Dulu, ketika masa-masa gamang memikirkan masa depan selepas SMA, saya membaca sebuah brosur tentang penerimaan mahasiswa baru dari sebuah perguruan tinggi kedinasan di Jakarta, suatu tempat yang sangat jauh dari Muna tempat tinggal saya-masih Indonesia-sebauh pulau kecil di ujung tenggara Sulawesi. Saking jauhnya dari Jakarta yang merupakan episentrum kemajuan pembangunan republik ini, dibutuhkan waktu tidak kurang 4 hari dari Muna menuju Jakarta dengan kapal laut.
Walaupun cukup lama dan membosankan, selalu ada pengalaman menarik dan pelajaran berharga dalam perjalanan Muna-Jakarta. Setidaknya, saya bisa tahu lebih dulu sebelum mengenal indeks Theil atau Williamson bahwa negara yang kita cintai ini begitu timpang secara regional, bahwa variasi sebesar 0,1 pada kedua indeks tersebut secara kasat mata setara dengan jarak antara bumi dan langit (mungkin pusat bumi lebih tepatnya). Membandingkan kampung saya yang terpencil itu dengan Jakarta-yang karena terlahir dan besar di sana membuat saya selalu sadar dan terjaga bahwa hidup harus diperjuangkan-tak ubahnya seperti ketika membandingkan antara apel dan kedondong busuk.
Walaupun cukup lama dan membosankan, selalu ada pengalaman menarik dan pelajaran berharga dalam perjalanan Muna-Jakarta. Setidaknya, saya bisa tahu lebih dulu sebelum mengenal indeks Theil atau Williamson bahwa negara yang kita cintai ini begitu timpang secara regional, bahwa variasi sebesar 0,1 pada kedua indeks tersebut secara kasat mata setara dengan jarak antara bumi dan langit (mungkin pusat bumi lebih tepatnya). Membandingkan kampung saya yang terpencil itu dengan Jakarta-yang karena terlahir dan besar di sana membuat saya selalu sadar dan terjaga bahwa hidup harus diperjuangkan-tak ubahnya seperti ketika membandingkan antara apel dan kedondong busuk.
Kembali ke brosur. Di brosur yang berwarna hitam putih itu (fotokopian dari abang kelas di SMA), saya membaca sebuah tulisan yang cukup menantang yang berbunyi "Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) kembali memanggil pemuda/pemudi Indonesia yang memiliki motivasi tinggi untuk dididik menjadi ahli statistik...". Singkat cerita, dari brosur fotokopian yang sedikit kumal itu, pelayaran saya untuk menggapai masa depan yang cerah pun dimulai. Dan pada akhirnya, perahu masa depan itu labuh jangkar di sebuah instansi yang senantiasa mengawal denyut nadi jalannya pembangunan republik ini, merekam jejak sejarah pembangunan dengan data, yakni Badan Pusat Statistik (BPS).
Jujur kukatakan padamu kawan, sampai sekarang saya sebenarnya masih ragu dengan kalimat yang begitu menantang di atas. Saya masih ragu apakah benar saya telah menjadi seorang "Ahli Statistik". Ketika di tahun pertama mengikuti proses perkuliahan di STIS, di sebuah kelas Pengantar Teknologi Informasi, seorang dosen "kocak" berucap di depan kami para mahasiswa yang lugu, cerdas nan haus akan ilmu, yang berasal dari berbagai sudut Nusantara, bahwa jika kami naik ke tingkat dua (tahun ke dua) dan memilih jurusan statistika, kami akan dihadapkan dengan sejumlah mata kuliah yang merupakan varian atau cabang dari ilmu statistik, yang menurut sebagian besar orang bakal sangat memusingkan, terlebih buat mereka yang terlahir dengan bakat Matematika yang kurang mumpuni dan ketelitian yang lemah seperti saya.
Lebih lanjut, sang dosen yang hampir sebagian besar sesi kuliahnya dihabiskan untuk guyonan itu bertutur "dan setelah tamat dari STIS nanti, statistika akan tetap menjadi sesuatu yang abstrak bagi kalian alias samar". Satu lagi guyonan dari dosen cerdas yang sepertinya lahir di Irian itu yang bakal tetap saya ingat adalah ketika dia menyebut kepanjangan dari BPS dengan "Badan Pura-pura Statistik".
