Bagudung
Bagi sebagian orang, sebuah pressure tak ubahnya bagaikan doping yang menggerakkan mereka untuk mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki sehingga terkadang bisa melakukan sesuatu melebihi batas kemampuan mereka. Seseorang bisa menjadi pelari hebat dan pemanjat ulung ketika dikejar anjing. Apalagi, jika yang mengejarnya adalah seekor anjing yang tengah mengidap penyakit gila alias anjing gila. Dalam situasi seperti ini, rekor nasional pun sepertinya bakal terpecahkan. Dan rasa takut akan sakitnya gigitan anjing serta ancaman penyakit rabies adalah dopingnya.
Pada tahun pertama di STIS, ancaman drop out (DO) karena nilai-nilai yang sama sekali jauh dari membanggakan adalah doping yang membuat kami, para anggota Einstan Community, tiba-tiba mendadak berubah menjadi mahasiswa yang gila belajar─spertinya kepala BPS bakal bangga jika melihat betapa meluap-luapnya semangat belajar kami saat itu.
Bayang-bayang bakal DO di tahun pertama telah membangkitkan rasa takut yang begitu hebat. Doping yang satu ini telah membuat kami onfire dan giat belajar seperti orang kesetanan. Entah berapa ratus lembar kertas buram dan berapa botol tinta spidol telah kami habiskan untuk membahas segala rupa soal mulai dari yang remeh hingga yang rumit setiap malamnya.
Bukan bermaksud sombong kawan, sepertinya ratusan soal Statistik Deskriptif, Kalkulas, Aljabar Linier, dan Teori Probabilita yang bertebaran di berbagai textbook karangan Anto Dajan, J.Supranto, Showkosky, Purcell, Howard Anton, Wallpole, dll telah kami babat habis. Dan sepertinya, hal inilah yang menjadi penyebab utama kepala Iskandar sedikit menipis seperti sekarang ini─mudah-mudahan ini tidak menjadi pengorbanan yang sia-sia kerena keputusannya yang bakal keluar dari BPS.
Markas Einstain Community, tempat dimana ratusan soal dari berbagai disiplin ilmu kami bedah, terletak di kosan Iskandar yang kami berinama kosan “Mas Didik”. Mas Didik adalah nama pemilik kosan tersebut. Seorang lelaki sedikit penyakitan dengan status pengangguran menurut konsep BPS. Mas Didik dan istrinya yang murah senyum itu, tidak─masih berusaha keras untuk─punya anak. Nampaknya, kerjasama apik dua sejoli ini belum membuahkan hasil hingga saat ini. Mudah-mudahan hal ini bukan karena aktivitas belajar kami setiap malamnya yang kerap kali mengganggu usaha mereka.
Selain komplotan para veteran, sisi lain yang menarik dari Einstain Community adalah bahwa kelompok belajar ini merupakan kolaborasi etnik yang menurut saya sedikit unik. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana riuhnya sebuah kelompok diskusi jika di dalamnya berafiliasi orang Medan dan Sulawesi.
Karena keasyikan belajar─setahu saya hanya sedikit mahasiswa STIS yang bisa menikmati gawean yang satu ini─kami sering lupa waktu. Terkadang, hangatnya diskusi terus berlangsung hingga larut malam, dan membuat kami lupa, kalau saat itu, sepasang suami-isteri di kamar sebelah yang hanya dipisahkan oleh dua lembar tripleks tipis dari kami yang brisik itu, punya agenda rutin yang harus dikerjakan sebelum tidur. Dan untuk merealisasikannya konon dibutuhkan sedikit konsentrasi─teman-teman yang sudah menikah tentu lebih paham soal yang satu ini.
Seingat saya, jika sudah di atas jam 9 malam, Mas Didik mulai menggerutu dari kamar sebelah. Terkadang, gerutuan tersebut diikuti bunyi hentakan yang sedikit mengagetkan pada dinding tripleks. Jika sudah demikian, kami bertiga mahfum bahwa hal tersebut adalah isyarat pengusiran secara tersirat, sinyal bahwa diskusi harus segera dihentikan dan kami berdua (saya dan Naja) harus segera angkat kaki.
