Pada tahun 2008, saya mendapat kesempatan berharga untuk mendampingi teman-teman STIS berlaga di kompetisi Statistika tingkat nasional di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Kompetisi yang bertajuk “The 4th Statistika Ria” itu mempertemukan mahasiswa-mahasiswa jurusan Statistika dari berbagai kampus di Pulau Jawa─nampaknya, mereka adalah yang terbaik dijurusannya masing-masing─ seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai tuan rumah, Universitas Gadjah Mada(UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara (UBINUS), dll. Kalau tidak salah, kala itu, sekitar 54 orang mahasiswa yang berasal dari 16 perguruan tinggi unjuk gigi dalam kompetisi tersebut, dan STIS adalah satu-satunya perguruan tinggi dengan status “sekolah tinggi”.
Sekolah Sensus
Jika dibandingkan dengan kampus sekelas IPB, ITS, atau UGM, sudah barang tentu STIS tidak ada apa-apanya, jauh kalah pamor dan kalah menterang pastinya─kelak, kusadari statement ini ternyata hanyalah sebuah hipotesis nul yang pada akhirnya tertolak pada taraf nyata sekecil apapun─kampus kecil di Otista itu, tidak banyak dikenal orang. Jika Anda pernah mengotak-atik aplikasi “Jakarta Map” edisi 2005 ke bawah untuk mengetahui lokasi tempat tertentu di Jakarta, Anda akan menjumpai kenyataan miris bahwa STIS belum terpetakan. Bahkan, saya pernah membaca sebuah berita di sebuah koran yang cukup terkenal─khususnya bagi para makelar─ “Pos Kota” persisinya, tentang sebuah kecelakaan naas yang terjadi di Jalan Otista Raya, di koran tersebut tertulis bahwa telah terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas dengan korban tewas di Jalan Otista, lokasinya dekat “Sekolah Sensus”. Barangkali yang dimaksud oleh penulis berita dengan Sekolah Sensus adalah STIS. Salah penyebutan memang sering terjadi pada sesuatu yang kurang dikenal.
Jujur kukutakan, saat itu, teman-teman dari Otista datang ke Dermaga Bogor tanpa sebuah nama besar yang bisa dibanggakan. Bahkan, mereka datang berlomba tanpa mengenakkan seragam kebesaran biru-biru mereka. Seragam yang kelak akan menggetarkan nyali setiap lawan pada berbagai ajang kompotesi statistika tingkat nasional di tahun-tahun selanjutnya, bukan karena tubuh kekar nan gagah yang dibalut oleh seregam tersebut, melainkan oleh kecerdesan yang meluap-luap dalam batok kepala dari tubuh yang dibungkus oleh seragam tersebut. Kurang pede dan sedikit canggung di tengah kepungan lawan dari berbagai universitas ternama, kurang lebih, itulah yang teman-teman rasakan kala itu.
Meruntuhkan Dominasi IPB
Sebagai event tahunan, Statistika Ria telah diselenggarakan sejak 2005, dan tahun 2008 adalah kali yang ke-4. Kebesaran tuan rumah IPB dalam event ini begitu melambung. Betapa tidak, selama tiga tahun berturut -turut, kampus yang mengklaim diri sebagai salah satu kiblat perstatistikan nasional itu─untuk yang satu ini memang benar adanya─ selalu merajai, gelar juara perseorangan dan juara umum (tim) selalu disabet oleh mereka. Dominasi mereka selama tiga tahun berturut-turut benar-benar tak tergoyahkan. Menurut informasi yang saya dapatkan, sebelum tahun 2008, STIS sebenarnya pernah sekali mengrimkan wakilnya untuk berkompetisi, namun karena persiapan yang minim wakil STIS langsung rontok di babak penyisihan.
Dominasi IPB selama tiga tahun terakhir yang tak tertandingi itu, tak dinyana rontok pada tahun 2008. Pada tahun itu, secara mengejutkan teman-teman dari STIS yang semula tidak diperhitungkan tiba-tiba muncul sebagai kuda hitam. Dengan gilang-gemilang , tim STIS kala itu berhasil menyabet gelar juara perseorangan dan juara umum, serta memboyong trofi Andi Hakim Nasution yang telah tiga tahun bersemayan di Kampus IPB-Bogor ke Otista, ke Sekolah Sensus yang kurang dikenal itu.
STIS, Dimana ya?
Ibarat sebuah tim sepakbola dalam sebuah kejuaraan, STIS adalah tim underdog, tak diperhitungkan dan sekedar penggembira. Mungkin di mata para peserta lain, kala itu, tim STIS sama sekali tidak memiliki kans untuk menjadi juara. Jujur kukatakan kepadamu kawan, sepertinya banyak di antara peserta lomba saat itu yang sama sekali tidak mengenal STIS. Dan ada sebuah cerita menarik terkait hal ini. Sebelum mengikuti acara pembukaan di depan Auditorium Andi Hakim Nasution, seorang teman diajak berkenalan oleh seorang peserta lomba dari perguruan tinggi lain─spertinya peserta yang satu ini berasal dari perguruan tinggi yang lebih tidak terkenal lagi dibanding STIS─ ketika menyebut asal perguruan tingginya dari STIS, yang mengajak kenalan spontan bertanya, “STIS di mana ya?”. Pesan yang bisa kita tangkap dari pertanyaan ini kurang lebih sama dengan kasus “Sekolah Sensus” di atas, STIS adalah sebuah kampus kecil tanpa nama besar.