Lebih lanjut, sang dosen yang hampir sebagian besar sesi kuliahnya dihabiskan untuk guyonan itu bertutur "dan setelah tamat dari STIS nanti, statistika akan tetap menjadi sesuatu yang abstrak bagi kalian alias samar". Satu lagi guyonan dari dosen cerdas yang sepertinya lahir di Irian itu yang bakal tetap saya ingat adalah ketika dia menyebut kepanjangan dari BPS dengan "Badan Pura-pura Statistik".
Walaupun hampir tiga perempat dari sesi kuliahnya diisi dengan guyon atau lawakan, terkadang dari beberapa guyonannnya itu banyak juga sisi benarnya, termasuk dalam hal bakal samarnya statistika bagi lulusan STIS meskipun mereka telah menekuninya selama bertahun-tahun dengan mengorbankan masa muda yang seharusnya bisa dinikmati dengan lebih indah dan berwarna, serta BPS yang disebutnya sebagai badan pura-pura statistik. Untuk yang terakhir ini, saya baru sadar akan kebenarannya setelah bekerja di BPS.
Kebenaran akan guyon bakal samarnya stistika bagi lulusan STIS, saya rasakan ketika menginjak tahun ke empat di STIS (tingkat empat). Kala itu, saya pribadi mulai merasa tidak percaya diri dengan sebutan calon statistisi. Jabatan yang pada akhirnya saya sandang ketika lulus dari STIS dan diangkat sebagai CPNS di BPS. Saya merasa belum benar-benar paham secara filosofis tentang berbagai hal mendasar mengenai ilmu yang satu ini, khususnya perihal inferensia statistik. Basic pemahaman saya begitu rapuh atau lebih tepatnya samar. Dan ternyata yang merasakan demikian bukan hanya saya, hampir sebagian besar teman-temen jurusan Stistika-kecuali mereka yang outlier dalam bahasa statistika-merasakan hal yang sama dengan stadium tingkat ketidakpahaman yang berbeda-beda, mulai dari yang akut sampai dengan yang agak paham sedikit.
Menurut saya, dalam hal ini, inferensi (penarikan kesimpulan) yang saya lakukan cukup akurat dan didukung oleh sejumlah indikator empiris di lapangan. Indikator yang saya gunakan cukup sederhana, yaitu ketika probabilata dan statmat yang notabene merupakan bahan baku statistika menjadi "momok" paling menakutkan pada saat ujian kompre. Menjadi momok karena keduanya sering kali menjadi batu sandungan untuk lulus dengan mulus karena alasan lupa. Meskipun, alasan yang lebih tepat sebenarnya adalah kurang paham atau tidak paham.
Indikator lain yang juga dapat digunakan yakni pertanyaan yang paling ditakuti pada saat sidang skripsi adalah pertanyaan tentang metodologi atau teknik statistik yang digunakan. Padahal, pertanyaannya terkadang tidak susah-susah amat karena hanya menyangkut hal-hal elementer, semisal apa perbedaan antara persamaan dan model regresi. Jika kedua indikator ini belum cukup, coba tanyakan pada teman-teman saya seangkatan perihal defenisi "peubah acak" yang tepat. Saya yakin, pada tingkat kepercayaan 99 persen, kurang dari 5 persen di antara mereka yang bisa menjawab dengan tepat. Mudah-mudahan itu terjadi karena mereka lupa (bersambung...)
Indikator lain yang juga dapat digunakan yakni pertanyaan yang paling ditakuti pada saat sidang skripsi adalah pertanyaan tentang metodologi atau teknik statistik yang digunakan. Padahal, pertanyaannya terkadang tidak susah-susah amat karena hanya menyangkut hal-hal elementer, semisal apa perbedaan antara persamaan dan model regresi. Jika kedua indikator ini belum cukup, coba tanyakan pada teman-teman saya seangkatan perihal defenisi "peubah acak" yang tepat. Saya yakin, pada tingkat kepercayaan 99 persen, kurang dari 5 persen di antara mereka yang bisa menjawab dengan tepat. Mudah-mudahan itu terjadi karena mereka lupa (bersambung...)
Komentar
Posting Komentar