Tak bisa dibantah, para ibu merupakan
kunci keberlangsungan negeri ini. Pasalnya, dari merekalah generasi penerus dan
para pemimpin negeri ini lahir dan dibesarkan. Tapi, apakah negeri ini sudah
menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk melahirkan dan membesarkan
anaknya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa
diperoleh dalam State of The World’s Mothers 2015yang diluncurkan
oleh lembaga non-pemerintah (NGO) Save The Children pada kamis
lalu (8 Mei) dalam rangka memeringati Hari Ibu Internasional.
State of The World’s Mothers merupakan
laporan tahunan yang mengevaluasi kinerja negara-negara di dunia: apakah mampu
menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk membesarkan anaknya. Alat
evaluasi yang digunakan adalah Mothers’ Indeks, sebuah indeks komposit yang
dibangun dari lima indikator, yakni kesehatan ibu yang diukur melalui peluang
seorang wanita berumur 15 tahun pada akhirnya bakal meninggal karena kasus
maternal (kehamilan dan persalinan), kesejahteraan anak yang diukur melalui
tingkat kematian anak berumur di bawah 5 tahun (balita), status pendidikan yang
diukur melalui angka harapan lama sekolah, status ekonomi yang
direpresantasikan oleh PDB per kapita, dan status politik yang diwakili oleh
partisipasi kaum perempuan dalam politik nasional.
Hasil evaluasi pada tahun ini
menunjukkan bahwa satu dari 30 wanita di dunia berpeluang meninggal akibat
kasus-kasus yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, dan tujuh dari 10
wanita di dunia bakal kehilangan seorang anak sepanjang hidup mereka. Hasil
evaluasi juga memperlihatkan bahwa meskipun kesehatan ibu dan anak mengalami
peningkatan secara global, kesenjangan antara negera-negara kaya dan miskin
kian melebar.
Negara-negara terbaik sebagai tempat
para ibu membesarkan anaknya pada tahun ini adalah Norwegia, Finlandia, dan
Islandia. Sementara tempat terburuk bagi para ibu untuk membesarkan anaknya
adalah negara-negara di kawasan Sub-Sahara Afrika. Dari 179 negara yang
dievaluasi, Somalia, Republik Demokratik Kongo, dan Republik Afrika Tengah
merupakan yang terburuk. Secara umum, negera-negara yang selama ini menjadi
pusaran konflik merupakan tempat terburuk bagi para ibu menurut State
of The World’s Mothers 2015.
Bagaimana dengan Indonesia? Mother’s
Index 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 179
negara. Itu artinya, Indonesia berada di papan tengah, bukan yang terbaik,
bukan pula yang terburuk. Namun demikian, hal tersebut sejatinya memberi
konfirmasi bahwa negeri ini belum menjadi tempat yang ideal bagi para ibu untuk
membesarkan anaknya.
Jika dibandingkan dengan laporan pada
tahun lalu, ranking Indonesia hanya naik satu peringkat. Sementara di kawasasan
ASEAN, Indonesia berada di belakang Singapura (peringkat 14), Malaysia (71),
Thailand (83), Vietnam (98), Filipina (105), dan Timor Leste (106). Faktanya,
Indonesia hanya lebih baik dibanding Laos (128), Kamboja (132), dan Myanmar
(158).
Dua hal yang mesti menjadi fokus
perhatian para pemangku kebijakan di negeri ini adalah rendahnya kesehatan ibu
dan kesejahteraan anak. Menurut State of The World’s Mothers 2015,
satu dari 220 wanita berusia 15 tahun di negeri ini berpeluang akan meninggal
karena kasus maternal. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat kesehatan ibu di
Indonesia masih sangat rendah. Dengan kata lain, mereka sangat berisiko
meregang nyawa akibat penyebab kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan.
Rendahnya kesehatan ibu di negeri ini
juga tercermin dari tingginya angka kematian ibu. Hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012 memperlihatkan bahwa angka kematian ibu di
Indonesia mencapai 359 untuk setiap 100 ribu kelahiran hidup. Karena itu, upaya
serius pemerintah dalam menekan angka kematian ibu menjadi sangat krusial.
Terkait hal ini, akses para ibu terhadap layanan kesehatan yang berkualitas,
terutama di daerah-daerah terpencil, saat masa kehamilan dan persalinan harus ditingkatkan.
Sementara itu, angka kematian balita di
Indonesia juga cukup tinggi, yakni sebesar 29,3 untuk setiap 1.000
kelahiran hidup pada 2013. Dengan angka kematian balita sebesar itu, Indonesia
termasuk salah satu yang terburuk di ASEAN. Bandingkan dengan Singapura yang
angka kematian balitanya hanya 2,8 per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 8,5 per
1.000 kelahiran hidup, Thailand 13,1 per 1.000 kelahiran hidup, dan Vietnam
23,8 per 1.000 kelahiran hidup.
Kesejahteraan balita tentu saja
bertalian erat dengan kesejahteraan ibunya. Balita yang lahir dan dibesarkan
oleh ibu dengan status kesejahteraan yang baik hampir dipastikan bakal
memperoleh asupan gizi yang baik dan penanganan kesehatan yang maksimal
dibandingkan dengan balita yang terlahir dan dibesarkan oleh ibu yang
miskin. State of The World’s Mothers 2015 menunjukkan bahwa di
negara-negara dengan peringkat Mothers’ Index terburuk, anak-anak yang tumbuh
dalam kemiskinan lima kali lebih berpeluang mengalami kematian ketimbang anak
yang dibesarkan oleh orang tua yang berkecukupan (baca: kaya).
Karena itu, di samping upaya intervensi
melalui program-program yang difokuskan pada penanganan kesehatan ibu dan anak,
pemerintah harus memberi perhatian lebih pada upaya peningkatan kesejahteraan
kaum perempuan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan akses mereka
dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas, bukan hanya pendidikan dasar tapi
juga pendidikan tinggi.
Terlalu banyak hasil studi untuk
menunjukkan bahwa lama bersekolah memiliki relasi yang sangat kuat dengan
variabel-variabel penentu kualitas hidup, seperti pendapatan, kesehatan, dan
partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, anak-anak yang
dibesarkan oleh ibu yang berpendidikan umumnya juga bakal tumbuh dengan sehat
dan terdidik dengan baik. (*)
Komentar
Posting Komentar