Sebetulnya, peminat moda transportasi yang digagas Bang Yos ini cukup banyak. Terindikasi
dari kerap membludaknya penumpang di sejumlah halte. Tidak jarang, para penumpang
harus saling berebutan, dorong-dorongan, bahkan sikut-sikutan untuk sekedar
masuk ke dalam bus.
Sayangnya, tingginya peminat tidak diimbangi dengan
pelayanan yang memuaskan. Sialnya, meskipun pelayanan yang diberikan kurang
memuaskan, orang seperti saya tidak
punya banyak pilihan. Mau tidak mau, Transjakarta jadi tumpuan untuk perjalanan
pergi dan pulang kantor. Pasalnya, tidak ada moda transportasi umum lain yang
sedikit lebih layak dari Transjakarta.
Suka mogok
Menurut saya, untuk saat ini sedikitnya ada dua hal
mendasar yang menyebabkan pelayanan Transjakarta jauh dari memuaskan, bahkan terkadang menyebalkan. Dua hal mendasar itu adalah
waktu tunggu yang lama dan bus yang sering mogok.
Terkait waktu tunggu yang lama, pihak manajemen Transjakarta
selalu berkilah bahwa yang menjadi penyebabnya adalah armada bus yang kurang. Kita
tentu maklum dengan hal ini. Tetapi patut diduga, yang menjadi sebab lamanya
waktu tunggu sebetulnya bukan hanya karena armada bus yang kurang, tetapi juga
buruknya manajemen.
Seharusnya, dengan mengoptimalkan armada yang ada, manajemen Transjakarta dapat membuat pergerakan bus yang lebih terpola dan terjadwal, terutama pada saat
jam-jam sibuk. Dengan demikian, waktu tunggu tidak terlalu lama seperti saat
ini, yang terkadang bisa lebih dari setengah jam lamanya.
Bus sering mogok juga merupakan masalah mendasar yang
menyebabkan pelayanan Transjakarta jauh dari memuaskan. Saat ini, bus yang mogok adalah
pemandangan biasa dan kerap kita saksikan di jalur Transjakarta.
Beberapa waktu lalu, misalnya, dalam perajalanan menuju
halte bus di daerah Pasar Baru, saya melihat sebuah bus gandeng tengah mogok di tengah jalur Transjakarta. Pemandangan seperti ini
adalah hal biasa bagi saya. Namun tragisnya, ternyata, bus Transjakarta yang
saya tumpungi kemudian juga mengalami nasib yang sama, yakni mogok di daerah
Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Lebih tragisnya lagi,
bukan hanya bus yang saya tumpangi yang mogok, satu bus lain di belakang bus yang
saya tumpangi dan satu bus lain di jalur lain—ke arah Senen—berseberangan
dengan bus yang saya tumpangi juga mogok. Bahkan, pemandangan bus mogok juga
saya jumpai di daerah Matraman, Jakarta Timur.
Jika bus sudah mogok, awak Transjakarta hanya berucap “Maaf ya, bapak-ibu, karena busnya mogok
terpaksa harus pindah ke bus lain”. Ucapan maaf yang sudah barang tentu
membuat hati sangat kesal. Kalau sudah seperti ini, proses evakuasi pun
dilakukan. Celakanya, seringkali ’bus lain’ yang dimaksud bukan main lamanya.
Setelah lama ditunggu tak kunjung juga datang.
Kalau yang mogok adalah bus-bus yang sudah berumur, kita
mungkin mafhum. Tetapi masalahnya, yang sering mogok juga adalah bus-bus—gandeng—yang notabene baru dan belum
berumur. Saya kira, ini merupakan indikasi buruknya perawatan (maintenence) terhadap bus-bus yang ada.
Sebetulnya, keberadaan Transjakarta sangat potensial untuk
mengurangi parahnya kemacetan Jakarta. Karenanya, perbaikan pelayanan adalah
sebuah keharusan. Jangan sampai para penumpang Transjakarta seperti saya jadi kapok untuk naik Transjakarta lagi, dan selanjutnya
memilih untuk meramaikan jalan-jalan Kota Jakarta dengan kendaraan pribadi,
misalnya, sepeda motor. Saya kira, sangat keterlaluan jika sesuatu yang sama
terjadi secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. (*)
Komentar
Posting Komentar