Saya tertarik ketika membaca tulisan Ella Zulaeha (EZ) bertujuk “Wow.. Pengemis Aja Pake Blackberry!” yang sempat menjadi headline di Kompasiana beberapa waktu yang lalu. Saya yakin, pengalaman yang kurang lebih sama juga pernah dialami oleh sebagian kita, yakni menjadi saksi bahwa tidak sedikit pengemis, di balik tampangnya yang mengundang rasa iba itu, ternyata orang ‘berpunya’.
Mereka, yang secara kasat mata memang layak menjadi pengemis itu, ternyata punya telepon genggam (Hand Phone/HP). Bukan hanya satu, tetapi dua. Bahkan, beberapa diantaranya memiliki HP dengan harga dan kualitas yang menyamai para pekerja kantoran di Jakarta. Balckberry, misalnya, seperti yang dikisahkan dalam tulisan EZ itu.
Sulitnya mengukur kemiskinan
Dalam berbagai pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait kemiskinan, variabel kepemilikan HP selalu diikutsertakan sebagai penciri miskin atau tidaknya sebuah rumah tangga. Alasannya: mereka yang memiliki HP pasti memiliki pengeluaran untuk pulsa—minimal Rp50.000 dalam sebulan; selain itu, mereka juga dapat dipastikan memiliki akses terhadap listrik untuk men-charge HP yang dimiliki, itu artinya juga ada pengeluaran yang dialokasikan untuk listrik.
Jadi, pengemis yang memiliki Blackberry seperti yang dikisahkan dalam tulisan EZ sulit untuk dikategorikan miskin. Meskipun, secara kasat mata dia tampak ‘miskin’. Mungkin, kata yang tepat untuk pengemis itu adalah ‘pura-pura miskin’.
‘Miskin’ adalah sebuah kata yang bermakna relatif dan sangat kualitatif. Karenanya, sangat sulit untuk mengukurnya secara kuantitatif. Begitupula dengan batas untuk menetapkan seseorang dianggap miskin, juga tidak mudah. Sebagai ilustrasi, misalnya, jika setiap orang diminta untuk melengkapi kalimat ini, “saya miskin karena….,” tentu akan sangat banyak sekali isian yang mungkin untuk melengkapinya, tegantung siapa orang yang mengisinya. Dan, pastinya tidak semua isian itu dapat diukur dan dikuantifikasi.
Hati-hati menjadi orang dermawan di Jakarta
Fenomena ‘pengemis berpunya’ seperti di atas memang kian lazim dijumpai di sejumlah kota besar di Indonesia, khususnya di Jakarta. Dari fenomena ini nampaknya kita bisa menduga, gaya hidup konsumtif–hedonis tidak hanya melanda penduduk kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta, tetapi juga telah merambah dan menjadi ‘impian’ penduduk kelas bawah.
Celakanya, terkadang, libido konsumtif-hedonis yang menggelora itu dibiayai dengan utang dan kemurahan hati atau kedermawanan orang lain, seperti pada tulisan EZ itu, misalnya. Karena itu, sebagai orang yang dermawan, kita harus sedikit berhati-hati ketika akan memanifestasikan sikap kedermawananan kita di Jakarta. Kita tentu tidak sudi bersedekah untuk orang yang pura-pura miskin, apalagi untuk memenuhi hasrat komsumtif-hedonis seorang pengemis.
Miskin tapi bermartabat
Di Indonesia, kemiskinan memang lebih merupakan fenomena perdesaan. Tetapi meskipun data BPS menunjukkan sebagian besar penduduk miskin (63 persen) terdapat di daerah perdesaan, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan juga masih banyak.
Di Jakarta, misalnya, berdasarkan data yang dirilis BPS baru-baru ini, jumlah penduduk miskin pada September 2011 lalu mencapai 355,20 ribu orang atau sekitar 3,64 persen dari total penduduk Jakarta. Ditengarai, angka ini sebetulnya masih underestimate (di bawah perkiraan). Pasalnya, BPS menggunakan pendekatan rumah tangga—bangunan tempat tinggal—ketika melakukan survei untuk menghitung penduduk miskin.
Dengan pendekatan tersebut, ada kemungkinan, penduduk yang tidak memiliki bangunan tempat tinggal, misalnya, mereka yang tinggal di bawah kolong tol atau yang sama sekali tidak memiliki tempat tinggal seperti para gelandangan tidak terwakili dalam hasil survei. Karena itu, patut diduga, angka kemiskinan di Jakarta lebih besar lagi.
Terlepas dari angka kemiskinan yang ada, fenomena kemiskinan memang tampak nyata di Jakarta. Bahkan, nampaknya kian hari menjadi kian nyata. Sebagai episentrum pusat kemajuan ekonomi negeri ini, Jakarta telah menjadi tempat berkumpulnya kemakmuran dan kemiskinan. Di jalan-jalan Jakarta, rasanya tidak sulit bagi kita untuk menyaksikan mobil-mobil mewah lalu-lalang, dan pada saat yang sama ada banyak pengemis menengadahkan tangan meminta belas kasihan.
Tantangan hidup yang dihadapi penduduk miskin di Jakarta memang lebih berat jika dibandingkan dengan penduduk miskin di perdesaan. Tidak seperti di desa, kehidupan di Jakarta—kota secara umum—lebih bergantung pada ekonomi uang (commodizatioan) dan kehidupan sosial yang individualistis (social fragmentation).
Tantangan untuk survive yang berat di Jakarta menjadikan orang rela melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Meskipun dengan melakoni profesi, yang secara status sosial mungkin sedikit ‘hina’, misalnya, dengan menjadi pengemis atau pemulung. Ini masih mending ketimbang mereka yang memilih untuk menjadi pelaku tindak kriminal, misalnya, perampokan dan pencurian.
Profesi sebagai pengemis, pencuri, apalagi perampok adalah sesuatu yang tidak—amat jarang—kita jumpai di desa. Mengapa? Karena meskipun miskin, penduduk miskin di desa masih memiliki harga diri. Mereka masih memiliki etos kerja yang tinggi, tekun, dan ulet. Pekerja keras meskipun kapabilatas mereka rendah.
Banyak di antara mereka justru menganggap bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan yang harus disyukuri. Ini mungkin mindset yang keliru. Tetapi setidaknya, mereka miskin tetapi bermartabat dan memiliki harga diri. Tidak seperti pengemis yang punya Blackberry dalam tulisan EZ itu.
Data-data dari BPS
Komentar
Posting Komentar