Indonesia memiliki catatan prestasi
gemilang dalam mengendalikan pertambahan jumlah penduduk. Faktanya, program
Keluarga Berencana (KB) yang mulai dijalankan pada awal tahun 70an telah
berhasil menyelamatkan negeri ini dari ledakan jumlah penduduk.
Hasil Sensus Penduduk tahun 1971
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia kala itu mencapai 119,2 juta jiwa.
Empat dekade kemudian, hasil Sensus Penduduk yang dilaksanakan pada 2010
memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hanya sebesar 237,6 juta jiwa.
Padahal, menurut proyeksi (perkiraan)
ahli ekonomi Universitas Indonesia Prof. Widjoyo Nitisastro pada 1966, penduduk
Indonesia seharusnya sudah mencapai 330 juta jiwa pada tahun 2010. Itu artinya,
negeri ini telah berhasil mencegah kelahiran sekitar 180 juta bayi sepanjang
tahun 1971-2010.
Keberhasilan tersebut telah berhasil
menyalamatkan Indonesia dari berbagai persolan yang lazim mendera negara-negara
yang mengalami ledakan jumlah penduduk, seperti kerusakan lingkungan,
kelangkaan sumber daya, kerawanan pangan, kemiskinan, dan konflik sosial.
Namun, negeri ini tidak boleh cepat berpuas diri. Pertambahan jumlah penduduk
harus tetap dikendalikan agar tumbuh seimbang.
Hasil proyeksi penduduk 2010-2035 yang
dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama Bappenas dan UNFPA
memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 bakal
menyentuh 305,6 juta jiwa. Bila hal ini terjadi, Indonesia kemungkinan besar tidak
lagi menjadi negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia,
tetapi negera dengan jumlah penduduk terbesar ke-6 sejagat di bawah India,
Tiongkok, Nigeria, Amerika Serikat, dan Pakistan.
Namun patut dicamkan, skenario tersebut
hanya bakal terwujud jika laju pertumbuhan penduduk bisa diturunkan secara
konsisten hingga mencapai 0,62 persen per tahun sepanjang tahun 2030-2035. Bila
laju pertumbuhan penduduk tak berhasil diturunkan, atau tetap pada angka 1,49
persen per tahun seperti yang terjadi sepanjang tahun 2000-2010, jumlah
penduduk Indonesia bakal menembus angka 343,96 juta jiwa. Tentu saja, jumlah
penduduk Indonesia bakal melebihi angka tersebut jika angka pertumbuhan jumlah
penduduk lebih tinggi lagi atau tidak bisa dikendalikan.
Mungkin di antara kita ada yang
bertanya, bukankan dengan menjadi salah satu negara berpenduduk terbesar di
dunia merupakan sesuatu yang membanggakan dan merupakan sumber kekuatan bagi
negeri? Dengan kata lain, untuk apa repot-repot mengendalikan pertumbuhan jumlah
penduduk.
Jawabannya, penduduk yang besar memberi
konsekuensi yang tidak mudah. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah
negeri ini mampu mengelola penduduk yang sedemikian banyak serta mampu
menyediakan pangan yang cukup, sandang, dan perumahan untuk semua penduduk?
Toh, dengan jumlah penduduk yang saat ini baru mencapai 250 juta jiwa saja
negeri ini sudah kewalahan.
Komitmen daerah
Ihwal upaya pengendalian laju
pertumbuhan penduduk, salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah adalah
rendahnya kesadaran para pemangku kebijakan di daerah. Hal ini terjadi sejak
otonomi daerah digulirkan pada tahun 2000.
Data statistik memperlihatkan, sejak
otonomi daerah diberlakukan, Indonesia mengalami stagnasi penurunan tingkat
kelahiran. Konsekuensinya, laju pertumbuhan penduduk yang semula 1,46 persen
per tahun sepanjang 1990-2000 naik menjadi 1,49 persen per tahun sepanjang
2000-2010.