Meskipun cukup cerdas untuk menangkap isyarat pengusiran secara halus, kami terkadang “buta hati” dan tidak peduli. Diskusi terus berlanjut, meskipun dengan volume suara yang sedikit diturunkan. Bahkan, Iskandar terkadang merespon sinyal tersebut dengan berucap “ bagudung, baguduuung” dengan nada yang sedikit tinggi. Tahukah kau kawan, kalau bagudung adalah bahasa Medan untuk hewan pengerat yang sering kita jumpai pada gang-gang dan selokan di daerah Kebon Nanas, yakni tikus besar. Entah siapa yang dia maksudkan dengan kata bagudung itu, mudah-mudahan bukan Mas Didik, Sang Empunya kosan.
Gambate kudasai
Teman-teman yang ketika kuliah Statistik Matematik (Statmat) I dan II diampu oleh Ibu Erni Tri Astusti tentu tahu betul akan kalimat yang satu ini. Kalimat yang kerap muncul setelah rentetan empat butir soal yang membuat jantung sebagian mahasiswa berdegup kencang ketika membacanya itu, spertinya berasal dari negeri Jepang ─bahasa Jepang persisnya, tempat dimana Sang Dosen, Bu Erni yang cerdas nan pandai itu menempuh pendidikan pasca sarjana untuk merengkuh gelar Master of Mathematics.
Nampaknya, pengalaman keras saat menempuh pendidikan di negeri yang baru saja porak-poranda akibat sapuan gelombang tsunami itu membuat soal-soal ujian dosen yang satu ini relatif sulit bagi sebagian mahasiswa, dan pastinya membuat kalimat “gambate kudasai” pada setiap lembar soal yang beliau buat mengalami pergeseran makna. Saya tidak tahu persis perihal terjemahan dari kalimat ini. Namun sepertinya, maknanya tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat lain yang biasa dijumpai pada lembar kertas soal ujian umumnya, semisal “good luck”, “selamat ujian”, “semoga sukses”, atau kalimat-kalimat lain yang maknanya positif dengan tujuan untuk memberikan sugesti positif kepada peserta ujian. Akan tetapi, rumitnya empat butir soal yang mendahului kalimat ini pada lembar soal ujian Statmat menjadikannya berubah makna dalam benak mahasiswa menjadi ....”you will die” atau “kamu bakal tamat”. Salah satu kawan yang pernah merasakan teror dari kalimat gambate kudasai adalah Iskandar.
Ambasador, bahkan Pasar Minggu
Statmat memang mata kuliah yang rumit dan memusingkan bagi mereka yang terlahir dengan bakat Aljabar-Matematika yang kurang bisa diandalkan. Tidak mengherankan kalau mata kuliah yang satu ini tergolong “hard science”. Dan bagi mereka yang menempuh pendidikan dalam bidang Statistika, menyelami kepelikan ilmu yang satu ini adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dimungkiri.
Di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), tempat dimana para calon ahli statistik Badan Pusat Statistik (BPS) ditempa ─sebagian dijerumuskan, Statmat merupakan mata kuliah inti bagi mahasiswa tahun kedua (Tingkat II). Keberadaannya sebagai mata kuliah inti menjadikannya sebagai batu sandungan dan momok yang paling ditakuti oleh mahasiswa. Secara statistik, mata kuliah ini merupakan salah satu penyebab utama gagalnya mahasiswa di tahun kedua.
Saat kuliah dulu, seikitar 50 orang teman saya harus mengikuti ujian perbaikan (her) Statmat I karena nilai akhir mereka yang tidak mencukupi syarat minimum untuk lulus. Di antara teman-teman yang mengikuti ujian her tersebut, sahabat saya Iskandar yang sepertinya sebentar lagi bakal kabur dari BPS itu termasuk di dalamnya─bayangan akan masa depan suram di Padang Lawas yang berjarak 16 jam perjalanan dari Medan nampaknya telah membelokkan niat dan merontokkan tekad kawan yang satu ini untuk berkarir di BPS─ dia menjadi satu-satunya anggota Einstain Community yang gagal.
