Bagi mahasiswa STIS tingkat akhir, Ujian Komprehensif atau biasa disingkat kompre merupakan salah satu rintangan yang harus dilalui untuk meraih gelar Sarjana Sains Terapan (SST), sebuah tiket untuk merasakan nikmat bekerja di BPS dengan gaji dan upah kinerja yang cukup lumayan.
Ujian yang terdiri dari 50 soal pilihan ganda itu seringkali menjadi momok dan batu sandungan bagi mahasiswa tingkat akhir, terutama bagi mereka, yang ibarat main game Zuma, nyawanya tinggal satu karena pernah tinggal kelas. Meskipun, jumlah mahasiswa yang gagal diwisuda karena perkara yang satu ini sebetulnya sangat sedikit, malah kalau boleh dibilang hampir tidak ada, tetapi tetap saja kompre memberikan presurre yang cukup kuat bagi sebagian mahasiswa. Saya melihat perkara yang satu ini sebagai drama yang cukup menegangkan.
Kata “sulit” memang sangat relatif. Sulit bagi Si A belum tentu sulit bagi Si B. Dalam hal ini, bisa mudah atau malah lebih sulit. Begitu pula ketika kita mengatakan bahwa untuk lulus kompre adalah sesuatu yang sulit, mungkin ada banyak teman yang akan menyanggahnya, terutama mereka yang terlahir dengan kecerdasan yang meluap-luap dan bakat Statistik yang hebat. Namun, saya sangat yakin kalau sebagian besar mahasiswa yang pernah ikut kompre setuju dengan saya, bahwa bisa menjawab minamal 28 butir soal dengan benar saat kompre adalah sesuatu yang tidak mudah, alias sulit.
Data merupakan alat yang paling ampuh untuk melepaskan diri dari subjektivitas, karena penilaian dan kesimpulan yang dibangun berdasarkan data biasanya benar-benar objektif. Meskipun tidak melulu demikian, karena data seringkali dapat dimanipulasi, bahkan direkayasa untuk kepentingan tertentu─teman-teman tentu pernah membaca sebuah buku yang berjudul ”How to Lie with Statistic”? Jika belum, saya sarankan Anda untuk segera membacanya. Dalam tulisan ini, saya akan menyajikan sejumlah data terkait kompre untuk menguatkan proposisi yang telah saya bangun sebelumnya: ujian kompre adalah sesuatu yang sulit.
Ketika saya kuliah dulu, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti Ujian Her (perbaikan) karena hasil ujian kompre yang tidak memenuhi syarat minimum untuk lulus cukup banyak. Kalau tidak salah, sekitar 80 orang atau sekitar 26 persen dari total mahasiswa tingkat IV. Itupun dengan catatan, standard minimum kelulusan yang digunakan telah dikoreksi─diturunkan mungkin lebih tepatnya. Jika tidak demikian, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti ujian perbaikan pastinya akan lebih banyak. Dan seandainya tidak beruntung, saya sepertinya juga akan termasuk di dalamnya─orang beruntung memang selalu mengalahkan orang pintar.
Tahun ini, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti Ujian Perbaikan Kompre lebih banyak lagi. Berdasarkan data yang saya dapatkan, ada sekitar 149 orang mahasiswa atau sekitar 50 persen dari total mahasiswa tingkat IV. Bahkan, di jurusan komputasi, dari sekian banyak mahasiswa hanya ada 9 orang yang lulus. Jika bukan karena benar-benar hebat, mereka pastilah orang-orang yang dinaungi keberuntungan. Dan kuat duguaan saya, sebagian besar dari mereka adalah perempuan─di STIS, kaum lelaki adalah inferior di tengah superioritas kaum perempuan dalam ranah akademik. Ibu Kartini yang kini namanya telah berubah menjadi Harum pasti akan sangat bangga. Salam emansipasi.
Apa yang terjadi tahun ini nampaknya bisa menjadi topik skripsi yang cukup menarik bagi mahasiswa tingkat III yang sebentar lagi bakal naik ke tingkat IV. Konon, mencarai topik skripsi yang bisa di-aproof cukup sulit. Tidak kalah sulitnya dengan ujian kompre. Dan menurut saya, judul yang pas untuk topik skripsi perihal masalah yang satu ini adalah “Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Mahasiswa Tingkat IV Angkatan 49 dalam Ujian Komprehensif”. Metode statistik yang dapat digunakan dalam kasus ini adalah analisis faktor dan atau regresi logistik. Metode yang terakhir ini setahu saya adalah primadona di STIS, khususnya bagi teman-teman jurusan sosial kependudukan.