Kegagalan Indonesia dalam menurunkan
laju pertumbuhan penduduk sepanjaang 2000-2010 ternyata berakibat menyempitnya
periode jendela peluang (window of opportunity), yakni periode ketika
angka beban tanggungan penduduk usia produktif menyentuh titik terendah.
Periode ini juga biasa disebut “puncak bonus demografi”.
Semula, berdasarkan proyeksi penduduk
Perserikatan Bangsa-Bangsa, periode jendela peluang akan berlangsung selama
sepuluh tahun, yakni pada tahun 2020-2030. Pada periode tersebut, angka beban
tanggungan penduduk usia produktif sebesar 44. Artinya, setiap 100 penduduk
usia produktif (usia 15-64 tahun) bakal menanggung 44 orang penduduk usia tidak
produktif (anak-anak dan lansia). Namun, berdasarkan hasil proyeksi terbaru,
periode jendela peluang kemungkinan hanya berlangsung selama empat tahun, yakni
pada 2028 hingga 2031, dengan angka beban tanggungan yang sedikit lebih tinggi
(47).
Kasus Papua
Salah satu contoh lemahnya komitmen
pemerintah daerah dalam soal pengendalian laju pertumbuhan penduduk adalah apa
yang terjadi di Papua. Seperti diberitakan oleh sejumlah media, Gubernur Papua
Lukas Enembe justru memberi insentif berupa uang tunai sebesar Rp10 juta kepada
mama Papua yang berhasil melahirkan satu anak dan uang tunai sebesar Rp100 juta
kepada mama yang berhasil melahirkan sepuluh anak.
Sang Gubernur malah mengimbau mama-mama
Papua untuk tidak mengikuti program KB dan melahirkan anak sebanyak mungkin.
Imbuan ini tentu sebuah ironi di saat angka kematian ibu melahirkan serta angka
kematian bayi dan balita di Papua masih sangat tinggi.
Faktanya, saat ini, Papua merupakan
provinsi dengan angka kematian ibu melahirkan tertinggi ketiga di Indonesia
setelah Papua Barat dan Maluku Utara. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2012 (SDKI 2012) menunjukkan, angka kematian ibu melahirkan di
Papua mencapai 573 kematian untuk setiap 100 ribu kelahiran hidup. Angka tersebut
mengalami peningkatan yang sangat tajam dari kondisi pada tahun 2007 di
mana angka kematian ibu melahirkan mencapai 364/100 ribu kelahiran hidup.
Besar kemungkinan, angka kematian ibu
melahirkan sebetulnya lebih tinggi dari apa yang dipotret oleh hasil survei.
Pasalnya, di Papua, ada tradisi untuk menyembunyikan informasi kematian seorang
ibu karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk disampaikan kepada pihak
luar.
Angka kematian bayi dan balita pun
kurang lebih sama, bahkan lebih buruk. Hasil SDKI 2012 menunjukkan, angka
kematian bayi di Papua mencapai 54 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran hidup,
tertinggi di Indonesia. Angka ini juga mengalami peningkatan bila dibandingkan
dengan kondisi pada 2007 di mana angka kematian bayi hanya sebesar 41
kematian/1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, angka kematian balita juga
setali tiga uang, mencapai 115 kematian/1.000 kelahiran hidup atau meningkat
tajam dari kondisi tahun 2007 yang hanya sebesar 64 kematian/1.000 kelahiran
hidup.
Karena itu, meski imbauan agar mama-mama
Papua melahirkan banyak anak sejatinya dimaksudkan untuk meningkatkan populasi
dan menjaga eksistensi orang asli Papua, hal tersebut sebetulnya bukan sesuatu
yang bijak dan tepat. Mestinya, pemerintah Papua lebih berfokus pada upaya menurunkan
angka kematian ibu melahirkan, angka kematian bayi, dan angka kematian balita
serta mempersiakan anak-anak Papua menjadi generasi yang sehat, produktif, dan
unggul. Dengan demikian, mereka dapat berkontribusi secara maksimal terhadap
pembangunan Papua di masa datang. (*)
Komentar
Posting Komentar