Jayalah STIS
Salah satu kelemahan mendasar dari STIS adalah kultur dan tradisi akedemik yang lemah. Maklum, fokus dari pendidikan di kampus ini adalah mencetak calon birokrat/PNS yang akan mengabdi di lingkungan BPS, bukan untuk mencetak akademisi, peneliti, apalagi ilmuwan. Fokus utama sebagian besar mahasiswa STIS ketika belajar adalah mengejar indeks prestasi setinggi mungkin, memburu ranking agar tidak tercecer jauh saat penempatan. Di STIS, Kata “Indonesia Timur” telah membuat sebagian besar mahasiswa putri─khususnya yang berasal dari Jawa─lebih senang menatap buku ketimbang televisi.
Meskipun tidak memiliki kultur dan tradisi keilmuan yang kuat, STIS telah membuktikan diri sebagia perguruan tinggi yang tidak bisa dipandang remah dalam ranah Statistika. Di kancah nasional, STIS bukanlan kacangan. Kendati hanya sebuah sekolah tinggi, mahasiswa STIS telah membuktikan kedigdayaannya dalam berbagai ajang kompetisi Statistika tingkat nasional. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang telah disaring melalui proses seleksi yang cukup ketat dengan bakat logic-mathematics yang meluap-luap. Di jaman saya dulu, konon katanya, saya harus bersaing dengan belasan ribu peserta untuk dapat menjadi mahasiswa STIS. Bahkan, berdasarkan informasi terbaru yang saya terima, tahun ini, setiap orang harus bersaing dengan sekitar 28.000 calon mahasiswa untuk mendapatkan kesempatan kuliah gratis dengan uang saku yang cukup lumayan.
Sejak Statistika Ria yang ke-4, STIS dan IPB selalu bersaing ketat hingga saat ini. Bahkan, menurut saya, STIS telah menggeser dominisai IPB di ajang bergengsi tersebut. Prestasi STIS terkini yang sangat membanggakan adalah meraih juara I dalam Olimpiade Nasional Statistika yang diselanggarakan di UGM. Dalam ajang tersebut, STIS berhasil mengalahkan perguruan-perguruan tinggi terkenal sekelas UGM, IPB, dan ITS. Sebuah prestasi yang sudah barang tentu sangat membanggakan.
Karena itu, sudah sepantasnya saya dan Anda yang pernah atau sedang berkuliah di STIS untuk bangga dengan kampus yang pernah melahirkan mentri sekelas Haryono Suyono itu....Jayalah STIS.
Sekolah Sensus
Jika dibandingkan dengan kampus sekelas IPB, ITS, atau UGM, sudah barang tentu STIS tidak ada apa-apanya, jauh kalah pamor dan kalah menterang pastinya─kelak, kusadari statement ini ternyata hanyalah sebuah hipotesis nul yang pada akhirnya tertolak pada taraf nyata sekecil apapun─kampus kecil di Otista itu, tidak banyak dikenal orang. Jika Anda pernah mengotak-atik aplikasi “Jakarta Map” edisi 2005 ke bawah untuk mengetahui lokasi tempat tertentu di Jakarta, Anda akan menjumpai kenyataan miris bahwa STIS belum terpetakan. Bahkan, saya pernah membaca sebuah berita di sebuah koran yang cukup terkenal─khususnya bagi para makelar─ “Pos Kota” persisinya, tentang sebuah kecelakaan naas yang terjadi di Jalan Otista Raya, di koran tersebut tertulis bahwa telah terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas dengan korban tewas di Jalan Otista, lokasinya dekat “Sekolah Sensus”. Barangkali yang dimaksud oleh penulis berita dengan Sekolah Sensus adalah STIS. Salah penyebutan memang sering terjadi pada sesuatu yang kurang dikenal.
Jujur kukutakan, saat itu, teman-teman dari Otista datang ke Dermaga Bogor tanpa sebuah nama besar yang bisa dibanggakan. Bahkan, mereka datang berlomba tanpa mengenakkan seragam kebesaran biru-biru mereka. Seragam yang kelak akan menggetarkan nyali setiap lawan pada berbagai ajang kompotesi statistika tingkat nasional di tahun-tahun selanjutnya, bukan karena tubuh kekar nan gagah yang dibalut oleh seregam tersebut, melainkan oleh kecerdesan yang meluap-luap dalam batok kepala dari tubuh yang dibungkus oleh seragam tersebut. Kurang pede dan sedikit canggung di tengah kepungan lawan dari berbagai universitas ternama, kurang lebih, itulah yang teman-teman rasakan kala itu.
