Kemarin (1/11), Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis angka ramalan produksi padi terbaru. Angka yang baru ini disebut Angka Ramalan III (ARAM III), yang merupakan penyempurnaan ARAM II yang dirilis pada awal Juli lalu. Dengan dirilisnya ARAM III, ARAM II praktis tidak berlaku lagi. Hal ini penting untuk diperhatikan oleh pengguna data.
Dengan angka terbaru tersebut, BPS memperkirakan, produksi padi tahun ini sebanyak 65,39 juta ton gabah kering giling (GKG)─lebih rendah dari ARAM II (68,06 juta ton). Itu artinya, produksi padi tahun ini diperkirakan turun sebanyak 1,08 juta ton atau 1,63 persen dibandingkan tahun 2010.
Statistik ini nampaknya lebih realistis, mengingat gagal panen (puso) yang terjadi secara masif belakangan ini, khususnya di sejumlah sentra produksi padi nasional di Pulau Jawa, seperti Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat (Jabar), dan Banten.
Jatim dan Jateng adalah dua provinsi yang paling berkontribusi terhadap penurunan produksi padi tahun ini. Tahun ini, Jatim diperkirakan mengalami penurunan produksi sebesar 1 juta ton, sedangkan Jateng sebesar 600 ribu ton.
Tak enak hati
Angka produksi padi yang diumumkan kemarin nampaknya membuat pihak Kementrian Pertanian (Kementan), khususnya Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, tak enak hati. Karena terang saja, angka produksi tersebut merupakan indikator baik buruknya kinerja mereka tahun ini dalam menggenjot produksi padi nasional.
Dengan produksi tahun ini yang diperkirakan sebesar 65,39 juta ton, itu artinya target yang dibebankan kepada Kementan tahun ini untuk menggenjot produksi padi hingga mencapai 70 juta ton dapat dipastikan urung tercapai.
Padahal, untuk mencapai target produksi tersebut, milyaran bahkan triliunan duit negera telah digelontorkan untuk meningkatkan produksi padi melalui berbagai rupa program, seperti subsidi pupuk dan benih, Sekolah Lapang – Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K),dll.
Sebetulnya, bukan hanya pihak Kementan yang tak enak hati dengan angka produksi tersebut. Para kepala daerah─gubernur─provinsi-provinsi sentra produksi padi nasional yang mengalami penurunan produksi cukup tajam tahun ini nampaknya pun demikian.
Jatim dan Jateng misalnya, gubernur kedua provinsi ini sampai bersurat ke Presiden RI sebelum ARAM III dirilis. Mereka mempersoalkan hasil hitung-hitungan BPS yang dinggap tidak mewakili kondisi sebenarnya di lapangan. Bahkan, mereka ngotot meminta agar BPS tidak mengumumkan ARAM III dengan alasan dapat berpotensi memunculkan masalah ekonomi dan sosial.
Dan saya kira, ini merupakan salah satu bentuk upaya interfensi terhadap BPS yang telah digariskan oleh konstitusi─Undang-udang Statistik No.16 Tahun 1997─untuk bersikap independen dalam penyelenggaraan statistik.
Para Gubernur dan pihak Kementan yang tak enak hati dengan angka produksi yang baru itu tentu memiliki kepentingan terhadap angka tersebut. Mereka tentu berharap yang terjadi adalah kenaikan bukan penurunan, dan kalau pun turun, jangan terlalu tajam seperti saat ini.
Bagaimana dengan BPS? Sebagai lembaga independen, BPS sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan angka tersebut. Kinerja BPS tidak ditentukan oleh naik atau turunnya angka, tetapi keakuratan angka tersebut. Mau naik atau turun berapa juta ton pun, tak ada untung atau ruginya buat BPS. Dan saya kira, itulah alasan penghitungan angka produksi padi dipercayakan kepada BPS.
Jangan ada dusta di antara kita
Sebagaimana dikutip oleh sejumlah media, Selasa (1/11), dalam acara Forum Diskusi Pengusaha dan Pemerintah mengenai pangan di kantor Kadin, Kuningan, Jakarta, Menteri Pertanian Suswono mengakui bahwa data-data pertanian yang ada saat ini belum akurat alias ngawur sehingga kebijakan pemerintah seringkali tidak tepat sasaran.
Dalam forum diskusi tersebut, beliau menyatakan, “Persoalan data harus clear-kan, benahi soal BPS, data harus apa adanya, jangan ditambah-tambahi supaya mendapat penghargaan.” Statemen Pak Mentri tersebut mengandung makna bahwa BPS lah yang bertanggungjawab atas ngawur –nya data-data pertanian─termasuk produksi padi─selama ini. Ini ada benarnya, tetapi apakah sepenuhnya menjadi tangggungjawab BPS? Saya kira ini perlu di-clear-kan, terutama soal data produksi padi.
Selama ini, orang mungkin menganggap data produksi padi adalah murni hasil hitung-hitungan BPS, tanpa melibatkan Kementan. Anggapan ini tentu keliru , karena dalam prosesnya sebetulnya tidak demikian. Kementan sesungguhnya memiliki andil yang signifikan dalam ‘menentukan’ seperti apa hasilnya angka produksi yang telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate(melebihi yang sebenarnya) itu.
Dalam penghitungan angka produksi, BPS ibarat kalkulator. Dengan formula tertentu, angka yang bakal keluar di layar kalkulator tentu hanya ditentukan oleh nilai-nilai variabel yang dimasukan ke dalam kalkulator.
Angka produksi padi merupakan hasil perkalian antara variabel luas panen dengan produksi per hektar (produktivitas). Selama ini, penghitungan luas panen dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian atau Dinas-dinas serupa di daerah di bawah koordinasi Kementan. Sedangkan penghitungan produktivitas dilakukan oleh petugas BPS (untuk sampel ganjil) dan petugas Dinas Pertanian (untuk sampel genap).Hasil penghitungan kedua variabel ini selanjutnya dimasukkan ke dalam ‘sistem data’ BPS untuk memperoleh angka produksi.
Dari sini terlihat jelas, siapa sesungguhnya yang paling ‘menentukan’ besaran angka produksi padi yang akan dirilis oleh BPS. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah pihak Kementan. Bahkan, jika ditelusuri lebih jauh variabel luas panen yang dihitung petugas Dinas pertanian sebetulnya memiliki kontribusi yang lebih dominan terhadap angka produksi jika dibandingkan dengan variabel produktivitas.
Selain itu, hasil pengukuran produktivitas petugas BPS dan Dinas Pertanian kenyataannya selalu berbeda secara nyata. Di mana hasil pengukuran petugas Dinas Pertanian selalu lebih tinggi. Ini terjadi karena dalam memilih sampel yang akan diukur produktivitasnya, petugas Dinas Pertanian seringkali melanggar kaidah ilmu statistik.
Sampel tidak dipilih secara acak, tetapi secara subjektif. Petak sawah yang dipilh sebagai sampel adalah yang bagus-bagus saja (milik petani binaan atau ketua kelompok tani misalnya) sehingga hasil pengukuran angka produktivitas juga bagus-bagus.
Dan kalau kenyataannya seperti ini, jelas sudah siapa sebenarnya yang ngawur atau menambah-nambahi? Silahkan Anda menyimpulkan sendiri.
*****
Komentar
Posting Komentar