Langsung ke konten utama

Nasi dan Swasembada


Anda tentu pernah mendengar cerita lama tentang keberhasilan Indonesia dalam merengkuh swasembada beras di zaman Orde Baru. Prestasi gilang-gemilang—yang seolah begitu sulit untuk kembali diulang—itu menjadikan Presiden Suharto (Pak Harto) diganjar penghargaan oleh organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO). Penghargaan tersebut di terima Pak Harto di Roma, Italia, pada tahun 1984.
Capaian Indonesia dalam merengkuh swasembada beras kala itu memang bukan isapan jempol. Tapi kasat mata dan diakui dunia internasional. Tanpa justifikasi data statistik pun, produksi beras nasional kenyataannya begitu melimpah. Saking melimpahnya, Indonesia memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional sebagai eksportir. Meskipun merugi, keputusan Indonesia saat itu berhasil mengguncang pasar beras dunia. Betapa tidak, akibat dari keputusan tersebut harga beras di pasar internasional jatuh dari US$250 per ton menjadi US$150 per ton akibat ekspor beras dalam jumlah besar yang dilakukan Indonesia.
Jika ditarik ke belakang, sejarah kejayaan perberasan Indonesia (dulu Nusantara) sebetulnya sudah terjadi sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lampau. Dalam berbagai literatur sejarah kuno, Pulau Jawa—pulau di mana sekitar 52 persen produksi beras nasional dihasilkan—sering disebut sebagai Jawadwipa atau pulau padi, karena produksi padi/berasnya yang melimpah. Bahkan konon, Ptolomeus, ahli geografi zaman Yunani kuno, pernah menuliskan Pulau Jawa dengan sebutan Iabadiu atau pulau padi. Sungguh potongan mozaik kejayaan masa lalu yang begitu indah lagi membuat bangga.
Sayangnya, kini kondisinya telah berbalik. Semua catatan kejayaan tersebut hanya tinggal kenangan. Dewasa ini, Indonesia mengguncang harga beras di pasar internasional dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai eksportir, tapi importir. Bukan pula sembarang importir, tapi salah satu importir beras terbesar sejagat.
Alih-alih membikin harga beras di pasar internasional menjadi lebih murah, belakangan ini, Indonesia malah kerap dituduh sebagai biang kerok kenaikan harga beras di pasar internasional. Bayangkan, dari sekitar 8 juta ton beras di pasar internasional, sekitar 1,5 juta ton hingga 2 juta tonnya habis diborong oleh Indonesia. Data Statistik menunjukkan, pada tahun 2011 lalu saja, realisasi impor beras nasional mencapai 2,75 juta ton atau senilai US$1,51 miliar. Tentu saja akan lebih bermanfaat juga uang sebanyak itu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani negeri ini, yang hingga kini sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan.
Ketergantungan pada impor beras merupakan konsekuensi menjadi bangsa pemakan—nasi yang ditanak dari—beras terbanyak di dunia. Sebetulnya, kita mengimpor beras bukan karena produksi kita tak semelimpah dulu. Tapi, karena produksi yang melimpah itu tidak cukup untuk mengisi perut 250 juta penduduk negeri ini. Bayangkan, konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 139,15 kilogram per orang per tahun. Angka ini jauh lebih tingi bila dibandingkan dengan negara-negara Asia yang lain, yang menjadikan beras sebagai sumber karbohidrat utama.
Apabila angka konsumsi beras nasional tak bisa ditekan, tantangan kedepan bakal semakin berat. Kebutuhan beras nasional akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Dan parahnya, peningkatan tersebut jauh lebih cepat dibanding peningkatan produksi beras dalam negeri. Bayangkan, dalam sepuluh tahun kedepan saja, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan bertambah sebanyak 30 juta jiwa. Itu artinya, jika konsumsi beras per kapita tak bisa ditekan dan tetap bertahan pada angka 139,15 kilogram per tahun, negeri ini harus menyiapkan tambahan produksi beras sebanyak 4,2 juta ton selama dasawarsa mendatang. Tentu saja tak mudah.
Dewasa ini, upaya menggenjot produksi beras nasional dihadapkan pada kendala daya dukung sektor pertanian kita yang terus menurun. Faktanya sawah-sawah kita semakin lelah dan tak lagi sesubur dulu. Hal ini tercermin dari laju peningkatan produktivitas (produksi per hektar) tanaman padi yang semakin melandai dalam beberapa tahun terakhir.
Belum lagi minat para pemuda negeri ini untuk menjadi petani semakin rendah. Statistik menunjukkan sebagian besar petani kita berumur di atas 50 tahun. Penyebabnya, kegiatan usaha tani tak lagi menjanjikan kesejahteraan. Bayangkan saja, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani dari mengusahakan satu hektare tanaman padi sawah hanya sebesar Rp4,5 juta per musim tanam (sekitar tiga bulan). Itu artinya, petani bakal hidup miskin bila hanya mengandalkan pendapatan yang diperoleh dari menanam padi.
Persoalan yang juga tak kalah genting adalah luas lahan sawah negeri ini yang terus berkurang akibat alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan non-pertanian yang seolah tak tarbendung. Data statistik memperlihatkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata 100 ribu hektar lahan sawah lenyap di negeri ini, dan beralih fungsi menjadi perumahan, pabrik, kawasan industri, bahkan lapangan golf. Celakanya, pemerintah hanya mampu mengimbanginya dengan pencetakan 60 ribu hektare sawah baru setiap tahun. Itu artinya, defisit lahan sawah di negeri ini mencapai 40 ribu hektare setiap tahun. Jika kondisi ini terus berlanjut, lahan sawah di negeri ini tentu bakal lenyap dalam beberapa dekade mendatang.
Karena itu, pencapaian swasembada beras bukan melulu tanggung jawab pemerintah dan petani padi. Tapi juga merupakan tanggung jawab kita semua sebagai konsumen. Dalam pencapaian swasembada beras, mengurangi makan nasi melalui diversifikasi pangan begitu penting dan besar kontribusinya. Sama pentingnya dengan upaya menggenjot produksi beras nasional, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan luas tanam dengan mencetak sawah baru. Bedanya, menggenjot produksi sangat mahal karena menghabiskan dana hingga puluhan triliun rupiah, sementara mengurangi makan nasi hanya membutuhkan sedikit kesadaran dan pengorbanan dari kita semua.
Ayo kurangi makan nasi untuk mengembalikan kejayaan negeri ini dalam hal perberasan! Toh manfaatnya juga baik buat diri sendiri. Selain berhemat, juga baik bagi kesehatan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...