Ada satu ungkapan yang sudah lazim kita
dengar: banyak anak, banyak rejeki. Ungkapan ini mungkin ada betulnya bila
posisi anak semata-mata dilihat sebagai faktor produksi tenaga kerja atau
sumber pendapatan keluarga.
Kenyataannya, selama proses tumbuh
kembangnya dari lahir hingga dewasa, setiap anak punya hak-hak yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya. Dengan kata lain, anak bukanlah obyek eksploitasi
untuk menambah pendapatan keluarga. Hak-hak tersebut, antara lain, mencakup
asupan gizi yang cukup dan pendidikan yang berkualitas.
Setiap orang tua bertanggung jawab
membesarkan anaknya agar menjadi generasi produktif dan siap memasuki pasar
kerja. Dari sudut pandang ini, membesarkan anak bukanlah investasi yang murah.
Anak bukan lagi sebagai sumber pendapatan keluarga, tapi beban tanggungan yang
membutuhkan alokasi pendapatan yang tidak sedikit. Artinya, ungkapan “banyak
anak, banyak rejeki” sejatinya kurang tepat.
Sayangnya, hingga kini, eksploitasi anak
sebagai pekerja untuk menambah pendapatan keluarga masih saja terus
berlanjut. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan,
tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014,
misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja
mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun.
Mereka aktif bekerja membantu keluarga
ketika anak-anak lain sibuk bermain dan bersekolah. Sekadar diketahui, definisi
anak adalah penduduk yang berumur di bawah 18 tahun. Definisi ini diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Peran keluarga
Pada 12 Juni 2016 dunia kembali
memperingati World Day Againts Child Labour. Kampanye yang
diluncurkan pertama kali pada 2002 itu bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
dan kepedulian masyarkat global terhadap isu pekerja anak. Pekerja anak harus
dicegah karena merampas hak-hak anak, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan
yang layak, menikmati waktu luang (bermain), dan hidup di lingkungan yang sehat
dan mendukung tumbuh kembang mereka.
Anak yang bekerja berisiko
terganggu tumbuh kembangnya. Risiko tersebut bakal semakin besar jika anak
bekerja pada lapangan pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya.
Hasil Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS)
bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 memperlihatkan bahwa
985 ribu anak usia 5-14 tahun bekerja pada kondisi yang berbahaya akibat
interaksi dengan benda berbahaya, debu atau uap, dingin atau panas yang
esktrim, api dan gas, bahan kimia, ketinggian berbahaya, serta mesin dan
peralatan berbahaya.
Pendidikan anak yang bekerja juga bakal
terganggu. Hal ini pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap kapabilitas
mereka ketika beranjak memasuki usia dewasa. Meski sebagian besar anak-anak
yang bekerja juga bersekolah, tak bisa dimungkiri mereka bakal tertinggal dari
kawan-kawannya, baik dari sisi kehadarin di sekolah maupun prestasi belajar.
Celakanya, banyak anak yang melakukan
kegiatan ekonomi ternyata tidak bersekolah. Data yang dikeluarkan Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2012 menunjukkan bahwa
sebanyak 177,37 ribu anak berusia 7-17 tahun yang berasal dari rumah tangga
sangat miskin tidak bersekolah dan pada saat yang sama bekerja di sektor
pertanian, perikanan, perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain.
Juga patut diperhatikan, jumlah anak
yang aktif bekerja di usia belia ternyata relatif tinggi. Hasil Survei Pekerja
Anak menunjukkan, jumlah penduduk berumur 5-12 tahun yang bekerja mencapai
674,3 ribu jiwa atau mencakup sekitar 16,64 persen dari jumlah total pekerja
anak (penduduk usia 5-17 tahun) yang mencapai 4,05 juta orang.
Survei Pekerja Anak 2009 juga
memperlihatkan bahwa 65,5 persen pekerja anak merupakan pekerja keluarga tidak
dibayar (unpaid family worker). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi
mengenai dua hal. Pertama, sebagian besar pekerja anak merupakan “korban”
eksploitasi keluarga. Kedua, keberhasilan pemerintah dalam menekan jumlah
pekerja anak atau menghentikan eksploitasi terhadap anak sangat ditentukan oleh
kesadaran dan partisipasi kepala keluarga. Selama mereka terkungkung dalam cara
pandang yang keliru, bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja,
eksploitasi terhadap anak bakal terus berlanjut.
Kemiskinan
Di atas itu semua, eksploitasi terhadap
anak pada dasarnya tidak terlepas dari alasan ekonomi keluarga. Tak bisa
dimungkiri, kondisi serba kekurangan dan tekanan ekonomi yang dihadapi keluarga
seringkali merupakan penyebab utama anak dipaksa bekerja. Pendek kata,
kemiskinan adalah sumbunya.
Faktanya, anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin sangat rentan digiring ke pasar kerja untuk menyokong ekonomi
keluarga. Hasil Survei Pekerja Anak 2009 memperlihatkan bahwa sebagian besar
kasus anak bekerja terjadi di daerah pedesaan. Mudah diduga mayoritas kasus
anak bekerja di daerah pedesaan terdapat di sektor pertanian yang secara
struktural mendominasi kegiatan ekonomi di daerah pedesaan. Dan faktanya memang
demikian. Hasil Sakernas pada 2012 menunjukkan bahwa 72 persen pekerja anak
usai 10-17 tahun di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian.
Kita tahu bahwa daerah pedesaan dan
sektor pertanian merupakan kantong kemiskinan di negeri ini. Data BPS
memperlihatkan bahwa 62,75 persen dari total jumlah penduduk miskin yang
mencapai 28,51 juta jiwa pada September 2015 tinggal di daerah pedesaan.
Sementara itu, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2014 menunjukkan bahwa
67,26 persen rumah tangga miskin di daerah pedesaan merupakan rumah tangga
dengan lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.
Karena itu, upaya paling mendasar yang
harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi terhadap anak
sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Terkait hal ini, pembangunan daerah pedesaan, termasuk di dalamnya sektor
pertanian, harus menjadi fokus perhatian. Pengentasan kemiskinan adalah
kuncinya. (*)
Komentar
Posting Komentar