Meruntuhkan Dominasi IPB
Sebagai event tahunan, Statistika Ria telah diselenggarakan sejak 2005, dan tahun 2008 adalah kali yang ke-4. Kebesaran tuan rumah IPB dalam event ini begitu melambung. Betapa tidak, selama tiga tahun berturut -turut, kampus yang mengklaim diri sebagai salah satu kiblat perstatistikan nasional itu─untuk yang satu ini memang benar adanya─ selalu merajai, gelar juara perseorangan dan juara umum (tim) selalu disabet oleh mereka. Dominasi mereka selama tiga tahun berturut-turut benar-benar tak tergoyahkan. Menurut informasi yang saya dapatkan, sebelum tahun 2008, STIS sebenarnya pernah sekali mengrimkan wakilnya untuk berkompetisi, namun karena persiapan yang minim wakil STIS langsung rontok di babak penyisihan.
Dominasi IPB selama tiga tahun terakhir yang tak tertandingi itu, tak dinyana rontok pada tahun 2008. Pada tahun itu, secara mengejutkan teman-teman dari STIS yang semula tidak diperhitungkan tiba-tiba muncul sebagai kuda hitam. Dengan gilang-gemilang , tim STIS kala itu berhasil menyabet gelar juara perseorangan dan juara umum, serta memboyong trofi Andi Hakim Nasution yang telah tiga tahun bersemayan di Kampus IPB-Bogor ke Otista, ke Sekolah Sensus yang kurang dikenal itu.
STIS, Dimana ya?
Ibarat sebuah tim sepakbola dalam sebuah kejuaraan, STIS adalah tim underdog, tak diperhitungkan dan sekedar penggembira. Mungkin di mata para peserta lain, kala itu, tim STIS sama sekali tidak memiliki kans untuk menjadi juara. Jujur kukatakan kepadamu kawan, sepertinya banyak di antara peserta lomba saat itu yang sama sekali tidak mengenal STIS. Dan ada sebuah cerita menarik terkait hal ini. Sebelum mengikuti acara pembukaan di depan Auditorium Andi Hakim Nasution, seorang teman diajak berkenalan oleh seorang peserta lomba dari perguruan tinggi lain─spertinya peserta yang satu ini berasal dari perguruan tinggi yang lebih tidak terkenal lagi dibanding STIS─ ketika menyebut asal perguruan tingginya dari STIS, yang mengajak kenalan spontan bertanya, “STIS di mana ya?”. Pesan yang bisa kita tangkap dari pertanyaan ini kurang lebih sama dengan kasus “Sekolah Sensus” di atas, STIS adalah sebuah kampus kecil tanpa nama besar.
Jayalah STIS
Salah satu kelemahan mendasar dari STIS adalah kultur dan tradisi akedemik yang lemah. Maklum, fokus dari pendidikan di kampus ini adalah mencetak calon birokrat/PNS yang akan mengabdi di lingkungan BPS, bukan untuk mencetak akademisi, peneliti, apalagi ilmuwan. Fokus utama sebagian besar mahasiswa STIS ketika belajar adalah mengejar indeks prestasi setinggi mungkin, memburu ranking agar tidak tercecer jauh saat penempatan. Di STIS, Kata “Indonesia Timur” telah membuat sebagian besar mahasiswa putri─khususnya yang berasal dari Jawa─lebih senang menatap buku ketimbang televisi.
Meskipun tidak memiliki kultur dan tradisi keilmuan yang kuat, STIS telah membuktikan diri sebagia perguruan tinggi yang tidak bisa dipandang remah dalam ranah Statistika. Di kancah nasional, STIS bukanlan kacangan. Kendati hanya sebuah sekolah tinggi, mahasiswa STIS telah membuktikan kedigdayaannya dalam berbagai ajang kompetisi Statistika tingkat nasional. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang telah disaring melalui proses seleksi yang cukup ketat dengan bakat logic-mathematics yang meluap-luap. Di jaman saya dulu, konon katanya, saya harus bersaing dengan belasan ribu peserta untuk dapat menjadi mahasiswa STIS. Bahkan, berdasarkan informasi terbaru yang saya terima, tahun ini, setiap orang harus bersaing dengan sekitar 28.000 calon mahasiswa untuk mendapatkan kesempatan kuliah gratis dengan uang saku yang cukup lumayan.
Sejak Statistika Ria yang ke-4, STIS dan IPB selalu bersaing ketat hingga saat ini. Bahkan, menurut saya, STIS telah menggeser dominisai IPB di ajang bergengsi tersebut. Prestasi STIS terkini yang sangat membanggakan adalah meraih juara I dalam Olimpiade Nasional Statistika yang diselanggarakan di UGM. Dalam ajang tersebut, STIS berhasil mengalahkan perguruan-perguruan tinggi terkenal sekelas UGM, IPB, dan ITS. Sebuah prestasi yang sudah barang tentu sangat membanggakan.
Karena itu, sudah sepantasnya saya dan Anda yang pernah atau sedang berkuliah di STIS untuk bangga dengan kampus yang pernah melahirkan mentri sekelas Haryono Suyono itu....Jayalah STIS.
Komentar
Posting Komentar