“Penduduk Indonesia lebih banyak perempuan daripada laki-laki”. Anda mungkin termasuk orang yang setuju dengan statement ini. Apalagi kalau Anda adalah orang yang ketika pergi dan pulang kantor menggunakan Transjakarta, saya yakin sangat setuju. Pasalnya, pemandangan di dalam Transjakarta memang demikian, jumlah penumpang perempuan selalu lebih banyak dari laki-laki.
Apakah fakta keseharian yang Anda alami saat pergi dan pulang kantor dengan Transjakarta bisa dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa penduduk Indonesia lebih banyak perempuan dibanding laki-laki? Jawabannya tentu tidak.
Mengapa tidak? Untuk menarik kesimpulan tentang populasi─komposisi penduduk Indonesia menurut jenis kelamin─penarikan kesimpulan secara parsial, yakni berdasarkan kondisi di kanan kiri kita yang dianggap sebagai gambaran populasi kerap kali menyesatkan. Karenanya, dibutuhkan data statistik yang diperoleh melalui suatu metodologi yang dirancang sedemikian rupa untuk mewakili dan menggambarkan populasi agar kesimpulan yang ditarik benar-benar mewakili populasi.
Jawaban yang tepat atas pertanyaan “apakah penduduk Indonesia lebih banyak laki-laki atau perempuan?” adalah hasil sensus penduduk yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 lalu. Sensus penduduk adalah satu-satunya kegiatan statistik yang dirancang untuk memotret kondisi kependudukan di Indonesia secara menyeluruh, termasuk komposisi penduduk menurut jenis kelamin.
Berdasarkan hasil sensus tersebut, BPS mencatat, ternyata pada Mei 2010 jumlah penduduk Indonesia lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian Anda, terutama yang terjebak dalam penarikan kesimpulan secara parsial karena sering naik Transjakarta saat pergi dan pulang kantor, mungkin akan sedikit kaget. Tetapi, itulah faktanya. Sex ratio─perbandingan jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan─Indonesia menunjukkan untuk setiap 100 penduduk perempuan ternyata ada 101 penduduk laki-laki.
[]
Kesenjangan gender masih terjadi
Meskipun lebih banyak laki-laki, perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan sebenarnya berimbang. Bahkan, boleh dibilang, “fivety-fivety”. Selisih keduanya hanya sekitar 1 juta jiwa. Hal ini menunjukkan, baik laki-laki muapun perempuan, keduanya memiliki peran yang sama dalam menyukseskan pembangunan.
Partisipasi aktif keduanya dalam proses pembangunan amatlah penting demi tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya salah satu pihak akan meghambat proses pembangunan, bahkan lebih dari itu akan menjadi beban bagi pembangunan.
Namun sayangnya, selama ini, perempuan kenyataannya belum terlalu banyak mengambil peran dalam pembangunan bila dibanding laki-laki. Contoh sederhana, jumlah perempuan yang menduduki berbagai jabatan politis─semisal menteri dan anggota dewan─di negeri ini bisa dihitung dengan jari. Padahal, kurangnya jumlah perempuan yang menduduki berbagai jabatan politik sedikit banyak tentu akan memengaruhi manfaat pembangunan yang bakal dirasakan oleh kaum perempuan.
Meskipun seluruh kebijakan dan program pembangunan selama ini telah dibuat oleh netral gender, kaum perempuan kenyataanya tidak memperoleh manfaat hasil pembangunan yang sama dengan laki-laki. Akibatnya, kesenjangan gender masih saja terus terjadi. Untuk itu, mengingat rasio penduduk laki-laki dan perempuan berimbang, diperlukan proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan menggunakan perspektif gender. Dengan demikian, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dapat dikurangi, bahkan kalau perlu dihilangkan.
****
Salam emansipasi
Data-data dari BPS
Komentar
Posting Komentar