Tantangan untuk
mengentaskan kemiskinan nampaknya kian berat. Terindikasi dari laju penurunan
jumlah penduduk miskin yang kian melambat. Nampaknya, pemerintah harus bekerja
lebih giat dan lebih keras.
Berdasarkan data yang
didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) awal Januari lalu (2/1), pada
September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 29,89 juta orang atau sebesar
12,36 persen dari total penduduk Indonesia, turun sebeser 130 ribu orang atau
0,13 persen jika dibandingkan kondisi Maret 2011. Jumlah penduduk
miskin kala itu mencapai 30,02 juta orang atau sebesar 12,49 persen dari total
penduduk Indonesia.
Tidak
jauh berbeda dengan si miskin
Patut diduga, 130 ribu orang
penduduk miskin yang berubah status itu sebetulnya hanya beralih menjadi
penduduk hampir miskin (near poor).
Terindikasi dari pertambahan jumlah penduduk hampir miskin yang kini telah
menembus angka 27,82 juta orang atau sekitar 11,5 persen dari total penduduk
Indonesia (BPS, 2012).
Jika dibandingkan
terhadap kondisi Maret 2011: jumlah penduduk hampir miskin mencapai
27,12 juta orang (10,28 persen). Itu artinya, telah terjadi pertambahan jumlah
penduduk hampir miskin sebesar 700 ribu orang sepanjang periode Maret
2011-September 2011. Dan, mudah untuk diduga, salah satu sumber pertambahan itu
adalah 130 ribu penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin, selain
sekitar 570 ribu penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin,
tentunya.
Ditengarai, pengeluaran
mereka yang selamat dari kategori miskin hanya bergeser sedikit di atas garis
atau batas kemiskinan. Kondisi ini menyebabkan derajat kesejahteraan mereka
tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin, bahkan mungkin sama. Karena itu, terlepas dari konsep yang digunakan BPS dalam menetapkan
siapa ‘si miskin’(poor), tidak salah kalau kita menyatakan, mereka sejatinya
juga masih miskin. Lebih dari itu, sebetulnya, mereka masih sangat
rentan untuk kembali jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi.
Kemiskinan
kronik
Penurunan sebesar 130
ribu orang selama satu semester tentu relatif kecil dan jauh dari memuaskan.
Padahal, anggaran yang telah digelontorkan pemerintah untuk membiaya segala
rupa program pengentasan kemiskinan—yang kini kian berlapis—tidaklah sedikit, bertubi-tubi,
mencapai 80 triliun di 2011 lalu (Kompas, 19/1/2012). Hal ini nampaknya semakin
mengonfirmasi skeptisisme sebagian kalangan, target pemerintah untuk mengurangi
tingkat kemiskinan hingga di bawah 10 persen semakin sulit dan berat untuk dicapai.
Mudah untuk diduga,
kian lambatnya laju penurunan jumlah penduduk miskin karena kondisi kemiskinan
yang terjadi sudah kronik (chronic
poverty). Ditengarai, mereka, yang belum terentaskan dari kemiskinan,
adalah penduduk miskin kronik, bukan lagi penduduk miskin sementara.
Berbeda dengan
kemiskinan sementara (transient poverty)
yang lebih merupakan resultan dari sebab-sebab temporer—seperti krisis ekonomi,
kebijakan pemerintah yang tidak populis, dan bencana alam—kemiskinan kronik
bersifat persisten, tetap hadir meskipun krisis tidak terjadi, kebijakan
pemerintah populis, dan/atau tidak ada bencana alam.
Ciri utama penduduk
miskin kronik adalah derajat kapabilitas—tingkat pendidikan dan kesehatan—
mereka yang sangat rendah. Celakanya, rendahnya derajat kapabillitas ini juga kian
diperparah dengan pesimisme terhadap kondisi serba kekurangan yang dialami.
Mereka yang terjerat kemiskinan kronik umumnya tidak yakin bahwa nasib mereka
bakal berubah. Bahkan, tidak jarang di antara mereka menganggap bahwa kemiskinan
yang dialami sudah takdir, bahkan sesuatu yang harus disyukuri.
Karena itu, berbagai
program pengentasan kemiskinan berlapis, seperti bantuan tunia (cash transfer), Program Nasional
Pemberdayaan Mayarakat (PNPM) Mandiri , Program Keluarga Harapan (PKH), dan
Kredit Usaha Rakyat (KUR), tidak akan berpangaruh banyak dalam mengentaskan mereka
dari kemiskinan.
