Akhir-akhir ini, ada kecenderungan publik tak lagi percaya
dengan statistik (baca: data) yang didiseminasi BPS. Statistik, yang kebanyakan
mewartakan keberhasilan pemerintah itu, ditengarai syarat rekayasa, hasil
mufakat ‘curang’ pihak penguasa dan para statistisi pemerintah untuk
melanggengkan pencitraan penguasa yang syarat dusta.
Publik selalu membenturkan statistik yang ada dengan fakta-fakta
keseharian yang mereka lihat dan alami sehari-hari. Karenanya, mereka tak
menaruh simpati meskipun statistik yang ada menunjukkan pemerintah telah
berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi, mengendalikan laju inflasi, menurunkan
angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, serta sederet keberhasilan lainnya. Pasalnya,
itu semua tidak sejalan dengan fakta-fakta keseharian yang mereka rasakan. Bagi
mereka, kondisi ekonomi yang dirasakan justru sebaliknya, kian sulit.
Karenanya, tidak mengherankan kalau publik─yang
tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini─menganggap statistik yang ada
hanyalah kilasan angka-angka yang miskin realita, hasil pesanan pihak penguasa pada
para statistisi pemerintah bermental asal bapak senang nan lihai memoles angka.
Bagi mereka yang tak puas itu, lembaga yang namanya BPS itu hanyalah akronim
dari “Badan Pesanan Statistik”.
Tak selamanya mesra
Jika merujuk pada Undang-Undang Statistik No.16 tahun 1997,
Badan Pusat Statistik (BPS) sejatinya dituntut untuk selalu independen dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyedia data, baik yang sifatnya dasar
maupun sektoral. Lewat berbagai penyelanggaraan kegiatan statistik (sensus dan
survei) yang dilaksanakannya, BPS dituntut untuk menyajikan data apa adanya,
objektif, dan tanpa rekayasa.
Jadi, menyajikan data statistik untuk sekedar menyenangkan
pihak yang berkepentingan adalah sesuatu yang pantang dilakukan oleh BPS. Dan,
ini telah ditunjukkan BPS dalam berbagai kesempatan, baik di pusat maupun
daerah.
Pada November 2011 lalu misalnya, secara tegas BPS
melaporkan bahwa produksi sejumlah tanaman pangan utama mengalami penurunan
yang cukup tajam pada tahun 2011: produksi padi
turun sebesar 1,08 juta ton, jagung sebesar 1,10 juta ton, dan kedelai sebesar
36,96 ribu ton. Laporan yang sudah barang tentu tak
mengenakkan buat mereka yang berkepentingan dan menginginkan agar angka
produksi pangan naik.
Jujur, ada penolakkan terhadap angka itu
dari mereka yang nampaknya tak enak hati. Gubernur dua provinsi sentra produksi
padi yang mengalami penurunan cukup tajam (Jawa Timur dan Jawa Tengah),
misalnya, sampai melayangkan surat ke Presiden untuk menolak angka produksi
padi yang akan dirilis oleh BPS.
Dalam surut, yang tembusannya juga menyebar
ke berbagai lembaga negera lain itu (Bappenas, Kementerian Perekonomian,
Kementerian Pertanian, dan Sekretariat Negara), meraka mengajukan sejumlah
alasan atas penolakan terhadap data BPS yang dianggap tidak mewakili kondisi sebenarnya
di lapangan: sebagian alasan itu bisa diterima, sebagiannya lagi cenderung
dipaksakan. Saya menduga, surat yang sama tidak akan dilayangkan jika seandainya
data BPS menunjukkan bahwa produksi padi naik meskipun cukup beralasan untuk
mempersoalkan kenaikan yang terjadi.
Surat tersebut nampaknya sedikit
ampuh. Setidaknya, dengan adanya surat itu, muncul keraguan di kalangan
internal instansi pemerintah yang berkepentingan dengan data produksi padi (Bappenas,
Kementerian Perekonomian, Kementerian Pertanian, dan Sekretariat Negara) terhadap
akurasi data produksi yang dirilis BPS. Namun, BPS tidak gentar menghadapi
situasi itu dan berupaya meyakinkan mereka yang ragu. Akhirnya, dengan menghadirkan
sejumlah bukti dan penjelasan, BPS berhasil meyakinkan mereka bahwa data
produksi yang ada sudah cukup akurat.
Hubungan yang tidak ‘mesra’ dengan
mereka yang berkepentingan terhadap data-data BPS juga kerap dialami oleh
teman-teman di daerah. Di Provinsi Aceh, misalnya, beberapa waktu lalu, hubungan
antara BPS Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Peternakan setempat sempat memanas.
Pemicunya adalah perbedaan klaim jumlah kerbau dan sapi potong hasil Pendataan
Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) pada tahun 2011 lalu antara
pihak dinas dan BPS.
Menurut hasil pendataan BPS, populasi
kerbau di Kabupaten Aceh Tengah sebanyak 12.459 ekor, sementara menurut klaim dinas
seharusnya sebanyak 23.000 ekor. Hal yang sama juga terjadi pada populasi sapi,
klaim dinas juga lebih tinggi dari hasil pendataan BPS. Terkait perbedaan ini,
pihak dinas tak sungkan meminta kepada BPS untuk menambah jumlah ternak hasil
pendataan. Permintaan yang sudah barang tentu tidak bisa dipenuhi karena
bertentangan dengan kode etik statistik. Akhirnya, pihak dinas tetap bersikukuh
dengan data yang dimilikinya meskipun hasil verifikasi di lapangan menunjukkan
bahwa hasil pendataan BPS sudah betul.
Hal yang kurang lebih sama juga
terjadi di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, belum lama ini. Pemicunya
adalah perbedaan data kemiskinan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
dan BPS Kabupaten Takalar. Menurut data BPS, selama beberapa tahun terakhir
jumlah penduduk miskin di Takalar terus meningkat, sementara data Pemkab justru
menunjukkan sebaliknya, terus menurun (Fajar, 09/03/2012).
Saya kira, sejumlah pengalaman di
atas merupakan sedikit dari sekian banyak bukti bahwa BPS tidak bekerja
berdasarkan pesanan dalam menyajikan data-data statistik . Dengan segala
keterbatasan yang ada, BPS terus berupaya menyajikan data secara objektif, apa
adanya, dan tanpa rekayasa untuk Anda semua, untuk bangsa dan negeri ini yang
terus membangun menuju kemajuan. (*)
Salam Statistik.
Komentar
Posting Komentar