Belakangan ini, tren laju penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan
gejala perlambatan, kurang dari satu persen per tahun sehingga memunculkan
kekhawatiran, bahkan pesimisme: target pemerintah untuk menurunkan tingkat
kemiskinan hingga di bawah sepuluh persen pada tahun 2014 nanti bakal sulit
tercapai.
Ditengarai, perlambatan tersebut merupakan indikasi bahwa
penduduk miskin yang belum berhasil dientaskan dari kemiskinan saat ini adalah
penduduk miskin kronik (chronic poverty),
yang pada September lalu jumlahnya mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36
persen dari total penduduk Indonesia, dengan pengeluaran per kapita per bulan
kurang dari Rp243.729,- (BPS, 2012).
Banyak orang kaya
Sebagai indikator keberhasilan pemerintah, statistik (baca:
data) kemiskinan memang sedikit mengecewakan, tetapi tidak untuk sejumlah statistik
yang lain. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, sangat mengesankan.
Data yang dirilis BPS baru-baru ini menunjukkan, pada tahun
2011, Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku Indonesia telah mencapai
Rp7.427,1 triliun. Itu artinya, pada tahun 2011, PDB per kapita telah menembus
angka Rp30,8 juta (US$3.542.9). Sementara itu, jika dibandingkan dengan tahun
2010, ekonomi Indonesia telah tumbuh sebesar 6,5 persen (BPS, 2012).
Berdasar angka-angka di atas, mudah untuk diduga: seperti
halnya jumlah orang miskin, jumlah orang kaya di negeri ini sangat banyak,
bahkan jauh lebih banyak dari orang miskin.
Hari libur merupakan salah satu momen
yang tepat untuk menyaksikan betapa hebatnya pertunjukkan orang-orang kaya di
negeri ini menghambur-hamburkan uang dalam memuaskan libido konsumtif-hedonis
mereka. Dengan uang yang melimpah, mereka menyerbu pusat-pusat perbelanjaan dan
tempat-tempat rekreasi di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung,
dan Surabaya.
Di negeri ini, rasanya tidak lagi sulit bagi kita untuk menyaksikan
ratusan, bahkan ribuan, orang rela antri−mirip antrian penduduk miskin saat
pembagian dana BLT−hanya untuk sekedar mendapatkan gadget canggih keluaran terbaru yang harganya terbilang mahal.
Dari sekian banyak orang kaya di negeri ini, beberapa di
antaranya, boleh dibilang, sangat kaya dengan kekeyaan yang luar biasa
banyaknya, mencapai miliaran dollar. Baru-baru ini, Majalah Forbes kembali merilis daftar 1.226
orang terkaya sedunia. Menariknya, sebanyak 17 orang di antaranya ternyata berasal
dari Indonesia (Kompas.com, 09/3/2012).
Kaya karena rokok
Posisi orang terkaya di negeri ini ditempati oleh R.Budi
Hartono dengan nilai kekayaan mencapai US$6,5 miliar, disusul adiknya, Michael
Hartono, dengan nilai kekayaan mencapai US$6,3 miliar. Posisi Hartono
bersaudara sebagai dua orang terkaya di negeri ini menjadi menarik jika
dikaitkan dengan fakta: sebagian besar penduduk miskin negeri ini adalah
perokok. Data BPS menunjukkan, sebagian besar pendapatan penduduk miskin,
selain dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan untuk membeli rokok.
Bahkan, pengeluaran untuk rokok jauh melebihi pengelauran untuk keperluan
kesehatan dan pendidikan (BPS, 2007).
Tidak mengherankan kalau kontribusi pengeluaran untuk rokok
terhadap pembentukan garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah beras
(BPS, 2012). Dan, itu artinya jika kebiasan merokok di kalangan penduduk miskin
dapat dikurangi atau dihentikan, jumlah penduduk miskin di negeri ini dipastikan
akan berkurang.
Kita semua tahu, salah satu sumber kekayaan utama Hartono
bersaudara adalah rokok, mengingat kedunya merupakan pemilik salah satu perusahaan
rokok terbesar di negeri ini, PT. Djarum. Saya kira tidak salah kalau kita mengatakan,
keduanya menjadi kaya raya karena para perokok di negeri ini, yang sebagian
besar mereka adalah penduduk miskin.
Distribusi kekayaan
timpang
Secara kasar, angka PDB merupakan gambaran seberapa besar
pendapatan (kekayaan) yang tercipta dalam perekonomian. Dan, angka sebesar
Rp7.427,1 triliun sudah barang tentu tidaklah sedikit. Itu artinya, ada begitu
banyak pendapatan atau kekayaan yang tercipta sepanjang 2011 lalu.
Namun sayangnya, pendapatan senilai Rp7.427,1 triliun itu
ditengarai tidak terdistribusi secara merata. Dengan lain perkataan, sebagian
besarnya hanya dinikmati oleh segelintir orang di negeri ini. Salah satu
indikasinya adalah kekayaan 17 orang penduduk negeri ini yang baru saja
dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai
bagian dari 1.226 orang terkaya sedunia itu.
Jika ditotal, nilai kekayaan 17 orang itu mencapai US$41,1 miliar
atau− dengan menggunakan kurs sebesar Rp9.000,- per dollar AS−mencapai Rp365
triliun. Itu artinya, kekayaan mereka, yang jumlahnya hanya mewakili sekitar
0,00000708 persen total populasi (240 juta penduduk Indonesia) itu, mencapai 5
persen dari PDB. Padahal, dalam konteks teori distribusi pendapatan, pendapatan
(PDB) dikatakan terdistribusi secara betul-betul
merata (paling ideal): jika 1 persen penduduk menikmati satu 1 persen dari
pendapatan yang tercipta dalam perekonomian.
Jika sebesar 5 persen dari PDB negeri ini saja setara dengan
nilai kekayaan 17 orang terkaya (0,00000708 persen dari total penduduk), bisa dibayangkan betapa
timpangnya distribusi pendapatan (kekayaan) yang ada. Saya kira, inilah sebab
mengapa ekonomi terus tumbuh mengesankan, namun di sisi lain jumlah orang
miskin masih tetap tinggi dan lambat berkurang.
Saya kira, tidak salah kalau kita menyimpulkan, pertumbuhan
ekonomi yang terjadi sejatinya tidak memiliki keberpihakan terhadap penduduk
miskin (pro-poor) karena tidak
dibarengi dengan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan mereka. Singkatnya, di
negeri ini, yang kaya makin kaya sementara yang miskin tetap miskin.
Celakanya, buruknya distribusi pendapatan kian diperparah
dengan ketidakbecusan pemerintah dalam meredistribusi pendapatan yang tercipta
dalam perekonomian. Pajak, misalnya, yang merupakan instrument bagi pemerintah
untuk menggenjot penerimaan dari PDB guna membiayayai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), syarat akan praktek korupsi. Ditambah lagi dengan postur
APBN yang lebih didominasi anggaran untuk membiayayai birokrasi yang juga
korup, gemuk, lambat, dan miskin kinerja ketimbang untuk program-program yang
berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, program-program
pengentasan kemiskinan, misalnya.
Kita tentu bangga dengan 17 orang penduduk negeri ini yang
dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai
bagian dari orang terkaya sedunia. Namun di balik itu, ada PR besar buat pemerintah,
yakni mewujudkan distribusi pendapatan (kekayaan) di negeri ini yang lebih
merata.(*)
Data-data dari BPS.
Komentar
Posting Komentar