Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah untuk
menaikkan harga BBM pada 1 April nanti nampaknya kian kuat dan masif, terjadi
di mana-mana, di hampir semua kalangan. Hasil survei yang dirilis Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) baru-baru lalu menunjukkan, 80 persen responden menolak rencana
pemerintah itu. Menariknya, penolakan juga berasal dari para pendukung partai
penguasa.
Sejatinya, kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak
populis. Sebisa mungkin, kebijakan seperti ini seharusnya dihindari, mengingat
eksesnya yang sangat luas secara ekonomi dan sosial. Jika BBM naik, dapat
dipastikan akan memacu inflasi. Harga-harga barang dan jasa bakal naik sehingga
daya beli penduduk akan jatuh.
Masyarakat yang dalam menjalankan aktivitis sehari-hari
menggunakan BBM, seperti nelayan, petani, dan transportasi umum diperkirakan
akan terpuruk secara ekonomi akibat dampak langsung yang diterima. Pendapatan
mereka akan berkurang, dan di sisi lain pengeluaran mereka justru bertambah karena
meningkatnya harga-harga barang dan jasa yang dikonsumsi.
Jumlah penduduk
miskin akan melonjak
Beban ekonomi, sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, tentu
akan sangat dirasakan oleh kelompok penduduk miskin (poor) dan hampir miskin (near
poor). Pengalaman pada 2005 lalu menunjukkan, kebijakan menaikkan harga BBM
yang memacu inflasi kian memperparah kondisi ekonomi kedua kelompok ini.
BPS mencatat, pada tahun 2006, indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan kedua
indeks ini merupakan indikasi kian memburuknya kondisi ekonomi penduduk miskin
kala itu. Naiknya harga BBM sebanyak dua kali sepanjang 2005 (1 Maret dan 1
Oktober) rupanya telah memukul telak daya beli penduduk miskin kala itu.
Walhasil, kondisi kemiskinan kian parah dan semakin dalam.
BPS juga mencatat, pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin
mengalami lonjakan sebesar 4,2 juta orang dibanding tahun 2005. Dan, mudah untuk
diduga, mereka yang jatuh miskin itu adalah penduduk hampir miskin yang terkena
dampak kenaikan harga BBM. Dengan pengeluaran per kapita per bulan sedikit di
atas garis kemiskinan, penduduk hampir miskin tak mampu bertahan melawan
gempuran inflasi yang telah menembus angka 17,11 persen pada tahun 2005. Walhasil,
seperti halnya penduduk miskin, daya beli mereka jatuh, dan 4,2 juta orang di
antaranya terseret ke jurang kemiskinan.
Memburuknya kondisi ekonomi penduduk miskin dan hampir
miskin sepanjang tahun 2005-2006 diperkirakan bakal semakin parah jika
pemerintah tidak memberikan kompensasi berupa santunan langsung tunai (SLT)
sebesar Rp100.000,- kepada 19,1 juta rumah tangga pada tahun 2005.
Sayangnya, kompensasi hanya diberikan selama tiga bulan,
padahal BBM naik sebanyak dua kali. Ditambah lagi dengan adanya kebocoran─salah
sasaran─dalam
penyaluran dana kompensasi di lapangan: banyak penduduk miskin yang justru
tidak menerima dana kompensasi. Waktu yang singkat dan terjadinya kebocoran
menjadikan jumlah penduduk miskin melonjak, serta kondisi kemiskinan kian parah
dan dalam. Hal yang sama dikhawatirkan juga bakal terjadi tahun ini.
Catatan untuk
pemerintah
Kebijakan untuk menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dipicu
oleh naiknya harga minyak dunia kala itu. Dan, inilah juga yang menjadi alasan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 1 April nanti. Saat ini, harga minyak
dunia terus bergerak naik, telah jauh melampaui asumsi harga minyak dunia dalam
APBN.
Padahal, porsi APBN yang dianggarkan untuk subsidi BBM
tidaklah sedikit, menjadikan APBN kian tak sehat karena sebagian besarnya habis
untuk membiayayai subsidi BBM. Jika hal ini terus berlanjut, kondisi keuangan
negera bisa gawat. Apalagi harga minyak dunia diperkirakan bakal terus naik
akibat krisis Iran yang sepertinya kian memburuk. Jika harga BBM tidak
dinaikkan, seperti kata Jero Wacik, ekonomi Indonesia dikhawatirkan bakal collepse.
Karenanya, kita harus maklum, saat ini pemerintah tengah
dihadapkan pada situasi yang sulit. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM mau
tidak mau harus diambil untuk menyelamatkan keuangan negara, meskipun tidak
populis dengan segala konsekwensinya.
Namun, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan oleh
pemerintah jika harga BBM jadi dinaikkan. Pertama, pemertintah harus bisa
menjamin dampak inflasi yang terjadi dapat dikelola dengan baik (manageable), dalam hal ini inflasi yang
terjadi tidak lebih dari 5,3 persen. Kedua, pemberian kompensisi kepada
kelompok penduduk yang terkena dampak (penduduk miskin dan hampir miskin) mutlak
dilakukan, tentunya dengan sejumlah perbaikan: varian jenis kompensasi yang
diberikan harus diperluas, diupayakan lebih tepat sasaran (kebocoran seminimal
mungkin), dan diberikan selama setahun seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT)
pada tahun 2008 lalu.
Ketiga, dana yang terhimpun dari selisih harga (wind wall profit) harus digunakan
pemerintah untuk membiayayai program-program pemerintah yang bertalian langsung
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat: program-program jaring-jaring
pengaman sosial (social savety nets)
dan pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur penunjung aktivitas ekonomi
untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja maupun infrastruktur
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan guna meningkatkan
kapabilitas penduduk.
Saya yakin dengan menjalankan sejumlah catatan di atas,
dampak kenaikan harga BBM dapat diredam, dan apa yang terjadi pada tahun 2005
lalu tidak akan terulang. (*)
Komentar
Posting Komentar