Agar lebih terasa statistiknya, teknik pengumpulan datanya sebaiknya menggunakan survei sampling (probabilty sampling) agar inferensia yang dihasilkan benar-benar valid. Desain sampling yang dapat digunakan adalah stratified systematic sampling, dimana penarikan sampel dilakukan secara sistematik pada masing-masing strata (KS, SE, dan SK), dan jumlah minimum sample size pada setiap strata ditentukan dengan menggunakan rumus yang sodorkan oleh Neyman berdasarkan informasi proporsi mahasiswa yang gagal kompre pada masing-masing strata. Untuk ketersedian kerangka sampel (sample frame), BAAK dan Jurusan sepertinya dapat diandalkan.
Selain merupakan topik skripsi yang cukup menarik, fenomena banyaknya mahasiswa yang harus mengikuti her kompre, menurut saya, merupakan cermin bahwa tingkat penguasaan atau pemahaman mahasiswa tingkat IV terhadap ilmu statistik yang telah mereka geluti selama sekian tahun patut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, sepertinya mereka belum layak untuk menyandang gelar statistisi, jabatan yang bakal mereka sandang ketika bekerja sebagai PNS Gol IIIA di BPS nanti. Saya katakan demikian, karena sebagian besar butir soal yang diujikan dalam kompre adalah materi statistika (statdesk, probabilita, metstat, sampling, dan statmat).
Mengapa ada begitu banyak mahasiswa yang her? Apakah mereka semua bodoh? Saya kira jawabannya tidak demikian. Mereka adalah orang-orang pilihan dari berbagai sudut Nusantara dengan kecerdasan yang meluap-luap. Mereka qualified untuk menjalani pendidikan di STIS karena telah lulus seleksi yang cukup ketat. Terkait kegagalan dalam ujian kompre, saya melihat sebagian besar dari mereka sebenarnya hanyalah korban dari suatu proses pendidikan yang perlu dikoreksi. Benih padi yang hybrid (unggul) pun akan menghasilkan panen yang mengecewakan jika tidak diurus dengan benar.
Ketika saat SMA di kampung dulu, guru saya pernah bertutur ”Jika ada banyak siswa yang tidak lulus ujian, hal ini bisa disebabkan oleh siswanya yang kurang pandai dan atau gurunya yang tidak mampu membuat siswanya menjadi pandai”. Untuk kasus kompre di atas, saya melihat faktor pengajar yang tidak mampu membuat mahasiswa menjadi pandai statistika lebih dominan. Menurut saya, kepandaian seseorang setidaknya merupakan fungsi dari pengajaran dan kecerdasan. Orang yang cukup cerdas akan menjadi pandai dalam suatu disiplin ilmu jika diajar dengan benar. Kecerdasan mahasiswa STIS adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi.Tetapi, apakah mereka telah diajar statistika dengan proses pengajaran yang bisa membuat mereka menjadi pandai statistika? Jawabannya tentu meragukan. Bahkan, sebagai alumni yang pernah mengenyam pendidikan di STIS, saya kontan akan menjawab tidak.
Ketika tingkat I dulu, saya pernah diajar Probabilita oleh seorang dosen yang menurut saya sama sekali tidak memiliki kebanggaan dan dedikasi terhadap STIS. Bagaimana tidak. Di depan kami para mahasiswa, Sang Dosen tersebut mengoceh kalau keputusan teman-teman yang lebih memilih STIS ketimbang perguruan tinggi negeri lain sekelas UGM, misalnya ─sudah menjadi rahasia umum, kalau sebagian besar mahasiswa STIS juga diterima di PTN lain selain STIS ─adalah sebuah keputusan yang benar-benar bodoh dan keliru. Seolah, keputusan itu akan berujung pada masa depan yang benar-benar suram. Bahkan, menurut saya, dosen tersebut secara tidak langsungtelah mendoktrin para mahasiswa untuk kabur secepatnya dari STIS sebelum terlambat.
