Data (statistik) haruslah akurat. Perumusan kebijakan akan tumpul. Begitupula dengan pengambilan keputusan, akan keliru jika tidak didasarkan pada data yang akurat.
Terkait akurasi data, sedikit membuat ‘pegal hati’ ketika membaca berita bertajuk “Pengusaha Tak Percaya pada Data Pangan BPS” yang dimuat di harian Kompas Kamis lalu (12/04/2012). Sejumlah pengusaha dikabarkan skeptis terhadap akurasi data produksi jagung yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011 lalu. Data tersebut dianggap tidak akurat karena kenyataannya tidak konsisten dengan kondisi riil di lapangan.
Diketahui, menurut BPS, produksi jagung dalam bentuk pipilan kering tahun lalu diperkirakan sebesar 17,2 juta ton (ARAM III). Sementara itu, pada saat yang sama, para pelaku industri pakan ternak ternyata harus mengimpor 3,5 juta ton jagung dari manca negara karena sulitnya memperoleh jagung di dalam negeri. Padahal, kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak hanya 6 juta ton.
Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini bisa terjadi? Ke mana perginya kelebihan produksi jagung yang lumayan besar itu (sekitar 10 juta ton)? Tentu akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Dan salah satu jawaban yang cukup mungkin adalah data produksi BPS tidak akurat.
Sebatas indikasi
Sebetulnya, kejanggalan di atas barulah sebatas indikasi untuk menengarai bahwa data produksi jagung pada tahun 2011 lalu ketinggian atau dilebih-lebihkan (overestimate). Dengan lain perkataan, terlalu jauh jika berdasarkan kejanggalan itu kita kemudian menyimpulkan bahwa data BPS tidak akurat dan tak bisa dipercaya. Apalagi sampai menetapkan bahwa tingkat akurasinya hanya 60 persen. Saya kira, dibutuhkan penelisikan lebih dalam untuk memastikan semua itu.
Jika dicermati, angka sebesar 17,2 juta ton sebenarnya merupakan estimasi produksi di lahan pertanian yang tidak memperhitungkan terjadinya susut pasca panen atau kehilangan (loses). Selain itu, penggunaan produksi jagung sebesar 17,2 juta ton itu sebetulnya bukan hanya untuk industri pakan ternak saja. Sebagian tentu ada yang dikonsumsi oleh rumah tangga, digunakan sebagai bibit dan bahan baku industri selain pakan ternak, serta diekspor ke manca negara.
Diketahui, konsumsi jagung penduduk Indonesia mencapai 28,4 kilogram per kapita per tahun (FAO, 2007). Itu artinya, konsumsi jagung seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2011 lalu bisa mencapai 6,8 juta ton: diperoleh dari hasil perkalian antara angka konsumsi per kapita dan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 sebesar 240 juta orang (proyeksi). Ini baru konsumsi rumah tangga, bagaimana dengan penggunaan lainnya?
Selain itu, patut diperhatikan bahwa dari sisi sebaran, angka produksi sebesar 17,2 juta ton sebetulnya merupakan hasil agregasi produksi jagung sebesar 9,1 juta ton di Jawa dan 8,1 juta ton di luar Jawa. Mudah untuk diduga, sebagian besar industri pakan ternak, begitupula dengan kapasitas produksinya, terkonsentrasi di Jawa.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), dari 47 industri pakan ternak skala besar yang masih aktif hingga tahun 2008 lalu di Indonesia, 33 di antaranya terdapat di Jawa: Jawa Timur 15 pabrik, Banten 10 pabrik, Jawa Barat 4 pabrik, dan Jakarta 4 pabrik (GPMT, 2008). Patut diduga, impor jagung sebesar 3,5 juta ton tahun lalu (sebagian besarnya) dilakukan oleh perusahan-perusahaan pakan ternak skala besar di Jawa.
Kerena itu, dengan memperhatikan fakta-fakta di atas, saya kira sangat mungkin terjadi: para pelaku industri pakan ternak kesulitan mendapatkan suplai jagung dari dalam negeri sehingga harus mengimpor dari manca negara meskipun pada saat yang sama produksi dalam negeri mencapai 17,2 juta ton. Tanpa harus menyimpulkan bahwa data BPS tidak akurat dan tak bisa dipercaya. Sebagaimana yang dinyatakan dengan begitu berapi-api oleh Ketua Dewan Hortikultura Nasional Tony Kristianto dalam briefing Asosiasi Perusahaan Pertanian dalam rangka pemutakhiran direktori perusahaan pertanian oleh BPS di Jakarta, Rabu (11/4), yang kemudian menginspirasi judul berita di Harian Kompas yang membuat pegal hati itu.
‘Data BPS’
Lebih dari itu, akan lebih sreg kiranya jika kita dapat memahami bagaimana sebenarnya angka produksi jagung selama ini dihitung. Saya kira, ini penting terkait penggunaan kata-kata ‘data BPS’ dalam konteks akurasi angka produksi jagung sebesar 17,2 juta ton yang sedang dipersoalkan.
Sebagaimana angka produksi komoditas pangan lainnya, angka produksi jagung juga diperoleh melalui hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas (produksi per hektar). Dalam prakteknya, pengukuran luas panen dilakukan oleh mantri tani, yakni petugas Dinas Pertanian atau dinas-dinas serupa di bawah koordinasi Kementerian Pertanian pada level kecamatan.
Sementara itu, pengukuran produktivitas dilakukan oleh petugas BPS–koordinator statistik kecamatan atau mantri statistik (untuk sampel ganjil)–dan mantri tani (untuk sampel genap). Hasil pengukuran luas panen dan produktivitas kemudian dimasukkan ke dalam sistem data BPS sehingga diperoleh angka produksi yang kemudian dipublikasikan ke khalayak sebagai ‘angka BPS’.
Terlepas bahwa dari sisi metodologi pencuplikan sampel, pengukuran produktivitas selama ini menjadi tanggung jawab BPS. Saya kira, terlihat jelas dan dapat dipahami: kontribusi BPS dalam penghitungan angka produksi jagung sejatinya, kalau boleh dibilang, hanya 25 persen. Oleh karena itu, menjadi kurang sreg sebetulnya jika angka produksi jagung–hasil kerjasaman BPS dan Kementan–sebesar 17,2 juta ton yang dipersoalkan akurasinya itu disebut sebagai ‘data BPS’.
Kemana perginya?
Jika data produksi jagung sebesar 17,2 juta ton itu memang betul menderita overestimate. Mudah untuk diduga, penyebabnya adalah penghitungan luas panen yang jauh dari akurat/overestimate. Selama ini, penghitungan luas panen menggunakan metode pandangan mata (eye estimate). Tentu sangat sulit untuk mengharapkan data luas panen yang akurat dari metode seperti ini jika tidak dilakukan oleh mereka yang betul-betul berpengalaman. Selain itu, potensi moral hazard juga bisa terjadi: data luas panen dikerjakan di atas meja.
Ditengarai, salah satu penyebab data luas panen jagung yang dilaporkan mantri tani menderita overestimate adalah diikutkannya laus panen tanaman jagung yang dipanen muda (bukan pipilan kering) dan digunakan untuk hijauan pakan ternak, yang jumlahnya cukup besar, ke dalam pelaporan laus panen per bulan. Saat ini, tidak sedikit petani yang memilih untuk memanen jagungnya saat umur muda karena lebih menguntungkan secara ekonomi. Ini banyak terjadi di sejumlah sentra produksi jagung nasional, Jawa Barat, misalnya.(*)
Komentar
Posting Komentar