama Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga
penyedia data adalah pelayan publik (public
servant). Ini mengandung makna, data-data yang dihasilkan dan disajikan
oleh BPS haruslah berguna dan sesuai dengan kebutuhan pengguna data: pemerintah
sebagai pengambil kebijakan, para akademisi dan analis kebijakan, pelaku usaha,
dan masyarakat secara luas. Ini hanya bisa terwujud jika BPS memosisikan diri sebagai
fasilitator dalam memuaskan hasrat kebutuhan pengguna data dalam setiap
kegiatan pengumpulan data yang dilakukannya (sensus maupun survei). BPS harus
mampu menyeimbangkan antara keinginan/kebutuhan para pengguna data dan
keinginan/kebutuhannya sendiri.
Sebagai pelayan publik sejati, BPS tidak boleh
egois dan menganggap diri paling berkepentingan dan paling memiliki terhadap
data yang dihasilkannya. BPS, sebagai institusi yang diamanahi tugas memotret
rekam jejak pembangunan negeri ini dengan data, harus sadar sesadar sadarnya
bahwa dia adalah pelayan data untuk negeri ini, bahwa data yang dihasilkannya adalah
milik publik. Selama paradigma seperti ini belum betul-betul marasuk dalam
tubuh BPS, persoalan klasik akan terus berulang, inefisiensi penggunaan anggaran
negara dalam kegiatan pengumpulan data.
Faktual, dari sekian banyak informasi
(variabel) yang dikumpulkan BPS pada setiap sensus atau survei, hanya sebagian
kecil saja yang kemudian dipublikasikan ke khalayak, sebagian besarnya nyaris
tak terpakai dan terjamah, tersimpan dengan rapih di dalam drive-drive
komputer.Lebih juah lagi, dari sekian banyak informasi yang dipublikasikan itu,
sebagian di antaranya hanya berakhir sebagai lembaran-lembaran kertas tak
berguna, barisan atau deretan angka yang tak pernah dilirik apalagi dipandang.
Sensus Pertanian 2003 (ST03) adalah contoh tragis
yang paling tepat untuk menjelaskan hal ini. Dulu, saat menempuh pendidikan di
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), seorang dosen, yang juga peneliti di
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pernah bertutur di depan kelas,
“Sensus Pertanian 2003 adalah sensus gagal!”.
Jujur, saya, yang kala itu baru tahun pertama di STIS, agak sulit memahami
maksud kata gagal dalam kalimat yang keras nan berani itu. Namun belakangan,
seiring berjalannya waktu, saya akhirnya kian bisa memahami maksud dari kalimat
itu dengan terang dan jelas.
Boleh dibilang, ST03 adalah satu-satunya
kegiatan pengumpulan data yang memotret kondisi sektor pertanian dalam arti
luas (mencakup subsektor tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan kehutanan) secara lengkap dan menyeluruh. Tentu,
dengan melihat betapa hebatnya kuesioner yag digunakan, ada banyak informasi
penting yang dapat ditangkap dan terwartakan melalui gawean yang hanya dilakukan sekali dalam sepuluh tahun itu. Namun
kenyataannya, mungkin ini hanya perasaan saya, hanya sedikit dari sekian banyak
informasi yang berhasil dikumpulkan berhasil dibunyikan di ruang publik. Dan
saya kira, ini merupakan indikator sederhana untuk menentukan seberapa terpakai
data-data sektor pertanian yang berhasil dikumpulkan melalui ST03 lalu oleh
mereka yang sebetulnya berkepentingan (stakeholders).
Jujur, bagi saya selama ini (mungkin juga
Anda), data ST03 hanya berbunyi (sounding)
ketika kita berbicara tentang perkembangan jumlah petani gurem (guremisasi)
serta kualitas para petani kita yang berpendidikan rendah dan tak muda lagi. Tidak
lebih dari itu. Seolah hanya kedua informasi ini saja yang datangkap dari
kegiatan pengumpulan data yang dilaksanakan secara masif dan menghabiskan duit
negara yang tidak sedikit itu. Ke mana informasi lainnya?
Kalau boleh berpendapat, hal di atas
sebetulnya bisa terjadi karena lemahnya sosialisasi dan koordinasi dengan para
pengguna data selama proses perencanaan: utamanya, saat memetakan dan
menentukan informasi apa saja yang bakal dikumpulkan (penyusunan kuesioner)
dalam pelaksanaan sensus. Lemahnya sosialisasi dan koordinasi menjadikan para
pengguna data tidak tahu menahu bahwa data yang mereka butuhkan sejatinya telah
dikumpulkan melalui ST03. Lebih jauh lagi, sosialisasi dan koordinasi yang
lemah juga menjadikan data yang dihasilkan kurang atau bahkan sama sekali tidak
berguna bagi para penggunan data, karena sejatinya tidak sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Semoga hal semacam ini tidak kembali terulang
pada Sensus Pertanian 2013 nanti.(*)
Komentar
Posting Komentar