Dalam skema program
pengentasan kemiskinan yang didesain pemerintah, upaya untuk meningkatkan
derajat kapabilitas penduduk miskin memang telah dilakukan. Program-program bantuan
perlindungan sosial, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa untuk
penduduk miskin, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jamaninan
Persalinan (Jampersal) telah duluncurkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan kesehatan penduduk miskin, termasuk penduduk miskin kronik.
Namun, ditengarai,
efektivitas program-program tersebut masih rendah. Ditengarai, penduduk miskin
kronik tidak tersentuh atau tidak memiliki akses terhadap program-program
bantuan tersebut. Hal ini dapat disebabkan lokasi tempat tinggal penduduk
miskin kronik yang terpencil dan jauh di pelosok sehingga sulit dijangkau.
Kuncinya
di daerah perdesaan
Mudah untuk diduga,
sebagian besar penduduk miskin kronik terdapat di daerah perdesaan. Terindikasi
dari jumlah penduduk miskin yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan.
Data BPS menyebutkan, pada September 2011, sekitar 18,94 juta (63,4 persen)
penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagian
besar mereka adalah buruh tani dan petani: gurem dan penggarap.
Ditengarai, meskipun
belakangan ini pertumbuhan sektor pertanian dalam arti luas—mencakup subsektor
tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan—cukup
mengesankan, nampaknya hal ini belum diikuti perbaikan kesajahteraan mereka—termasuk
penduduk miskin—yang bekerja di sektor ini.
Berdasarkan data BPS, sepanjang
2011, sektor pertanian dalam arti luas memang telah tumbuh sebesar 3 persen (year on year). Namun, pada saat yang
sama, upah riil (daya beli) buruh tani secara umum teros merosot— meskipun
nilai nominalnya terus naik—dan pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP), yang
merupakan proksi derajat kesejahteraan petani, cenderung stagnan.
Data BPS menunjukkan,
pada Januari 2012, upah riil buruh tani mengalami penurunan sebesar 0,41 persen
dibanding Desember 2011. Begitupula dengan NTP Januari 2012, mengalami
penurunan sebesar 0,02 persen dibanding Desember 2011. Dari sini patut diduga,
pertumbuhan yang terjadi di sektor pertanian timpang. Dalam artian, sebagian
besar ‘kue’ pertumbuhan—nilai tambah (value
added)—yang tercipta di sektor ini hanya dinikmati segelintir orang yang
memiliki akses penguasaan faktor produksi yang besar. Sementara sebagian besar
lainnya hanya menikmati sebagian kecilnya karena keterbatasan akses penguasaan
faktor produksi yang mereka miliki. Untuk subsektor tanaman bahan makanan,
misalnya, sebagian besar ‘kue’ pertumbuhan nampaknya dinikmati oleh para petani
besar dan pemilik lahan, bukan petani penggarap, gurem, apalagi buruh tani.
Karena sebagian besar
penduduk miskin—termasuk miskin kronik—tinggal di perdesaan dan menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian, sedikitnya ada tiga hal yang harus menjadi fokus
perhatian pemerintah untuk keluar dari jebakan melambatnya laju penurunan
jumlah penduduk miskin dan mendorong percepatan pengentasan kemiskinan
ke depannya.
Pertama,
pembangunan sektor pertanian-perdesaan yang tangguh, yang tidak hanya difokuskan
pada upaya menggenjot produksi pangan semata, tetapi juga pada pengembangan
komoditas-komoditas pertanian bernilai jual tinggi dan berorientasi ekspor.
Selaras dengan itu, distribusi penguasaan lahan juga harus diperbaiki, dan
reforma agraria adalah solusinya.
Kedua,
pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan, khususnya sektor-sektor yang
memiliki kaitan (linkage) ekonomi
yang kuat dengan sektor pertanian, misalnya, industri yang dapat meningkatkan
nilai tambah komoditas pertanian yang dihasilkan petani (agribisnis).
Pengembangan sektor nonpertanian-perdesaan akan memberikan peluang-peluang
ekonomi baru bagi penduduk miskin perdesaan sehingga tidak hanya bergantung
pada ekonomi usaha tani. Ketiga, pembangunan infrastruktur wilayah perdesaan
untuk meningkatkan aksesibilitas dan kapabilitas penduduk miskin perdesaan.
Dengan
mewujudkan ketiga hal tersebut, terget untuk menurunkan persentase penduduk
miskin hingga di bawah 10 persen nampaknya adalah hal yang tidak terlalu sulit
untuk dicapai. (*)
Komentar
Posting Komentar