Saya menulis ini tanpa pretensi apapun, hanya semata-mata
karena kepedulian dan kecintaan pada sebuah kampus kecil di Otista itu, tempat
saya berkuliah dulu.
Dalam sebuah diskusi hingga larut malam beberapa waktu lalu,
seorang kawan, yang sedang mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhir Semester
(UAS), menyampaikan keluh kesahnya kepada saya. Keluh kesah yang menurut saya
cukup gawat nan berbahaya karena telah membuatnya mati gaya dan kehilangan gairah
(passion) dalam belajar. Dan, takutnya,
fenomena mati gaya dan kehilangan gairah ini tidak hanya terjadi pada kawan
yang sebetulnya cerdas dan memliki semangat belajar berapi-api itu, tetapi juga
pada kawan-kawannya yang lain, dalam spektrum yang luas, apalagi masif.
Dalam diskusi yang hanya ditemani segelas teh manis hangat dan
beberapa lembar kertas coret-coretan—yang tak bisa dijadikan cemilan—itu, dia
mengungkapkan kekecewaannya, mungkin lebih tepatnya kekesalannya, terhadap
beberapa orang dosen yang menurutnya terlalu kaku dalam hal mengajar. Sebuah
kekakuan yang ujung-ujungnya memunculkan tekanan psikologis bagi dirinya. Dan,
bahayanya, ada indikasi bahwa kekakuan itu menjadikannya tidak suka dan tak tertarik
lagi dengan ilmu yang diajarkan sang dosen. Lagi-lagi, saya takut,
jangan-jangan hal yang sama juga terjadi pada kawan-kawannya yang lain. Kalau
sudah seperti itu tentu gawat. Itu artinya, tengah terjadi ‘bencana akademik’
di sekolah sensus yang telah berhasil menelorkan menteri dan wakil menteri itu.
Paradigma jaman
bahoela
Saat menjelaskan bentuk kekakuan yang dia maksudkan, kawan saya
itu mengambil contoh beberapa peristiwa yang dialaminya di kelas. Dalam tulisan
ini, saya hanya akan menuliskan salah satu diantaranya. Berikut adalah contoh
kekakuan yang dikisahkannya.
Suatu hari, di sebuah kelas Aljabar Linier (Alin), sang dosen,
yang menurutnya kaku itu, bertanya kepada semua mahasiswa, apakah ada yang
belum mereka pahami dari materi yang telah disampaikannya, tidak lupa pula sang
dosen mempersilahkan mereka untuk bertanya jika tak paham. Gayung pun
bersambut. Seorang mahasiswa asal Nias, Sumatera Utara, dengan rasa ingin
tahunya yang meluap-meluap pun bertanya. Namun, sial bagi sang mahasiswa,
bukannya mendapat jawaban dan penjelasan dari pertanyaan yang diajukannya, dia
malah kena semprot dari sang dosen.
Dengan nada suara yang sedikit tinggi dan menghujam hati, sang dosen berucap
kepada sang mahasiswa asal Nias itu, “Kamu
kemana saja? Seperti itu saja gak ngerti.”
Terlepas dari pertanyaan sang mahasiswa yang seharusnya—mungkin—tidak
perlu ditanyakan jika dia betul-betul memerhatikan penjelasan sang dosen, bertanya
tentang sesuatu hal yang tidak dipahami saat proses belajar mengajar adalah hak
setiap mahasiwa, dan menjadi kewajiban sang dosen untuk menjawabnya dengan
jawaban yang sejelas-jelasnya. Karena sejatinya, itulah tugas utama seorang dosen,
yakni mememahamkan mahasiswa terhadap apa yang diajarkannya.
Saya kira, tanpa perlu merujuk pada teori pengajaran atau
pendidikan yang ideal sekalipun, kita semua sepakat bahwa bentakan sang dosen
terhadap mahasiswa di atas adalah sebuah kekeliruan. Pola-pola pengajaran
semacam ini adalah paradigma pendidikan/pengajaran jaman bahoela, jaman pendudukan Belanda atau Jepang tempo doeloe, yang hanya akan menjadikan sang dosen dan apa yang
diajarkannya sebagai teror dan momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Pola pengajaran
semacam ini, bukannya menjadikan mahasiwa paham, tetapi hanya akan menyisakan
tekanan pisikologis bagi mereka. Dan, semakin berbahaya, jika kemudian menjadikan mereka tidak tertarik, bahkan benci terhadap apa yang diajarkan.
