Kemarin (9/2), melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mensahkan gelar pahlawan untuk Mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto (Pak Harto). MK menolak permohonan mereka─ Aktivis 1998─yang mempersoalkan gelar pahlawan mantan presiden republik Indonesia yang kedua itu.
Terlepas dari segala kekurangannya selama memimpin negeri ini, tak kurang selama 32 tahun lamanya, saya kira Pak Harto layak disebut sebagai pahlawan. Tanpa putusan MK, tanpa penetapan Undang-Undang pun, Pak Harto yang dulu dijuluki ‘Bapak Pembangunan’ itu sejatinya adalah pahlawan.
Mengapa? Pak Harto─kroninya─mungkin korup, seorang otoriter dan tiran. Tetapi, tidak bisa dimungkiri, dia memiliki andil yang tidak sedikit bagi negeri ini dibanding kita. Bahkan, dibanding mereka yang mempersoalkan gelar kepahlawanannya itu. Betapa tidak. Saat muda, dia terjun di medan juang, memanggul senjata, bertempur bertaruh nyawa melawan Belanda dalam Perang Kemerdekaan. Bukankah itu pengorbanan yang tidak mudah dan luar biasa.
Saat beliau menjadi presiden apalagi. Jasa-jasanya bagi bangsa dan negara ini terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Bahkan, boleh dibilang, capaiannya dalam membangun negeri ini belum dapat disamai oleh siapa pun presiden setelahnya, yang silih berganti memimpin negeri ini. Tidak heran, beberapa waktu lalu, hasil survei dari sebuah lembaga survei, kalau tidak salah LP3ES, menunjukkan bahwa publik ternyata rindu dengan kondisi seperti jaman Orde Baru, jaman Pak Harto dulu. Bagi mereka, rezim Orde Baru lebih baik─dalam beberapa hal: stabilitas keamanan dan ekonomi ─dibanding rezim saat ini.
Stabilitas yang terjaga
“Orang Indonesia itu tidak neko-neko, yang penting kebutuhan pokoknya terpenuhi dan keamanan serta masa depannya terjamin, ya sudah mereka tenang. Jadi buat apa revolusi?”
Ini adalah potongan kalimat yang pernah disampaikan Pak Harto kepada Mantan Presiden BJ Habibie. Kalau boleh dibilang, potongan kalimat di atas sebetulnya merefleksikan prinsip yang dipegang oleh Pak Harto ketika memimpin negeri ini. Stabilitas yang terjaga. Meskipun, itu harus dibayar dengan ‘matinya’ demokrasi, kebebasan yang terkekang, HAM yang ‘terinjak-injak’, dan pers yang mati suri. Tapi apalah artinya demokrasi, HAM, kebebasan yang terbuka lebar, dan pers yang begitu bebasnya seperti saat ini jika kehidupan sosial-ekonomi menjadi lebih sulit serta tak ada jaminan akan keamanan dan masa depan.
Di masa Orde Baru, orang tidak terlalu dipusingkan dengan biaya hidup yang tinggi. Kalaupun pusing, tidak sepusing seperti saat ini. Harga kebutuhan dasar stabil dan terjaga. Harga bahan makanan secara riil lebih murah, stabil, dan terjangkau. Begitupula dengan biaya pendidikan dan kesehatan.
Di jaman Pak Harto, konflik dapat diminimalisir. Bukan hanya karena beliau memerintah dengan tangan besi, tetapi juga karena beliau punya ketegasan. Sesuatu yang tidak kita jumpai dalam diri presiden kita saat ini. Di jaman Pak Harto, orang tidak terlalu risau dengan persoalan keamanan dan masa depan. Kalaupun risau, tidak serisau seperti saat ini, yang serba tidak pasti.
Itulah hebatnya Pak Harto.
