Langsung ke konten utama

TKW Bukan Sekadar Pahlawan Devisa


Tragedi pemancungan dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Arab Saudi beberapa waktu lalu kembali menghidupkan wacana untuk menghentikan pengiriman TKW—yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga—ke luar negeri. Di antara yang menyuarakan wacana tersebut adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise.
Salah satu alasan utama yang mendasari wacana penghentian pengiriman TKW  tersebut adalah soal harga diri bangsa. Dalam hal ini, Presiden Jokowi pernah bilang bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara miskin di dunia yang masih mengirim TKW sebagai pembantu ke negeri orang. Selain soal harga diri bangsa, para TKW juga sering menerima perlakuan tak pantas atau menjadi korban penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya. Hal tersebut acap kali memicu mereka melakukan aksi perlawanan (baca: balas dendam) sehingga berujung pada masalah hukum.
Apapun alasan yang mendasari wacana tersebut, pemerintah harus siap menerima dan mengantisipasi dampak ekonomi yang bakal timbul jika wacana penghentian pengiriman TKW jadi direalisasi. Dampak pertama adalah berkurangnya devisa negara yang berasal dari uang kiriman atau remitansi para TKW yang bekerja di luar negeri. Laporan yang dirilis Bank Dunia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa remitansi yang diterima oleh Indonesia dari warganya yang bekerja di luar negeri mencapai U$8,55 miliar pada tahun lalu.
Meskipun cukup besar, jumlah total remitansi yang diterima Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Filipina yang menempati posisi ketiga dunia sebagai negara penerima remitansi terbesar sejagat dengan jumlah remitansi mencapai U$28,40 miliar pada 2014. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bahkan juga berada di belakang Vietnam yang pada tahu lalu menerima uang kiriman sebanyak U$12 miliar dari warganya yang bekerja di luar negeri (India Real Time, 15 April 2015).
Bila wacana penghentian pengeriman TKW sebagai pembantu ke luar negeri jadi diimplementasikan, hal ini tentu bisa jadi bakal berdampak penurunan jumlah remitansi yang diterima Indonesia di tahun-tahun mendatang karena berkurangnya jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pasalnya, jumlah TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga cukup banyak.
Berkurangnya penerimaan negara yang bersumber dari remitansi para TKW bukanlah satu-satunya dampak ekonomi yang bakal terjadi. Tak bisa dimungkiri, para TKW sejatinya juga berperan besar dalam mengurangi tingkat pengangguran terbuka di tanah air. Seandainya tidak bekerja sebagai pembantu di luar negeri, sebagian mereka—yang umumnya berpendidikan rendah dan minim keahlian—bakal menjadi pengangguran di tanah air dan menjadi beban tanggungan negara. Itupun kalau negara hadir dan mau menanggung.
Secara faktual, data statistik menunjukkan bahwa meskipun angka pengangguran terbuka terus menurun secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, penurunan yang terjadi terus melambat dari tahun ke tahun. Hal tersebut sebetulnya memberi konfirmasi bahwa pasar kerja di tanah air kian jenuh. Musababnya, jumlah pencari kerja terus tumbuh seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja (angkatan kerja) sementara pada saat yang sama ekspansi dan pertumbuhan kesempatan kerja cenderung stagnan.
Pasar kerja tanah air juga disesaki tenaga kerja berpendidikan rendah dan minim keahlian. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan bahwa dari 122 juta angkatan kerja yang aktif di pasar kerja pada Agustus 2014, lebih dari 60 persen hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah menengah pertama (SMP). Akibatnya, penurunan tingkat pengangguran berjalan lambat karena banyak di antara angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan minim keahlian tersebut tidak terserap di pasar kerja. Kalaupun terserap, mereka bakal bergelut di sektor informal yang identik dengan kemiskinan karena pendapatan yang rendah.
Jadi, jangan heran bila tingginya angka partisipasi angkatan kerja sejatinya adalah sebuah ilusi, karena persentase tenaga kerja di sektor informal mencapai 60 persen dari jumlah total penduduk bekerja. Karena itu, pilhan menjadi TKW sebetulnya lebih menjanjikan secara ekonomi bagi angkatan kerja berpendidikan rendah dan minim keahlian. Setidaknya, mereka bisa bekerja dan memperoleh pendapatan yang lebih layak meski harus bekerja sebagai pembantu di negeri orang. Dengan kata lain, penghentian pengiriman TKW ke luar negeri juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran di negeri ini meskipun tidak terlalu signifikan.
Melalui uang kiriman mereka, para TKW sejatinya juga telah berkontribusi signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan. Pasalnya, uang kiriman para TKW tidak hanya dinikmati oleh keluarga TKW. Uang tersebut juga memiliki peran yang sangat krusial dalam menggerakkan perekonomian di kampung halaman para TKW. Hal ini bisa dilihat secara kasat mata di sejumlah daerah basis TKW di tanah air. Di daerah-derah tersebut, perputaran uang yang digerakkan oleh uang kiriman para TKW telah berhasil mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat ketika pada saat yang sama pemerintah setempat tidak mampu berbuat banyak untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakatnya. Hal tersebut sejatinya membuktikan bahwa para TKW bukan sekadar pahlawan devisa.
Karena itu, implementasi wacana penghentian pengeriman TKW sebagai pembantu ke luar negeri harus dikaji secara cermat. Jika dampak ekonomi yang timbul tidak mampu diantisipasi dengan baik, untuk saat ini pemerintah ada baiknya lebih berfokus pada upaya pembenahan terhadap mekanisme pengiriman, penempatan, dan perlindungan TKW secara serius, terutama mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ketimbang melarang orang menjadi TKW di luar negeri. Harga diri bangsa memang penting, tapi apa gunanya jika hal tersebut justru membikin mereka hidup susah dan miskin di negeri sendiri. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...