Terlepas dari transfromasi struktur ekonomi yang semakin mengantarkan
Indonesia menuju negera industri , nampaknya tidak salah kalau kita masih
menganggap Indonesia sebagai negara agraris. Setidaknya, ada dua alasan
menagapa negeri ini masih dianggap sebagai negara agraris. Pertama, sektor
pertanian masih menjadi salah satu leading sector dalam
ekonomi Indonesia, ditunjukkan oleh pangsanya yang masih cukup tinggi terhadap
pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan II 2011, pangsa sektor
pertanian terhadap PDB sebesar 15,4 persen, nomor dua setelah sektor industri
pengolahan yang mencapai 24,3 persen. Alasan kedua, sebagian besar, yakni
sekitar 33 persen (42,47 juta), penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja
menggantungkan hidupnya (bekerja) di sektor pertanian.
Ironisnya, sebagai negara agraris Indonesia ternyata belum memiliki
kemandirian dan kedaulatan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai impor komoditi pangan Indonesia yang masih cukup
tinggi, yakni sekitar 7 persen dari total impor Indonesia. Bahkan, beberapa
waktu yang lalu, kita juga sempat dikagetkan dengan kenyataan bahwa ternyata
sebagai salah satu negera dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia
harus mengimpor garam dari sejumlah negara seperti Cina dan India. Sebuah
kenyataan yang tentu miris dan membuat kita mengelus dada.
Berdasarkan data BPS, selama semester I 2011 (Januari-Juni), Indonesia
telah mengimpor bahan pangan, baik mentah maupun olahan, senilai 5,36 milliar
dollar AS atau sekitar 45 triliun rupiah dengan volume impor mencapai 11,33
juta ton. BPS mencatat, Indonesia mengimpor sedikitnya 28 komoditi pangan mulai
dari beras, jagung, kedelai, gandum,terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi,
daging ayam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih,
telur,kelapa, kelapa sawit, lada, teh,kopi, cengkeh, kakao, cabai segar dingin,
cabai kering tumbuk, cabai awet, tembakau dan bahkan singkong alias ubi kayu
juga diimpor.
Mengapa terus impor?
Jika ditelaah lebih jauh, tren impor pangan Indonesia ternyata bukannya
terus menurun dari tahun ke tahun, yang ada malah terus meningkat. Jagung
misalnya, berdasarkan data BPS, selama semester I tahun 2010 lalu, impor
komoditi ini hanya mencapai 600 ribu ton, tetapi di semester I tahun 2011 impor
jagung telah mencapai 2 juta ton. Dan tren kenaikan ini juga terjadi pada
komoditi-komoditi pangan lainnya, bukan hanya jagung.
Nilai impor pangan Indonesia yang terus meningkat tentu merupakan soal yang
amat serius. Jika diurai, biang dari persoalan ini sebenarnya bukan hanya
karena suplai atau produksi dalam negeri yang kurang, tetapi lebih dari itu.
Masalah impor pangan sudah tersandera banyak kepentingan mulai dari partai
politik, pengusaha dan kepentingan individu, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir
Mansyur kepada media.
Banyak pihak yang menikmati kondisi ini. Bagi mereka, impor pangan
merupakan lahan basah untuk merauk banyak keuntungan. Karena itu, mereka sangat
berkepentingan agar impor pangan terus berlangsung. Dan sepertinya, pemerintah
tersandera oleh kepentingan mereka, para mafia impor itu. Sikap Menteri
Perdangan Mari Elka Pangestu yang cenderung melonggarkan dilakukannya impor
komoditi pangan merupakan indikasi kuat akan hal itu.
Terlepas dari alasan pemerintah bahwa kebijakan impor pangan terpaksa
dilakukan karena kurangnya stok dalam negeri sehingga untuk menjaga agar harga
komoditi pangan tidak melonjak maka harus dilakukan impor, jika kondisi ini
terus dibiarkan, tentu sangat tidak baik. Apalagi, pangsa pangan impor terhadap
pemenuhan pangan nasional saat ini telah mencapai 65 persen. Jika terus
dibiarkan, bisa-bisa nantinya semua kebutuhan pangan kita harus diimpor. Dengan
kata lain, kita akan menjadi negara yang tergantung pada impor pangan dari
negara lain. Kalau sudah seperti itu, dimana kemerdekaan dan kedaulatan kita
sebagai negera agraris dalam hal pemenuhan pangan?
Lebih dari itu, impor pangan yang terus membesar menunjukkan
ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani, yang sedikit banyak tentu akan
merugikan, bahkan bisa mematikan mereka. Apalagi, harga komoditi pangan impor
hampir selalu lebih rendah dari komoditi pangan yang diproduksi oleh petani.
Karena itu, selagi kebutuhan pangan masih bisa diupayakan melalui produksi
dalam negeri seharusnya tidak perlu impor. Bisa dibayangkan, jika biaya impor
komoditi pangan yang mencapai 45 triliun itu bisa dinikmati oleh para petani
kita, tentu mereka yang sebagian besar miskin itu akan lebih sejahtera. Untuk
itu, kita berharap semoga ada keseriusan dan ketegasan dari pemerintah dalam
masalah ini.
****
Komentar
Posting Komentar