Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis dua indikator makro penting kamis lalu (7/5): angka pertumbuhan ekonomi triwulan I dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2012.
Kedua indikator ekonomi yang diwartakan BPS itu, boleh dibilang, cukup menggembirakan. Meskipun sedikit lebih rendah dari perkiraan pemerintah dan capaian pada triwulan yang sama tahun lalu (6,5 persen), pertumbuhan ekonomi triwulan I 2012 dilaporkan mencapai 6,3 persen (y-on-y) dan 1,4 persen (q-to-q). Kendati cukup menggembirakan, angka pertumbuhan sebesar 6,3 persen itu sebetulnya merupakan sinyal yang kurang baik, dari sini bisa ditengarai target pemerintah untuk menggenjot pertumbahan ekonomi hingga menembus angka 6,7 persen tahun ini nampaknya bakal sulit terwujud. Pemerintah spertinya harus bekerja lebih giat dan keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi pada tiga triwulan berikutnya. Dan terkait hal ini, kendala infrastruktur adalah persoalan klasik yang harus segera dibenahi.
TPT juga tak kalah membuat girang, BPS melaporkan: dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 120,4 juta orang pada Februari 2012, hanya 6,32 persen yang terkategori pengangguran terbuka, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2011 (6,56 persen) dan Februari 2011 (6,8 persen).
Sejumlah catatan
Di balik kabar gembira yang diwartakan melalui angka pertumbuhan ekonomi triwulan I dan TPT Februari 2012, jika ditelaah lebih dalam, terdapat sejumlah catatan yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah.
Seperti sebelum-sebelumnya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi lagi-lagi lebih ditopang oleh sektor non-tradable (jasa). Dari angka pertumbuhan 6,3 persen itu, sebesar 4,2 persennya merupakan kontribusi sektor non-tradable (listrik, gas, dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomonikasi; keuangan, real estet, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa), hanya 2,1 persen yang berasal dari sumbangan sektor tradeable/riil (pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan perkebunan; pertambangan dan penggalian; dan industri pengolahan).
Selain itu, sektor non-tradable secara umum juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding sektor tradable. Dari sembilan sektor yang ada, pertumbuhan tertinggi ditorehkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, yang tumbuh mengesankan sebesar 10,3 persen; disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran (8,5 persen); konstruksi (7,3 persen); serta keuangan, real estate, dan jasa perusahaan (6,3 persen). Sementara pada saat yang sama, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perkebunan hanya tumbuh sebesar 3,9 persen; sektor pertambangan dan penggalian sebesar 2,9 persen; dan sektor industri pengolahan sebesar 5,7 persen.
Padahal, statistik menunjukkan, selama ini sektor non-tradable lebih sedikit menyerap angkatan kerja dibanding sektor tradable. Pada Februari 2012, misalnya, sebagain besar angkatan kerja kita menggantungkan hidupnya di sektor tradable: pertanian (41,20 persen) dan industri (14,21 persen). Lebih dari itu, sektor pertanian sejatinya merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk miskin negeri ini. Data BPS menunjukkan, sekitar 63 persen penduduk miskin terdapat di perdesaan, dan mudah untuk diduga sebagian besar mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani.
Konsekwensi dari fenomena pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih ditopang oleh sektor non-tradable sangat jelas: pertumbuhan yang terjadi dispastikan tidak dibarengi dengan pemerataan. Dengan kata lain, jurang ketimpangan pendapatan bakal kian melebar. Nilai Indeks Gini (0 sampai 1) yang dihitung BPS telah mengkonfirmasi hal itu. BPS melaporkan, nilai Indeks Gini terus meningkat (ketimpangan kian bertambah) selama beberapa tahun terakhir. Sekedar merinci, pada tahun 2008, Indeks Gini dilaporkan sebesar 0.35, di tahun 2009 naik menjadi 0,37, di tahun 2010 terus naik menjadi 0,39, dan pada tahun 2011 lalu nilai Indeks Gini telah mencapai rekor tertinggi, yakni sebesar 0,41. Itupun dengan catatan, penghitungan indeks didasarkan pada data pengeluaran (SUSENAS). Jika didasarkan pada data pendapatan, dapat dipastikan nilainya bakal lebih tinggi lagi.
Gejala deindustrialisasi (pelemahan sektor industri) juga semakin kuat. Ini ditunjukkan oleh sumbangsih (share) sektor industri pengolahan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya sebesar 23,6 persen, atau mengalami penurunan jika dibandingkan triwulan I 2011 (24,1 persen) dan triwulan IV 2011 (24,5 persen). Sektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan juga setali tiga uang, kontribusinya terhadap pembentukan PDB hanya sebesar 15,2 persen, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan triwulan I 2011 (15,7 persen).
Saya kira, fakta-fakta ini merupakan indikasi kuat bahwa tingkat kesejahteraan mereka yang bekerja di sektor pertanian (dalam arti luas) dan industri tidak banyak berubah sepanjang triwulan I 2012. Untuk sektor pertanian sendiri, hal ini terkonfirmasi oleh perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus menurun secara konsisten sepanjang Januari-Maret 2012 dan perkembangan nilai riil upah buruh tani yang secara umum juga terus menurun pada periode yang sama.
Ketimpangan distribusi PDB secara spasial juga masih menjadi persoalan klasik. Dominasi wilayah Jawa dan Sumatera terhadap pembentukan PDB secara spasial tidak banyak berubah. Kedua wilayah ini tetap digdaya dengan menguasai sekitar 81,1 persen PDB nasional: Jawa (57,5 persen) dan Sumatera (23,6 persen). Hal ini tentu tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik. Penduduk Indonesia di selain kedua wilayah tersebut bisa-bisa hanya merasa sebagai penonton dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Di sisi ketenagakerjaan, meskipun TPT terus mengalami penurunun, informalisasi ekonomi masih terus terjadi. Dari 112,80 juta angkatan kerja yang bekerja pada Februari 2012 lalu, hanya sekitar 42,06 persen yang bekerja di sektor formal. Sisanya, sekitar 57,94 persen, harus berjuang mencari penghidupan di sektor informal. Lebih menohok lagi, sekitar 35,55 juta orang (33,10 persen) dari mereka yang bekerja kenyataannya termasuk pekerja tak penuh: setengah menganggur (14,87 juta orang) dan paruh waktu (20,68 juta orang). Selain itu, sekitar 6,9 juta orang (6,08 persen) dari mereka yang bekerja ternyata memiliki jam kerja kurang dari 15 jam per minggu.
Masih tingginya jumlah penganggur akademik juga merupakan persoalan yang perlu diselesaikan. Faktanya, sekitar 7,50 persen angkatan kerja berpendidikan diploma I-III ternyata menganggur. Begitupula dengan angkatan kerja berpendidikan universitas, sekitar 6,95 persen ternyata juga menganggur. Mereka tentu merupakan potensi yang hilang (potential lost) bagi produktivitas bangsa.
Kita patut bergembira dengan angka pertumbuhan ekonomi triwulan I dan TPT Februari 2012 yang baru saja dirilis oleh BPS, Namun seiring dengan kegembiraan itu, sudah sepatutnya sejumlah catatan yang telah diuarai di atas dicermati dengan seksama. Pemerintah perlu diingatkan.(*)
Komentar
Posting Komentar