Tak ada salahnya memaafkan
Saat Pak Harto mengambil alih tumpuk pimpinan negeri ini dari pendahulunya Soekarno, kondisi Indonesia sangat buruk. Tengah terpuruk dalam segala bidang: sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, jauh lebih buruk dari kondisi saat beliau tumbang, saat masa-masa awal rezim reformasi.
Badai krisis yang mengguncang sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik negeri ini pada tahun 1997-1998, serta peliknya kondisi negeri ini pada masa-masa awal rezim reformasi pasca lengsernya beliau, tak kalah dahsyat dan pelik dengan kondisi yang dihadapi Pak Harto ketika pertama kali memimpin negeri ini.
Kondisi perekonomian kala itu bukan main kacaunya. Inflasi tak terkendali─harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, angka pengangguran melonjak, keuangan negara carut marut, pendapatan per kapita amat kecil hanya beberapa puluh dollar AS per tahun, dan sekitar 60 persen penduduk negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan. Kala itu, Indonesia menjadi salah satu negera miskin di dunia, tidak jauh berbeda dengan negara-negara miskin di Afrika, misalnya, Nigeria dan Ghana.
Namun, melalui terobosan-terobosannya, Pak Harto berhasil merubah wajah negeri ini. Indonesia yang tadinya miskin berubah menjadi negara berkembang, bahkan menjadi salah satu “Macan Asia’. Di jaman Pak Harto, Indonesia menjadi negara yang disegani dan dihormati dalam peta percaturan politik dunia. Tidak heran kalau kemudian Pak Harto dinobatkan sebagai salah satu pemimpin Asia, bahkan dunia yang berpengaruh kala itu.
Melalui strategi pembangunan yang terencana dengan baik─Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)─ pembangunan infrastruktur sangat pesat. Ekonomi tumbuh mengesankan, yakni rata-rata 7 persen per tahun. Kesempatan kerja terbuka lebar sehingga tingkat pengangguran terus menurun. Pendapatan per kapita naik berlipat-lipat hingga di atas 1.000 dollar AS per tahun. Angka kemiskinan juga turun drastis, hingga di bawah 20 persen. Bahkan, menurut Bank Dunia, prestasi Indonesia dalam menurunkan angka kemiskinan di masa Pak Harto merupakan succes story yang patut dicontoh oleh negara-negara lain yang juga dibelit persoalan kemiskinan.
Di jaman Pak Harto, Indonesia berhasil mengenadalikan laju pertumbuhan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB) yang fenomenal itu sehingga mampu selamat dari ledakan jumlah penduduk dan berpeluang menggapai ‘bonus demografi’ dalam beberapa tahun ke depan. Tidak heran kalau kemudian, program KB menjadi program percontohan di sejumlah negera yang mengalami masalah pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat.
Di jaman Pak Harto pulalah, konsep kadaulatan dan kemandirian pangan tidak hanya sebatas slogan dan wacana semata. Pada masa beliau, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dan mengekspor beras ke sejumlah negara. Dan, atas prestasi Indonesia itu, Pak Harto mendapat penghargaan dari FAO di Roma, Italia, pada tahun 1983.
Masih banyak lagi sebetulnya jasa-jasa beliau dalam membangun negeri ini. Tulisan singkat ini saya kira tidak akan cukup menguraikannya satu per satu. Saya hanya mengangkat beberapa untuk menunjukkan kehebatan dan jasa-jasa beliau ketika memimpin negeri ini.
Tentu, saya juga tidak menutup mata akan kekurangan-kekurangan beliau, yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi, saya kira, dengan mempertimbangkan jasa-jasanya yang juga tidak sedikit bagi negeri ini, tidak ada salahnya kalau kita memaafkan dan menganggap beliau sebagai pahlawan.
Jangan sampai kebencian itu menutup segala kebaikan, sebagaimana kecintaan itu menutup segala cacat. Tak ada satupun manusia yang sempurna, lepas dari kekurangan di dunia ini.(*)
Sumber tulisan: Kompas.com, Wikipedia, data-data dari BPS
Komentar
Posting Komentar