Saat itu, saya dan Naja sepertinya sedikit beruntung. Dibilang sedikit beruntung karena sepertinya kami bisa selamat karena kekuatan doa-doa yang kami panjatkan. Tuhan yang Maha Pemurah memang selalu ada ketika dimintai pertolongan. Seingat saya, tidak seperti biasanya, dini hari sebelum ujian tengah semester Statmat I, dengan melawan rasa kantuk yang luar biasa, saya bangun untuk shalat tahujud. Selepas shalat, di 1/3 malam terakhir yang merupakan waktu paling mustajab untuk berdoa itu dengan penuh harap aku tengadahkan tangan kepada Dzat Yang Maha Pemurah yang menurut sabda Nabi saat itu tengah turun ke langit dunia, memohon agar diberi kelancaran pada ujian hari itu. Dan sepertinya yang dilakukan Naja juga demikian.
Waktu itu, lembar ujian kelas saya (2F) diperiksa oleh kelas 2E─ada teman yang begitu berkesan dan sulit dilupakan di kelas ini. Sebagaimana halnya sebelum ujian, dini hari ketika lembar ujian kelas saya akan diperiksa, saya bangun salat malam untuk memohon sedikit peruntungan kepada Dzat Yang Maha Pemurah. Saya tidak lagi ingat betul secara lengkap perihal redaksi doa yang saya panjatkan kala itu. Namun seingat saya, ketika itu saya memohon kepadanya agar yang memeriksa lembar ujian saya nantinya adalah orang yang saya kenal baik dan juga mengenal saya, serta orang yang baik dan murah hati.
Sebagai orang beriman, saya selalu yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita bukan proses kebetulan, tetapi atas kehendakNya. Termasuk ketika saya mengetahui bahwa akhirnya yang memeriksa lembar ujian saya adalah Iskandar, saya yakin dengan sepenuh hati bahwa Tuhan benar-benar telah menjawab doa saya. Entah Anda setuju atau tidak, menurut saya, peristiwa ini merupakan jastifikasi dariNya bahwa sahabat yang satu ini memang pribadi yang baik dan murah hati. Hatinya besar, lebih besar dari badannya yang tambun itu, bahkan lebih besar dari 80 persen gaji dan upah kinerja, serta tunjangan sebagai bendahara yang bakal diterimanya di BPS Padang Lawas.
Berkat doa yang mustajab itu, hasil ujian saya lumayan baik. Namun, tidak demikian halnya dengan Iskandar. Hasil ujian kawan yang satu ini rupanya beda tipis dengan nomor angkutan kota (angkot) jurusan Kampung Melayu-Ambasador (44) yang selalu lewat di depan kampus. Meskipun lumayan hancur, Iskandar patut bersyukur karena teman-teman yang hasil ujiannya lebih hancur ternyata lebih banyak.
Kawan saya yang satu lagi, Sang Vokalis band yang diberinama denga penyakit yang begitu menakutkan itu (Alzheimer), mendapatkan hasil ujian yang lebih miris. Di lembar ujiannya, tertera nilai yang sama persis dengan nomor angkot jurasan Kampung Melayu-Pasar Minggu, “16”. Meskipun sempat gagal saat audisi Indonesian Idol, kawan dari Lhoksemawe ini nampaknya lebih berbakat untuk menjadi seorang musisi ketimbang statistisi.
Bagi sebagian orang, sebuah pressure tak ubahnya bagaikan doping yang menggerakkan mereka untuk mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki sehingga terkadang bisa melakukan sesuatu melebihi batas kemampuan mereka. Seseorang bisa menjadi pelari hebat dan pemanjat ulung ketika dikejar anjing. Apalagi, jika yang mengejarnya adalah seekor anjing yang tengah mengidap penyakit gila alias anjing gila. Dalam situasi seperti ini, rekor nasional pun sepertinya bakal terpecahkan. Dan rasa takut akan sakitnya gigitan anjing serta ancaman penyakit rabies adalah dopingnya.
