Hasil Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 mengungkap fakta menarik: persantase Suku Tionghoa di Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam dibanding 80 tahun yang lalu. Pada tahun 2010, persentase Suku Tionghoa mencapai 1,2 persen dari total penduduk Indonesia, menurun tajam jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1930 dimana saat itu persentase suku Tionghoa mencapai 2,04 persen dari total penduduk Indonesia.
Secara absolut, jumlah Suku Tionghoa sebetulnya tidak berkurang. Pada tahun 1930, jumlah Suku Tionghoa di Indonesia mencapai 1,2 juta jiwa. Sementara pada tahun 2010 lalu mencapai 2,8 juta jiwa. Meskipun tidak berkurang, statistik ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 80 tahun terakhir laju pertambahan jumlah suku Tionghoa di Indonesia berlangsung lambat.
Terjadi pembauran
Tentu ada banyak sebab yang bisa menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Rendahnya angka kelahiran (fertilitas) di kalangan Suku Tionghoa mungkin dapat dipertimbangkan sebagai penyebab. Ini butuh penelitian lebih lanjut tentunya.
Hal lain yang juga bisa menjadi sebab adalah selama ini telah terjadi pembuaran antara Suku Tionghoa—para migran dari China dan keturunannya—dengan penduduk pribumi, yakni suku-suku endemik Indonesia. Proses pembauran tidak hanya terjadi secara fisik, yakni melalui proses perkawinan, tetapi juga secara budaya. Dan jika hal ini betul-betul terjadi tentu akan sangat menggembirakan.
Dalam pelaksanaan sensus penduduk, pendekatan yang digunakan BPS untuk mengidentifikasi suku bangsa seseorang adalah etnodemografis, yakni berdasarkan pengakuan, bukan pendekatan antropologis atau garis keturunan. Aspek kepraktisan dan kemudahan merupakan alasan kenapa BPS memilih pendekatan etnodemografis.
Karena yang digunakan adalah pendekatan etnodemografis, ada kemungkinan merosotnya persentase Suku Tionghoa dalam 80 tahun terakhir disebabkan pada saat sensus, mereka yang sejatinya Suku Tionghoa mengaku atau mengidentifikasi diri bukan sebagai Suku Tionghoa, tetapi sebagai suku lokal setempat di mana dia berada, misalnya, Suku Jawa atau Betawi. Ini bisa terjadi pada mereka yang telah turun-temurun berbaur—baik secara fisik, maupun budaya.
Sebagai contoh, hasil sensus penduduk juga mengungkap fakta bahwa dalam 80 tahun terakhir jumlah Suku Betawi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jika pada tahun 1930, dari segi jumlah, Suku Betawi menempati posisi kedelapan (1,66 persen), pada tahun 2010 Suku Betawi telah menembus posisi lima besar nasional (2,87 persen). Hal ini bisa saja disebabkan karena orang Jawa dan Tionghoa yang hidup di lingkungan Betawi selama beberapa generasi sudah menganggap dirinya sebagai orang Betawi, bukan lagi sebagai orang Jawa atau Tionghoa.
Masih ada jarak
Tidak bisa dimungkiri, selama ini masih terdapat jarak dan sekat antara Suku Tionghoa dan penduduk pribumi. Diskriminasi dan dikotomi orang Cina-orang Pribumi masih acap kali terjadi di masyarakat kita. Masih banyak orang pribumi yang terjebak pada sentimen anti-Cina dengan berbagai alasannya.
Begitu pula dengan orang Tionghoa, masih banyak di antara mereka yang tidak mau berbaur dengan penduduk pribumi, terjebak pada kecinaannya, dan cenderung eksklusif dengan berbagai alasannya. Singkat kata, masih ada penolakan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak yang menghambat proses pembauran itu.
Keranjang itu bernama Indonesia
Hari ini saudara-saudara kita Suku Tionghoa tengah bersuka ria merayakan Tahun Baru Imlek. Dan saya sebagai pribumi pun turut bergembira. Seperti biasa, salah satu panganan yang selalu tersaji pada saat Imlek adalah Kue Keranjang.
Disebut Kue Keranjang karena wadahnya adalah sebuah keranjang. Kue ini dibuat dari campuran tepung ketan dan gula sehingga berasa manis. Bentuknya bulat dan terlihat kompok melambangkan persatuan dan keterpaduan bahan-bahan yang digunakan untuk membuatnya.
Selah satu nilai filosifis yang diyakini orang Tionghoa dari sebuah Kue Keranjang yang manis dan legit itu adalah persatuan dan kebulatan tekad. Dalam konteks keindonesiaan, saya kira nilai ini sangat penting, dan saharusnya bisa terus menginspirasi proses pembauran antara orang-orang Tionghoa dan penduduk pribumi demi Indonesia yang lebih baik.
Dalam konteks Indonesia,orang-orang Tionghoa dan penduduk Pribumi seharusnya ibarat butiran-butiran tepung ketan dalam pembuatan Kue Keranjang. Dengan campuran gula yang manis dan air, butiran-butiran tepung itu berbaur, berpadu, dan menyatu sehingga menghasilkan sebuah kue yang manis, nikmat, dan legit. Berwadahkan sebuah keranjang. Dan keranjang itu adalah Indonesia. Mari kita bersatu dalam keindonesiaan.
Gong Xi Fa Chai
Data-data dari BPS
Komentar
Posting Komentar