Rasanya, sangat tidak mungkin seorang mahasiswa bakal mendapatkan passion, apa lagi jatuh cinta pada Probabilita(statistika) jika diajar oleh dosen model demikian─orang bilang, kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda. Dan ini, hanya salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang bisa saya sajikan. Selama sekian tahun belajar statistika dengan berbagai variannya di STIS, jujur saya katakan bahwa banyak dosen mengajar tanpa keikhlasan dan kesungguhan hati. Sebagian besar mereka, sepertinya mengajar bukan karena panggilan jiwa dan cenderung ogah-ogahan. Teman-teman tentu pernah merasakan ketika tiga pertemuan (9 sesi) suatu mata kuliah dirapel dalam sehari secara maraton.Sesuatu yang menurut saya sangat tidak masuk akal. Proses belajar dengan cara seperti ini, menurut saya, ibarat menyiram air di atas pasir. Sudah barang tentu sangat tidak efektif. Mungkin karena kebiasaan belajar statistika menyebabkan mereka terlalu mudah membuat asumsi, sehingga dengan begitu mudahnya mereka mengasumsikan bahwa kecerdasan semua mahasiswa STIS di atas rata-rata, diajar sedikit saja sudah pasti paham.
Dalam tulisan Prof. Andi Hakim Nasution─saya lupa judulnya─ Sang Dedenggot dan Icon Statistika dari Kampus Darmaga itu, ada sebuah kutipan yang menurut saya menarik dan relevan dengan masalah ini. Dalam tulisannya, beliau mengutip kata-kata dari seorang gura Matematika di sekolah Belanda. Kutipan tersebut berbunyi “Jika ketika Anda mengajar Matematika, semua siswa Anda menjadi benci terhadapa Matematika, berarti pada dasarnya Anda juga benci terhadap Matematika”. Pesan yang bisa diambil dari kutipan yang singkat ini adalah seorang dosen hendaknya mengejar dengan rasa cinta terhadap ilmu yang diajarkan. Sesuatu yang pasti jarang saya dan Anda jumpai di STIS. Rasa cinta ini akan menelurkan dedikasi, kesungguhan, dan keikhlasan hati. Dengan rasa cinta ini pula akan mendorong Sang Dosen untuk membuat sesuatu yang sulit menjadi terasa mudah, karena pada dasarnya dia ingin menularkan rasa cinta tersebut kepada murid-muridnya. Dia akan berupaya sepenuh hati menjadikan mereka paham dan pandai akan ilmu yang diajarkan.
Ujian yang terdiri dari 50 soal pilihan ganda itu seringkali menjadi momok dan batu sandungan bagi mahasiswa tingkat akhir, terutama bagi mereka, yang ibarat main game Zuma, nyawanya tinggal satu karena pernah tinggal kelas. Meskipun, jumlah mahasiswa yang gagal diwisuda karena perkara yang satu ini sebetulnya sangat sedikit, malah kalau boleh dibilang hampir tidak ada, tetapi tetap saja kompre memberikan presurre yang cukup kuat bagi sebagian mahasiswa. Saya melihat perkara yang satu ini sebagai drama yang cukup menegangkan.
Kata “sulit” memang sangat relatif. Sulit bagi Si A belum tentu sulit bagi Si B. Dalam hal ini, bisa mudah atau malah lebih sulit. Begitu pula ketika kita mengatakan bahwa untuk lulus kompre adalah sesuatu yang sulit, mungkin ada banyak teman yang akan menyanggahnya, terutama mereka yang terlahir dengan kecerdasan yang meluap-luap dan bakat Statistik yang hebat. Namun, saya sangat yakin kalau sebagian besar mahasiswa yang pernah ikut kompre setuju dengan saya, bahwa bisa menjawab minamal 28 butir soal dengan benar saat kompre adalah sesuatu yang tidak mudah, alias sulit.
Data merupakan alat yang paling ampuh untuk melepaskan diri dari subjektivitas, karena penilaian dan kesimpulan yang dibangun berdasarkan data biasanya benar-benar objektif. Meskipun tidak melulu demikian, karena data seringkali dapat dimanipulasi, bahkan direkayasa untuk kepentingan tertentu─teman-teman tentu pernah membaca sebuah buku yang berjudul ”How to Lie with Statistic”? Jika belum, saya sarankan Anda untuk segera membacanya. Dalam tulisan ini, saya akan menyajikan sejumlah data terkait kompre untuk menguatkan proposisi yang telah saya bangun sebelumnya: ujian kompre adalah sesuatu yang sulit.