Pada tahun pertama di STIS, ancaman drop out (DO) karena nilai-nilai yang sama sekali jauh dari membanggakan adalah doping yang membuat kami, para anggota Einstan Community, tiba-tiba mendadak berubah menjadi mahasiswa yang gila belajar─spertinya kepala BPS bakal bangga jika melihat betapa meluap-luapnya semangat belajar kami saat itu.
Bayang-bayang bakal DO di tahun pertama telah membangkitkan rasa takut yang begitu hebat. Doping yang satu ini telah membuat kami onfire dan giat belajar seperti orang kesetanan. Entah berapa ratus lembar kertas buram dan berapa botol tinta spidol telah kami habiskan untuk membahas segala rupa soal mulai dari yang remeh hingga yang rumit setiap malamnya.
Bukan bermaksud sombong kawan, sepertinya ratusan soal Statistik Deskriptif, Kalkulas, Aljabar Linier, dan Teori Probabilita yang bertebaran di berbagai textbook karangan Anto Dajan, J.Supranto, Showkosky, Purcell, Howard Anton, Wallpole, dll telah kami babat habis. Dan sepertinya, hal inilah yang menjadi penyebab utama kepala Iskandar sedikit menipis seperti sekarang ini─mudah-mudahan ini tidak menjadi pengorbanan yang sia-sia kerena keputusannya yang bakal keluar dari BPS.
Markas Einstain Community, tempat dimana ratusan soal dari berbagai disiplin ilmu kami bedah, terletak di kosan Iskandar yang kami berinama kosan “Mas Didik”. Mas Didik adalah nama pemilik kosan tersebut. Seorang lelaki sedikit penyakitan dengan status pengangguran menurut konsep BPS. Mas Didik dan istrinya yang murah senyum itu, tidak─masih berusaha keras untuk─punya anak. Nampaknya, kerjasama apik dua sejoli ini belum membuahkan hasil hingga saat ini. Mudah-mudahan hal ini bukan karena aktivitas belajar kami setiap malamnya yang kerap kali mengganggu usaha mereka.
Selain komplotan para veteran, sisi lain yang menarik dari Einstain Community adalah bahwa kelompok belajar ini merupakan kolaborasi etnik yang menurut saya sedikit unik. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana riuhnya sebuah kelompok diskusi jika di dalamnya berafiliasi orang Medan dan Sulawesi.
Karena keasyikan belajar─setahu saya hanya sedikit mahasiswa STIS yang bisa menikmati gawean yang satu ini─kami sering lupa waktu. Terkadang, hangatnya diskusi terus berlangsung hingga larut malam, dan membuat kami lupa, kalau saat itu, sepasang suami-isteri di kamar sebelah yang hanya dipisahkan oleh dua lembar tripleks tipis dari kami yang brisik itu, punya agenda rutin yang harus dikerjakan sebelum tidur. Dan untuk merealisasikannya konon dibutuhkan sedikit konsentrasi─teman-teman yang sudah menikah tentu lebih paham soal yang satu ini.
Seingat saya, jika sudah di atas jam 9 malam, Mas Didik mulai menggerutu dari kamar sebelah. Terkadang, gerutuan tersebut diikuti bunyi hentakan yang sedikit mengagetkan pada dinding tripleks. Jika sudah demikian, kami bertiga mahfum bahwa hal tersebut adalah isyarat pengusiran secara tersirat, sinyal bahwa diskusi harus segera dihentikan dan kami berdua (saya dan Naja) harus segera angkat kaki.
