Meskipun
sedikit terpaksa dan tak enak hati, pemerintah akhirnya memutuskan untuk
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 1 April 2012 nanti. Keputusan
yang tentu saja tak populis ini dibarengi optimisme: ekses inflasi yang
ditimbulkan dapat dikelola dengan baik (manageable) serta daya beli mereka yang terkena
dampak ─penduduk kelompok menengah ke bawah (miskin dan hampir miskin)─dapat
dijaga (Kompas, 28/02/2012).
Dampak yang
sudah pasti terjadi jika harga BBM jadi dinaikkan adalah inflasi. Harga-harga
kebutuhan pokok dipastikan akan mengalami lonjakan sehingga memukul telak daya
beli penduduk kelas menengah ke bawah. Kalau sudah seperti itu, nampaknya, apa
yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu akan kemabali terulang: lonjakan
jumlah penduduk miskin.
Berdasarkan
data BPS, pasca krisis ekonomi tahun 1998, tingkat kemiskinan (jumlah dan
persentase penduduk miskin) terus menurun secara konsisten. Tren penurunan
angka kemiskinan hanya sekali mengalami koreksi, yakni pada tahun 2006. BPS
mencatat, pada saat itu, jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang
(17,75 persen dari total penduduk), naik sebesar 4,2 juta orang dibandingkan
dengan tahun 2005.
Kenaikan jumlah
penduduk miskin pada tahun 2006 dipicu oleh keputusan pemerintah menaikkan harga
BBM pada tahun 2005 sabagai respon terhadap kenaikan harga minyak dunia kala
itu. Keputusan ini memacu inflasi pada tahun 2005 hingga menembus angka 17,11
persen. Harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik, terutama beras. Padahal,
sebagian besar pendapatan penduduk kelompok menengah ke bawah dialokasikan
untuk membeli beras. Selain itu, kontribusi komoditas ini terhadap pembentukan
garis kemiskinan BPS sangat dominan, pada September 2011 lalu, misalnya,
mencapai 26,6 persen di perkotaan dan 33,7 persen di perdesaan (BPS, 2012).
Untungnya, kala
itu, pemerintah cukup sigap dalam menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir
miskin dari gempuran inflasi dengan menggelontorkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai bentuk kompensasi kepada sekitar 19,1 juta rumah tangga miskin
dan hampir miskin yang diperkirakan terkena dampak kenaikan harga BBM. Terlepas
dari segala kekurangannya, tanpa program bantuan tunai (cash transfer) seperti itu, dapat dipastikan, lonjakan jumlah penduduk miskin akan lebih
besar lagi.
Apa yang
terjadi pada tahun 2006 nampaknya akan kembali berulang jika pemerintah tidak
mampu mengelola ekses inflasi yang terjadi─akibat kenaikan harga BBM pada 1
April 2012 nanti─dengan baik. Selain itu, untuk mengantisipasi lonjakan
penduduk miskin, kebijakan serupa BLT, mau tidak mau, harus diambil oleh
pemerintah. Dengan demikian, daya beli penduduk miskin dan hampir miskin dapat
dipertahankan.
Saat ini,
Pemerintah bersama DPR sedang menggodok skema program bantuan cash transfer serupa BLT sebagai kompensasi kepada penduduk kelas menengah ke bawah yang
terkena dampak kenaikkan harga BBM. Program yang baru ini disebut Bantuan
Langsung Masyarakat Sementara (BLSM), yang memiliki kemiripan dengan BLT dengan
sejumlah penyempurnaan: varian jenis kompensasi yang diberikan diperluas
(pangan, pendidikan, transportasi, dll). Selain itu, program yang baru ini
diupayakan lebih tepat sasaran.
Ancaman buat BPS
Dalam
penyaluran bantuan, pemerintah sudah pasti membutuhkan data rumah tangga yang
menjadi target sasaran program bantuan. Dan, seperti program BLT lalu,
penyediaan data rumah tangga sasaran menjadi tanggung jawab BPS.
Pengalaman pada
BLT lalu menunjukkan, penyaluran bantuan banyak yang tidak tepat sasaran.
Ditengarai, salah satu penyebabnya adalah akurasi data rumah tangga sasaran
(RTS) yang lemah. Di lapangan banyak didapati, rumah tangga yang seharusnya
tidak layak menerima bantuan justru terdaftar sebagai penerima bantuan (inclussion error), begitupula sebaliknya banyak rumah tangga yang layak menerima bantuan
justru tidak terdaftar sebagai penerima bantuan (exclussion error).
Sebetulnya,
kelemahan pada data RTS yang ada bukan disebabkan oleh kelemahan
metodologi statistik yang digunakan BPS dalam mengidentifikasi RTS. Tapi,
lebih disebabkan oleh persoalan teknis di lapangan: kualitas petugas pendataan.
Data RTS untuk
program BLT diperoleh dari Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE05). Proses
pendataan ini bukan main beratnya karena cakupannya adalah seluruh Indonesia.
Kala itu, sekitar 50-an juta rumah tangga di seluruh Indonesia dikumpulkan
karakteristiknya (identitas, alamat, dan 14 variabel penciri kemiskinan)
untuk diidentifikasi sebagai RTS atau bukan.
Jujur, BPS
sedikit kewalahan dalam PSE05. Pasalnya, jumlah petugas yang dimiliki BPS kala
itu hanya beberapa ribu orang di seluruh Indonesia. Sama sekali tidak berimbang
dengan beban kerja yang ada (puluhan juta rumah tangga). Karenanya, BPS
terpaksa harus merekrut petugas di luar BPS. Masalahnya kemudian, sebagian
besar petugas yang direkrut itu berdasarkan rekomendasi aparat desa/keluruhan,
yang hampir dipastikan syarat akan nepotisme.
Walhasil, BPS
gagal mendapatkan petugas yang betul-betul berkualitas. Penentuan RTS pun tidak
lagi didasarkan pada metodologi statistik yang telah dibangun dengan susah
payah, tetapi berdasarkan subjektifitas petugas dan hubungan kekerabatan
sehingga berdampak pada data RTS yang dihasilkan.
Masalah juga
muncul karena konteks pendataan adalah untuk pemberian bantuan. Pada kondisi
seperti ini, banyak responden yang tidak jujur ketika diwawancarai. Dengan
lain perkataan, banyak yang pura-pura miskin agar terdaftar sebagai penerima
bantuan.
Celakanya,
terkait penyaluran BLT yang tidak tepat sasaran, BPS justru menjadi
bulan-bulanan dan sasaran amuk massa. Terkait BLT, banyak kantor BPS di daerah
dikepung dan dirusak massa. Bahkan, beberapa orang pegawai BPS tewas karena
kena bacok atau tertusuk belati. Padahal, BPS hampir sama sekali tidak mendapatkan
apa-apa dari program BLT, selain peluh dan lelahnya proses pendataan.
Hal seperti
inilah sebetulnya yang ditakutkan oleh para insan BPS akan kembali berulang
saat program BLMS digulirkan. Banyak pegawai BPS di daerah menganggap program
ini merupakan ‘ancaman’ terhadap keselamatan mereka. (*)
Pendapat
Pribadi. Data-data dari BPS.
Komentar
Posting Komentar