Belakangan ini, sejumlah berita mengenai gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat saya─mungkin juga Anda─ terheran-heran dan sakit hati. Mulai dari renovasi toilet yang menelan biaya hingga 2 miliar rupiah; pengadaan fasilitas ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) yang menghabiskan biaya 20 miliar rupiah; dan yang terbaru adalah pengadaan kalender untuk 560 orang anggota DPR yang menelan dana 1,5 miliar rupiah. Itu artinya, harga sebuah kalender di gedung DPR sebesar Rp116.000. Kalender macam apa itu? Sepertinya yang termahal di dunia.
Angka-angka di atas terang saja membuat saya sakit hati. Mengapa? Karena miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk gedung DPR itu adalah sebuah ironi jika dibandingkan kondisi penduduk negeri ini yang masih banyak orang miskinnya. Masih ada 28,89 juta penduduk miskin di negeri ini. Masih ada sekitar 17,5 juta rumah tangga yang karena daya beli mereka rendah, terpaksa harus makan Raskin dengan kualitas yang buruk. Kondisi ini seharusnya sudah cukup menyadarkan kita terhadap pentingnya skala prioritas dalam pengelolaan anggaran negara. Kesejahteraan rakyat haruslah menjadi prioritas. Bukan kenyamanan segelintir elite yang belum tentu memikirkan nasib rakyat itu.
Soal toilet yang menghabiskan dana hingga 2 miliar itu, misalnya, tentu sebuah ironi jika kita menengok kenyataan bahwa masih ada sekitar 11,55 juta rumah tangga (18,86 persen) di negeri ini yang tidak punya fasilitas buang air besar, 2,2 juta rumah tangga (3,59 persen) terpaksa harus menggunakan jamban umum, dan 7,17 juta rumah tangga lainnya (11,72 persen) harus puas dengan jamban bersama (BPS, Sensus Penduduk 2010). Tega-teganya 2 miliar uang negara─yang juga uang rakyat itu─dihabiskan untuk mendandani toilet segelintir orang yang kerap melukai hati rakyat itu, sementara ada puluhan juta penduduk negeri ini yang harus buang air (besar) di sawah, kebun, sungai, laut, dan tempat-tempat terbuka lainnya karena tak punya jamban.
Begitupula dengan ruang Banggar, yang dari sana kerap kali tercium aroma korupsi yang memiskin rakyat itu. Dana sebesar 20 miliar untuk sebuah ruang rapat tentu sungguh betul-betul keterlaluan. Dan, jelas-jelas melukai hati 6,45 juta rumah tangga (10,55 persen) di negeri ini yang lantai rumahnya hanya beralaskan tanah serta 8 juta rumah tangga (31, 3 persen) yang lantai rumahnya hanya beralaskan bambu, kayu, dan papan. Begitu pula dengan 4,15 juta rumah tangga (6,79 persen) yang luas bangunan tempat tinggalnya kurang dari 20 m2, pasti terluka dengan ruang rapat yang menelan biaya sampai 20 miliar itu (BPS, Sensus Penduduk 2010).
Gedung DPR sejatinya adalah rumah rakyat. Di situlah tempat para wakil rakyat, yang dipilih langsung oleh rakyat, menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan nasib mereka. Kemewahan gedung DPR sebagai rumah rakyat seharusnya tidak melukai hati rakyat. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pengadaan berbagai fasilitas untuk menunjang pekerjaan para wakil rakyat itu. Tetapi toliet yang menghabiskan dana 2 miliar, ruang rapat yang menelan dana 20 miliar, serta sebuah kalender seharga Rp116.000 sungguhlah keterlaluan.
Seandainya berbagai kemewahan fasilitas yang didapat para anggota dewan itu juga berbanding linier dengan kinerja mereka dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi, mungkin tak mengapa. Tapi sayangnya, mereka yang hanya menghabiskan tidak sedikit uang rakyat itu kenyataanya hanya bisa membuat kita sakit hati, dan sesekali tertawa dengan segala bentuk kegaduhan dan parodi politik yang mereka lakonkan.
Data-data dari BPS: Sensus Penduduk 2010
Komentar
Posting Komentar