Meskipun cukup cerdas untuk menangkap isyarat pengusiran secara halus, kami terkadang “buta hati” dan tidak peduli. Diskusi terus berlanjut, meskipun dengan volume suara yang sedikit diturunkan. Bahkan, Iskandar terkadang merespon sinyal tersebut dengan berucap “ bagudung, baguduuung” dengan nada yang sedikit tinggi. Tahukah kau kawan, kalau bagudung adalah bahasa Medan untuk hewan pengerat yang sering kita jumpai pada gang-gang dan selokan di daerah Kebon Nanas, yakni tikus besar. Entah siapa yang dia maksudkan dengan kata bagudung itu, mudah-mudahan bukan Mas Didik, Sang Empunya kosan.
Gambate kudasai
Teman-teman yang ketika kuliah Statistik Matematik (Statmat) I dan II diampu oleh Ibu Erni Tri Astusti tentu tahu betul akan kalimat yang satu ini. Kalimat yang kerap muncul setelah rentetan empat butir soal yang membuat jantung sebagian mahasiswa berdegup kencang ketika membacanya itu, spertinya berasal dari negeri Jepang ─bahasa Jepang persisnya, tempat dimana Sang Dosen, Bu Erni yang cerdas nan pandai itu menempuh pendidikan pasca sarjana untuk merengkuh gelar Master of Mathematics.
Nampaknya, pengalaman keras saat menempuh pendidikan di negeri yang baru saja porak-poranda akibat sapuan gelombang tsunami itu membuat soal-soal ujian dosen yang satu ini relatif sulit bagi sebagian mahasiswa, dan pastinya membuat kalimat “gambate kudasai” pada setiap lembar soal yang beliau buat mengalami pergeseran makna. Saya tidak tahu persis perihal terjemahan dari kalimat ini. Namun sepertinya, maknanya tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat lain yang biasa dijumpai pada lembar kertas soal ujian umumnya, semisal “good luck”, “selamat ujian”, “semoga sukses”, atau kalimat-kalimat lain yang maknanya positif dengan tujuan untuk memberikan sugesti positif kepada peserta ujian. Akan tetapi, rumitnya empat butir soal yang mendahului kalimat ini pada lembar soal ujian Statmat menjadikannya berubah makna dalam benak mahasiswa menjadi ....”you will die” atau “kamu bakal tamat”. Salah satu kawan yang pernah merasakan teror dari kalimat gambate kudasai adalah Iskandar.
Ambasador, bahkan Pasar Minggu
Statmat memang mata kuliah yang rumit dan memusingkan bagi mereka yang terlahir dengan bakat Aljabar-Matematika yang kurang bisa diandalkan. Tidak mengherankan kalau mata kuliah yang satu ini tergolong “hard science”. Dan bagi mereka yang menempuh pendidikan dalam bidang Statistika, menyelami kepelikan ilmu yang satu ini adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dimungkiri.
Di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), tempat dimana para calon ahli statistik Badan Pusat Statistik (BPS) ditempa ─sebagian dijerumuskan, Statmat merupakan mata kuliah inti bagi mahasiswa tahun kedua (Tingkat II). Keberadaannya sebagai mata kuliah inti menjadikannya sebagai batu sandungan dan momok yang paling ditakuti oleh mahasiswa. Secara statistik, mata kuliah ini merupakan salah satu penyebab utama gagalnya mahasiswa di tahun kedua.
Saat kuliah dulu, seikitar 50 orang teman saya harus mengikuti ujian perbaikan (her) Statmat I karena nilai akhir mereka yang tidak mencukupi syarat minimum untuk lulus. Di antara teman-teman yang mengikuti ujian her tersebut, sahabat saya Iskandar yang sepertinya sebentar lagi bakal kabur dari BPS itu termasuk di dalamnya─bayangan akan masa depan suram di Padang Lawas yang berjarak 16 jam perjalanan dari Medan nampaknya telah membelokkan niat dan merontokkan tekad kawan yang satu ini untuk berkarir di BPS─ dia menjadi satu-satunya anggota Einstain Community yang gagal.
