Langsung ke konten utama

Tingkat Konsumsi Rokok yang Mengkhawatirkan


Statistik konsumsi rokok dunia pada 2014 kembali meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara konsumen rokok terbesar sejagat. Sepanjang tahun lalu, konsumsi rokok dunia mencapai 5,8 triliun batang, 240 miliar batang (4,14 persen) di antaranya dikonsumsi oleh perokok Indonesia. Angka konsumsi rokok ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar ke empat dunia setelah China (2,57 triliun batang), Rusia (321 miliar batang), dan Amerika Serikat (281 miliar batang) (Koran Tempo, 30 September).
Statistik konsumsi rokok masyarakat Indonesia tersebut nampaknya sejalan dengan tingginya prevalensi merokok di tanah air. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2011 memperlihatkan bahwa jumlah pengguna tembakau, baik berupa rokok maupun penggunaan lainnya tanpa asap (smokeless form), mencapai 61 juta orang atau mencakup sekitar 36 persen dari total penduduk Indonesia. 
Tingginya konsumsi rokok masyarakat Indonesia tentu saja amat merisaukan. Pasalnya, ongkos yang harus dibayar akibat dampak buruk yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok sangat mahal. Di negeri ini, kebiasaan merokok telah membunuh 225 ribu orang setiap tahun. Sementara itu, lebih dari 97 juta masyarakat Indonesia—yang bukan perokok—saban hari terpapar asap rokok sehingga berisiko menderita berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok, yang konon mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun.
Pada saat yang sama, biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk berbagai penyakit yang dikaitkan dengan penggunaan tembakau mencapai Rp11 triliun setiap tahun. Sementara itu, data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan meski penerimaan cukai rokok mencapai 55 triliun pada 2010, pengeluaran makro akibat rokok justru mencapai Rp245,41 triliun, yang mencakup pembelian rokok dari masyarakat (Rp138 triliun), hilangnya produktivitas akibat cacat di usia muda (Rp105,3 triliun), dan pengeluaran untuk perawatan medis (Rp2,11 triliun). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh rokok lebih besar ketimbang manfaat ekonomi yang dihasilkan.
Porsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok juga cukup dominan sehingga mengurangi porsi pengeluaran untuk kebutuhan yang esensial dalam pengembangan derajat kapabilitas masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan asupan protein. Pada 2005, misalnya, pengeluaran untuk produk tembakau—termasuk rokok— mencapai 11,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga perokok, lebih tinggi dari pengeluaran untuk pendidikan (3,2 persen), kesehatan (2,3 persen), serta sumber asupan protein seperti ikan, daging, dan susu (11 persen). Celakanya, sebanyak 68 persen rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok (Susenas, 2009)
Prevalensi merokok pada penduduk kelompok usia muda juga sangat tinggi. Hasil Global Youth Tobacco Survey 2014 menunjukkan bahwa 19 persen penduduk pada kelompok umur 13-15 tahun adalah perokok. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan dalam jangka panjang akibat kebiasaan merokok pada penduduk usia muda merupakan potensi yang hilang (potential loss).
Persoalan semakin pelik karena prevalensi merokok pada masyarakat miskin ternyata juga sangat tinggi. Hal itu tercermin dari tingginya pengeluaran penduduk miskin yang dialokasikan untuk membeli rokok.  Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sumbangan pengeluaran untuk rokok  terhadap garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.
BPS mencatat, pada Maret 2015, kontribusi pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan mencapai 8,24 persen di perkotaan dan 7,07 persen di pedesaan, jauh lebih tinggi dibanding kontribusi pengeluaran untuk pendidikan yang hanya sebesar 2,46 persen di perkotaan dan 1,39 persen di pedesaan. Itu artinya, masyarakat miskin negeri ini lebih banyak menghabiskan uang untuk rokok ketimbang urusan pendidikan.
Ironisnya, meski dampak buruk konsumsi tembakau/rokok sudah sangat jelas, belakangan ini sejumlah wakil rakyat di parlemen justru mendorong legalisasi rokok kretek sebagai  warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipromosikan agar tidak hilang ditelan zaman.
Wacana untuk memasukkan pasal kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sebagai bagian dari budaya nasional yang harus dilestarikan tentu saja kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang sedang serius mengendalikan produk tembakau sesuai amanat Undang-Undang Kesehatan 2009. Jika pasal kretek jadi diundangkan, tingkat konsumsi rokok masyarakat bakal sulit ditekan. Pasalnya, sekitar 90 persen perokok Indonesia menggunakan rokok kretek.
Kita mafhum bahwa industri rokok  memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap perekonomian, baik dari sisi penerimaan cukai rokok maupun penyerapan tenaga kerja. Bahwa budidaya tanaman tembakau melibatkan banyak rumah tangga. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan  total jumlah rumah tangga tembakau mencapai 817,01 ribu rumah tangga. Kita paham pula bahwa bagi masyarakat Indonesia, mengkonsumsi rokok kretek merupakan tradisi turun temurun yang telah berlangsung lama, meskipun eksistensinya sebagai warisan budaya bangsa yang putut dilestarikan masih harus diperdebatkan.
Namun demikian, mengingat total kerugian yang ditimbulkan sangat besar, sudah semestinya semua elemen negeri ini memiliki komitmen yang kuat dan serius dalam menekan konsumsi rokok masyarakat. Hal tersebut harus diwujudkan melalui regulasi yang ketat maupun kampanye tentang bahaya rokok yang lebih intensif, bukan malah melegalkan bahkan mempromosikan rokok sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...