Ketika saya kuliah dulu, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti Ujian Her (perbaikan) karena hasil ujian kompre yang tidak memenuhi syarat minimum untuk lulus cukup banyak. Kalau tidak salah, sekitar 80 orang atau sekitar 26 persen dari total mahasiswa tingkat IV. Itupun dengan catatan, standard minimum kelulusan yang digunakan telah dikoreksi─diturunkan mungkin lebih tepatnya. Jika tidak demikian, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti ujian perbaikan pastinya akan lebih banyak. Dan seandainya tidak beruntung, saya sepertinya juga akan termasuk di dalamnya─orang beruntung memang selalu mengalahkan orang pintar.
Tahun ini, jumlah mahasiswa yang harus mengikuti Ujian Perbaikan Kompre lebih banyak lagi. Berdasarkan data yang saya dapatkan, ada sekitar 149 orang mahasiswa atau sekitar 50 persen dari total mahasiswa tingkat IV. Bahkan, di jurusan komputasi, dari sekian banyak mahasiswa hanya ada 9 orang yang lulus. Jika bukan karena benar-benar hebat, mereka pastilah orang-orang yang dinaungi keberuntungan. Dan kuat duguaan saya, sebagian besar dari mereka adalah perempuan─di STIS, kaum lelaki adalah inferior di tengah superioritas kaum perempuan dalam ranah akademik. Ibu Kartini yang kini namanya telah berubah menjadi Harum pasti akan sangat bangga. Salam emansipasi.
Apa yang terjadi tahun ini nampaknya bisa menjadi topik skripsi yang cukup menarik bagi mahasiswa tingkat III yang sebentar lagi bakal naik ke tingkat IV. Konon, mencarai topik skripsi yang bisa di-aproof cukup sulit. Tidak kalah sulitnya dengan ujian kompre. Dan menurut saya, judul yang pas untuk topik skripsi perihal masalah yang satu ini adalah “Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Mahasiswa Tingkat IV Angkatan 49 dalam Ujian Komprehensif”. Metode statistik yang dapat digunakan dalam kasus ini adalah analisis faktor dan atau regresi logistik. Metode yang terakhir ini setahu saya adalah primadona di STIS, khususnya bagi teman-teman jurusan sosial kependudukan.
Agar lebih terasa statistiknya, teknik pengumpulan datanya sebaiknya menggunakan survei sampling (probabilty sampling) agar inferensia yang dihasilkan benar-benar valid. Desain sampling yang dapat digunakan adalah stratified systematic sampling, dimana penarikan sampel dilakukan secara sistematik pada masing-masing strata (KS, SE, dan SK), dan jumlah minimum sample size pada setiap strata ditentukan dengan menggunakan rumus yang sodorkan oleh Neyman berdasarkan informasi proporsi mahasiswa yang gagal kompre pada masing-masing strata. Untuk ketersedian kerangka sampel (sample frame), BAAK dan Jurusan sepertinya dapat diandalkan.
Selain merupakan topik skripsi yang cukup menarik, fenomena banyaknya mahasiswa yang harus mengikuti her kompre, menurut saya, merupakan cermin bahwa tingkat penguasaan atau pemahaman mahasiswa tingkat IV terhadap ilmu statistik yang telah mereka geluti selama sekian tahun patut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, sepertinya mereka belum layak untuk menyandang gelar statistisi, jabatan yang bakal mereka sandang ketika bekerja sebagai PNS Gol IIIA di BPS nanti. Saya katakan demikian, karena sebagian besar butir soal yang diujikan dalam kompre adalah materi statistika (statdesk, probabilita, metstat, sampling, dan statmat).
Mengapa ada begitu banyak mahasiswa yang her? Apakah mereka semua bodoh? Saya kira jawabannya tidak demikian. Mereka adalah orang-orang pilihan dari berbagai sudut Nusantara dengan kecerdasan yang meluap-luap. Mereka qualified untuk menjalani pendidikan di STIS karena telah lulus seleksi yang cukup ketat. Terkait kegagalan dalam ujian kompre, saya melihat sebagian besar dari mereka sebenarnya hanyalah korban dari suatu proses pendidikan yang perlu dikoreksi. Benih padi yang hybrid (unggul) pun akan menghasilkan panen yang mengecewakan jika tidak diurus dengan benar.