Saat itu, saya dan Naja sepertinya sedikit beruntung. Dibilang sedikit beruntung karena sepertinya kami bisa selamat karena kekuatan doa-doa yang kami panjatkan. Tuhan yang Maha Pemurah memang selalu ada ketika dimintai pertolongan. Seingat saya, tidak seperti biasanya, dini hari sebelum ujian tengah semester Statmat I, dengan melawan rasa kantuk yang luar biasa, saya bangun untuk shalat tahujud. Selepas shalat, di 1/3 malam terakhir yang merupakan waktu paling mustajab untuk berdoa itu dengan penuh harap aku tengadahkan tangan kepada Dzat Yang Maha Pemurah yang menurut sabda Nabi saat itu tengah turun ke langit dunia, memohon agar diberi kelancaran pada ujian hari itu. Dan sepertinya yang dilakukan Naja juga demikian.
*****
Cara Bu Erni dalam memeriksa lembar ujian Statmat boleh dibilang sedikit unik. Entah karena kewalahan harus memeriksa lembar ujian seluruh mahasiswa dari enam kelas yang diajarnya atau karena pertimbangan lain, kala itu, lembar ujian kelas yang satu diperiksa oleh kelas yang lain. Cara seperti ini ada untung juga ruginya. Keuntungannya adalah antar teman kita bisa saling membantu dalam kadar yang wajar, meskipun hasilnya masih diverifikasi lagi oleh Bu Erni. Adapun kerugiannya, selain idealisme dan objektivitas teman-teman yang kelewat tinggi sehingga menjadikan mereka pelit dan saklek dalam memberi nilai, juga menyangkut rasa malu dan pertaruhan harga diri. Saya kira semua orang bakal malu ketika hasil ujiannya yang “hancur” dipublish ke khalayak ramai.Waktu itu, lembar ujian kelas saya (2F) diperiksa oleh kelas 2E─ada teman yang begitu berkesan dan sulit dilupakan di kelas ini. Sebagaimana halnya sebelum ujian, dini hari ketika lembar ujian kelas saya akan diperiksa, saya bangun salat malam untuk memohon sedikit peruntungan kepada Dzat Yang Maha Pemurah. Saya tidak lagi ingat betul secara lengkap perihal redaksi doa yang saya panjatkan kala itu. Namun seingat saya, ketika itu saya memohon kepadanya agar yang memeriksa lembar ujian saya nantinya adalah orang yang saya kenal baik dan juga mengenal saya, serta orang yang baik dan murah hati.
Sebagai orang beriman, saya selalu yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita bukan proses kebetulan, tetapi atas kehendakNya. Termasuk ketika saya mengetahui bahwa akhirnya yang memeriksa lembar ujian saya adalah Iskandar, saya yakin dengan sepenuh hati bahwa Tuhan benar-benar telah menjawab doa saya. Entah Anda setuju atau tidak, menurut saya, peristiwa ini merupakan jastifikasi dariNya bahwa sahabat yang satu ini memang pribadi yang baik dan murah hati. Hatinya besar, lebih besar dari badannya yang tambun itu, bahkan lebih besar dari 80 persen gaji dan upah kinerja, serta tunjangan sebagai bendahara yang bakal diterimanya di BPS Padang Lawas.
Berkat doa yang mustajab itu, hasil ujian saya lumayan baik. Namun, tidak demikian halnya dengan Iskandar. Hasil ujian kawan yang satu ini rupanya beda tipis dengan nomor angkutan kota (angkot) jurusan Kampung Melayu-Ambasador (44) yang selalu lewat di depan kampus. Meskipun lumayan hancur, Iskandar patut bersyukur karena teman-teman yang hasil ujiannya lebih hancur ternyata lebih banyak.
Kawan saya yang satu lagi, Sang Vokalis band yang diberinama denga penyakit yang begitu menakutkan itu (Alzheimer), mendapatkan hasil ujian yang lebih miris. Di lembar ujiannya, tertera nilai yang sama persis dengan nomor angkot jurasan Kampung Melayu-Pasar Minggu, “16”. Meskipun sempat gagal saat audisi Indonesian Idol, kawan dari Lhoksemawe ini nampaknya lebih berbakat untuk menjadi seorang musisi ketimbang statistisi.
Komentar
Posting Komentar