Kasus pelecehan seksual di atas bus Transjakarta (busway)
yang kerap terjadi beberapa waktu lalu membuat Badan Layanan Umum (BLU)
Transjakarta melakukan terobosan baru. Yakni, menyediakan area khusus buat
wanita di dalam bus. Area di dalam bus pun dibagi dua: bagian depan untuk wanita
dan bagian belakang untuk laki-laki. Selaras dengan hal ini, akses untuk masuk
ke dalam bus pada setiap halte juga dibagi dua. Pintu masuk untuk laki-laki dan
wanita dipisah. Dengan cara ini diharapkan tidak terjadi campur baur antara
penumpang laki-laki dan wanita di dalam bus sehingga potensi terjadinya pelecehan
seksual dapat dicegah dan diminimalisir.
Sebetulnya, ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, pihak
manajemen Transjakarta juga pernah menerapkan hal yang kurang lebih sama.
Yakni, melakukan pemisahan akses masuk ke dalam bus bagi penumpang laki-laki
dan wanita pada setiap halte. Namun, entah mengapa, hal ini tidak berlangsung
lama. Selang beberapa waktu kemudian. Penumpang laki-laki dan wanita kembali
campur baur, berdesak-desakkan untuk masuk ke dalam bus yang terkadang setelah
ditungga lebih dari lima belas menit itu tak kunjung datang juga.
Wanita menjadi ‘superior’
Sepertinya, terobosan baru dengan menyediakan area khusus
wanita juga akan bernasib sama. Saya sebagai penumpang setia busway sudah
melihat kecenderungan itu. Rendahnya kesadaran para penumpang, khususnya para
wanita, untuk mematuhi aturan baru ini
nampak jelas hampir di setiap halte. Ini kerap terjadi pada jam-jam sibuk.
Yakni saat jam orang berangkat dan pulang kerja.
Para wanita, yang mendapat privilage dengan aturan ini, nampaknya tak mau diutamakan. Banyak
di antara mereka justru memilih untuk berdesak-desakkan dengan para lelaki.
Mereka yang seharusnya masuk ke dalam busway melalui pintu depan─yang
ditempeli stiker biru muda bertuliskan “ area khusus
wanita” itu─malah masuk melalui pintu belakang, pintu yang seharusnya
diperuntukkan untuk mereka kaum lelaki. Saya acap kali mengalami hal ini.
Berdesak-desakkan dengan para wanita di bagian belakang bus. Dan saya
sebetulnya sangat risih dengannya.
Alhasil, wanita, yang perlu dilindungi dari pelecehan seksual,
menjadi begitu ‘superior’ di atas busway. Dan para lelaki, yang selama ini
diidentikkan dengan subjek/pelaku pelecehan seksual, menjadi inferior. Para
lelaki─yang tahu malu seperti saya─tentu tak mungkin sudi menempati area depan
bus yang jendelanya ditempeli stiker berwarna biru muda itu. Tragisnya, ketika
area depan bus tak bisa lagi menampung para wanita yang jumlahnya lebih banyak
dari para lelaki itu, para wanita tak sungkan-sungkan melakukan ekspansi ke
area belakang bus yang seharusnya diperuntukkan bagi para lelaki. Mereka juga
tidak bisa disalahkan atas ekspansi itu, karena memang tak ada satupun stiker
bertuliskan “ area khusus pria” yang tertempel pada area belakang bus.
Akar
masalah
Memang tidak adil kalau kita menyalahkan kaum wanita. Meskipun
statistik menunjukkan jumlah wanita dan laki-laki di negeri ini sebetulnya
berimbang─menurut hasil Sensus Penduduk 2010, perbandingan jumlah penduduk
laki-laki dan perempuan (sex ratio)
Indonesia sebesar 101 (BPS,2010): untuk setiap 100 orang wanita terdapat 101
laki-laki─hal ini tidak berlaku di setiap tempat, termasuk di atas busway. Secara
kasat mata, kita akan mudah menyimpulkan, sebagian besar pengguna busway adalah
wanita. Para lelaki nampaknya lebih memilih meramaikan jalan raya dengan sepeda
motornya.
Secara umum, busway sangat diminati. Sayangnya, tingginya jumlah
peminat moda transportasi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan jumlah armada
yang mencukupi. Pada jam-jam sibuk, waktu tunggu bus menjadi sangat lama,
terkadang bisa sampai setengah jam lebih. Kondisi ini diperparah dengan bus
yang over capasity. Karena itu,
penumpung menjadi tak peduli lagi dengan siapa dia berdesak-desakkan dan
sikut-sikutan. Pada kondisi ini tak ada lagi istilah laki-laki atau perempuan, tua
ataupun muda. Orang tak peduli lagi dari pintu mana dia harus masuk ke dalam
busway ketika terancam terlambat masuk kantor atau pulang kemalaman. Dan
celakanya, mereka yang berotak kotor menfaatkan situasi ini. Maka, terjadilah
pelecehan seksual itu.
Jadi, terang sudah sebetulnya apa yang menjadi akar masalahnya,
yakni jumlah armada bus yang tidak mencukupi. Jika ditilik, persoalan
keterbatasan armada bus, yang berujung pada penumpukan penumpang pada jam-jam
sibuk, sebetulnya bisa diatasi, setidaknya diminimalisir. Hal ini bisa terwujud
jika BLU memiliki manajemen yang baik dalam mengelola armada yang ada, bukan
seperti saat ini.
Setelah sekian tahun busway beroperasi, seharusnya BLU punya data
di mana saja penumpukan penumpang itu terjadi dan kapan waktunya. Data-data ini
kemudian dievaluasi dan dicari solusinya dengan mengoptimalkan jumlah armada
bus yang tersedia. Berdasar data-data itu pula, seharusnya, ada sistem
penjadwalan yang terpola terkait pergerakan busway, utamanya pada jam-jam
sibuk. Sehingga penumpukan penumpang dan waktu tunggu yang sangat lama bisa
dikurangi.
Data-data
dari BPS
Komentar
Posting Komentar