Ketika saat SMA di kampung dulu, guru saya pernah bertutur ”Jika ada banyak siswa yang tidak lulus ujian, hal ini bisa disebabkan oleh siswanya yang kurang pandai dan atau gurunya yang tidak mampu membuat siswanya menjadi pandai”. Untuk kasus kompre di atas, saya melihat faktor pengajar yang tidak mampu membuat mahasiswa menjadi pandai statistika lebih dominan. Menurut saya, kepandaian seseorang setidaknya merupakan fungsi dari pengajaran dan kecerdasan. Orang yang cukup cerdas akan menjadi pandai dalam suatu disiplin ilmu jika diajar dengan benar. Kecerdasan mahasiswa STIS adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi.Tetapi, apakah mereka telah diajar statistika dengan proses pengajaran yang bisa membuat mereka menjadi pandai statistika? Jawabannya tentu meragukan. Bahkan, sebagai alumni yang pernah mengenyam pendidikan di STIS, saya kontan akan menjawab tidak.
Ketika tingkat I dulu, saya pernah diajar Probabilita oleh seorang dosen yang menurut saya sama sekali tidak memiliki kebanggaan dan dedikasi terhadap STIS. Bagaimana tidak. Di depan kami para mahasiswa, Sang Dosen tersebut mengoceh kalau keputusan teman-teman yang lebih memilih STIS ketimbang perguruan tinggi negeri lain sekelas UGM, misalnya ─sudah menjadi rahasia umum, kalau sebagian besar mahasiswa STIS juga diterima di PTN lain selain STIS ─adalah sebuah keputusan yang benar-benar bodoh dan keliru. Seolah, keputusan itu akan berujung pada masa depan yang benar-benar suram. Bahkan, menurut saya, dosen tersebut secara tidak langsungtelah mendoktrin para mahasiswa untuk kabur secepatnya dari STIS sebelum terlambat.
Rasanya, sangat tidak mungkin seorang mahasiswa bakal mendapatkan passion, apa lagi jatuh cinta pada Probabilita(statistika) jika diajar oleh dosen model demikian─orang bilang, kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda. Dan ini, hanya salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang bisa saya sajikan. Selama sekian tahun belajar statistika dengan berbagai variannya di STIS, jujur saya katakan bahwa banyak dosen mengajar tanpa keikhlasan dan kesungguhan hati. Sebagian besar mereka, sepertinya mengajar bukan karena panggilan jiwa dan cenderung ogah-ogahan. Teman-teman tentu pernah merasakan ketika tiga pertemuan (9 sesi) suatu mata kuliah dirapel dalam sehari secara maraton.Sesuatu yang menurut saya sangat tidak masuk akal. Proses belajar dengan cara seperti ini, menurut saya, ibarat menyiram air di atas pasir. Sudah barang tentu sangat tidak efektif. Mungkin karena kebiasaan belajar statistika menyebabkan mereka terlalu mudah membuat asumsi, sehingga dengan begitu mudahnya mereka mengasumsikan bahwa kecerdasan semua mahasiswa STIS di atas rata-rata, diajar sedikit saja sudah pasti paham.
Dalam tulisan Prof. Andi Hakim Nasution─saya lupa judulnya─ Sang Dedenggot dan Icon Statistika dari Kampus Darmaga itu, ada sebuah kutipan yang menurut saya menarik dan relevan dengan masalah ini. Dalam tulisannya, beliau mengutip kata-kata dari seorang gura Matematika di sekolah Belanda. Kutipan tersebut berbunyi “Jika ketika Anda mengajar Matematika, semua siswa Anda menjadi benci terhadapa Matematika, berarti pada dasarnya Anda juga benci terhadap Matematika”. Pesan yang bisa diambil dari kutipan yang singkat ini adalah seorang dosen hendaknya mengejar dengan rasa cinta terhadap ilmu yang diajarkan. Sesuatu yang pasti jarang saya dan Anda jumpai di STIS. Rasa cinta ini akan menelurkan dedikasi, kesungguhan, dan keikhlasan hati. Dengan rasa cinta ini pula akan mendorong Sang Dosen untuk membuat sesuatu yang sulit menjadi terasa mudah, karena pada dasarnya dia ingin menularkan rasa cinta tersebut kepada murid-muridnya. Dia akan berupaya sepenuh hati menjadikan mereka paham dan pandai akan ilmu yang diajarkan.
Komentar
Posting Komentar