Bukankah, kunci untuk menjadikan seseorang paham dan ahli pada suatu disiplin
ilmu adalah adanya ketertarikan (interest)
dan passion. Kalau dua hal ini telah
hilang pada diri mahasiswa, yang ada adalah ibarat menyiram air di atas pasir.
Celakanya, tekanan pisikologis itu kian menjadi-jadi karena apa
yang diajarkan oleh sang dosen adalah sesuatu yang relatif sulit, misalnya,
Alin. Apalagi, jika kesulitan itu juga dibarengi dengan ancaman drop
out (DO) yang mengintai setiap mahasiswa tatkala gagal pada mata kuliah yang
diajarkan. Saya kira, kita semua setuju, segala sesuatu yang dilakoni dalam
kondisi under pressure tidak akan
berujung pada hasil yang maksimal, bahkan lebih sering mengecewakan.
Pola pengajaran jaman bahoela
menjadikan ruang kelas tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk belajar
dan berdiskusi, yang ada hanya aura ketegangan dan harapan agar kuliah cepat
berakhir. Pada kondisi seperti ini, dapat dipastikan, mahasiswa lebih sering
melirik jam dinding ketimbang papan tulis untuk memastikan kapan kuliah yang
sama sekali tidak menarik dan menyenangkan segera usai. Dan, tentu saja, amat
girang segirang-girangnya, bahkan disertai untaian kalimat syukur yang
dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, jika sang dosen berhalangan untuk
hadir (pengalaman pribadi).
Dosen
idaman mahasiswa
Saat menyimak keluh kesah kawan saya di atas, ingatan saya
tiba-tiba tertuju pada sebuah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, ahli statistik
dan mantan Rektor Institut Pertanin Bogor (IPB), pada sebuah buku (lupa
judulnya) yang saya baca beberapa tahun yang lalu semasa kuliah dulu. Dalam
tulisannya itu, beliau menyadur perkataan seorang guru Matematika di sebuah
sekolah Belanda jaman bahoela yang
kurang lebih seperti ini redaksinya, “Kalau
Anda mengajar Matematika lantas dengan itu siswa Anda menjadi benci terhadap
Matematika, berarti Anda sejatinya juga benci terhadap Matematika.”
Menurut saya, dari kutipan Prof. Andi Hakim di atas pesannya
adalah seorang dosen hendaknya mengejar dengan penuh kecintaan dan passion terhadap ilmu yang diajarkannya.
Kecintaan dan passion itu akan
menjadikannya berupaya semaksimal mungkin membuat mahasiswa tertarik dan
antusias dengan apa yang diajarkannya. Karena sejatinya, dia ingin menularkan
kecintaan dan passion itu. Ada
semangat yang begitu meluap-meluap dan tulus untuk memahamkan mahasiswa, dengan
cara yang menarik dan menyenangkan, serta tidak kaku tentunya. Dia bisa membuat
sesuatu yang sulit menjadi terasa mudah, bukan bertambah sulit. Apalagi
sebaliknya, sesuatu yang mudah malah menjadi sulit.
Dosen yang seperti ini, kehadiarannya akan senantiasa ditunggu
oleh para mahasiswa. Ada rasa kehilangan jika dia tak hadir. Penjelasannya
adalah sesuatu yang menarik dan menyenangkan untuk disimak oleh mahasiswa,
membuat mereka lupa waktu dan tak sadar tahu-tahu waktu kuliah telah berakhir.
Dan, semua itu menjadikan mahasiswa punya gairah dan ketertarikan pada apa yang
diajarkannya.
Sayangnya, di sekolah sensus tempat saya kuliah dulu, dosen idaman
(bukan Pak Idaman) yang semacam itu nyaris tidak ada. Bagaimana dengan Anda
yang pernah atau sedang berkuliah di sana? Moga-moga memiliki pengalaman yang
berbeda. (*)
Pendapat pribadi.
Komentar
Posting Komentar