Langsung ke konten utama

Menghitung Ulang Produksi Beras Kita


Saat menyampaikan sambutannya pada Pencanangan Sensus Ekonomi 2016 dan Pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Sensus Ekonomi 2016 di Istana Negara pada 26 April 2016 lalu, Presiden Joko Widodo kembali menggarisbawahi pentingnya akurasi data sebagai pijakan pemerintah dalam memformulasi dan mengambil kebijakan terkait berbagai persoalan strategis di negeri ini. Salah satu persoalan strategis itu adalah isu importasi beras yang kerap menyulut debat publik di berbagai media cetak, elektronik, dan dalam jaringan.
Persoalan impor beras memang pelik. Keputusan terkait hal ini mesti didasarkan pada kalkulasi yang cermat dan akurat karena konsekuensi yang ditimbulkannya tidak hanya bersinggungan dengan dimensi ekonomi, tapi juga sosial dan politik.
Secara ekonomi dan sosial, persoalan impor beras tidak hanya menyangkut nasib petani padi dan keluarganya yang tingkat kesejahteraannya bakal terkoreksi akibat jatuhnya harga gabah jika impor dilakukan pada saat produksi padi melimpah, tapi juga stabilitas perekonomian nasional dan daya beli masyarakat miskin yang bakal terganggu akibat hantaman inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga beras jika impor terlambat dilakukan.
Sementara secara politik, impor beras tentu saja menyangkut harga diri kita sebagai bangsa agraris dan komitmen politik pemerintah dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di negeri ini sebagaimana telah tertuang dalam Nawacita.
Karena itu, tanpa dukungan data yang akurat, terutama data produksi padi/beras, pemerintah bakal dihadapkan pada situasi yang membingungkan ketika hendak memutuskan akan mengimpor beras atau tidak. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden Jokowi dalam sambutannya. “Beda-beda semua. Bagaimana saya akan memutuskan tidak impor beras, (kalau) datanya  meragukan,” kata beliau.
Produksi overestimate
Selama ini, salah satu persoalan yang kerap mengemuka terkait importasi beras adalah isu data produksi padi/beras nasional yang ditengarai tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Data, yang perhitungannya merupakan hasil kolaborasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian itu, diduga lebih tinggi dari kondisi sebenarnya di lapangan (overestimate).
Forum Masyarakat Statistik (FMS), lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk memberikan masukan terkait penyelenggaraan statistik resmi di negeri ini, dalam surat resminya kepada Presiden Joko Widodo  ihwal perbaikan statistik produksi beras beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa ketidakakuratan data produksi padi/beras tersebut mengakibatkan kebijakan yang diambil pemerintah—terkait beras—kurang tepat dan terlambat.
Karena itu, salah satu rekomendasi yang disampaikan lembaga yang diketuai Prof. Bustanul Arifin itu, adalah agar pemerintah dan BPS melakukan backcasting (proyeksi kilas balik) perbaikan statistik beras selama 10 tahun atau 20 tahun ke belakang. Dengan kata lain, data produksi padi/beras nasional harus dikoreksi.
Meskipun masih diperdebatkan, sebetulnya tidak begitu sulit menunjukkan indikasi kelebihan estimasi pada data produksi padi/beras nasional. Inkonsistensi dalam perhitungan neraca (produksi dan kebutuhan) beras nasional adalah salah satunya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, produksi beras nasional selalu berlebih (surplus) setelah dikurangi kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk. Surplus beras tersebut secara umum juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun lalu, surplus produksi beras nasional bahkan diperkirakan mencapai 13 juta ton jika menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114,8 kg/tahun.
Jika diakumulasikan, surplus produksi beras nasional sepanjang 2005-2015 mencapai lebih dari 80 juta ton. Itu artinya, Indonesia mestinya telah menjadi negara eksportir neto beras seperti halnya Vietnam dan Thailand dalam sepuluh tahun terakhir. 
Namun faktanya, data menunjukkan sebaliknya. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia selalu mengimpor beras yang kuantitasnya juah lebih tinggi dibanding beras yang diekspor ke luar negeri. Dengan kata lain, selama ini Indonesia adalah negara importir neto beras. Pada 2011, misalnya, impor beras kita mencapai 2,75 juta ton meski pada saat yang sama surplus produksi beras nasional diperkirakan mencapai 6,75 juta ton dan akumulasi surplus beras dari tahun 2005 nyaris mencapai 37 juta ton.
Koreksi data
Indikasi kelebihan estimasi pada data produksi padi/beras nasional juga terkonfirmasi oleh hasil Survei Kajian Cadangan Beras (KCB) yang dilakukan BPS bekerjasama Badan Ketahanan Pangan-Kementertian Pertanian pada tahun lalu. Hasil survei memperlihatkan bahwa stok beras nasional, yang tersebar di rumah tangga, pedagang, penggilingan padi, industri dan horeka, dan Bulog, mencapai 8,85 juta ton pada 30 September 2015.
Angka tersebut sebetulnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa surplus produksi beras nasional sebesar 13 juta ton pada 2015 terlalu tinggi. Hasil perhitungan dengan menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114,8 kg/tahun dan stok beras pada 30 September sebagai patokan memperlihatkan bahwa surplus produksi beras nasional pada tahun lalu hanya sekitar 5-6 juta ton.
Karena itu, koreksi terhadap data produksi padi/beras nasional merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi. Dan terkait hal ini, potensi munculnya resistensi dari pihak-pihak yang selama ini kinerjanya dievaluasi berdasarkan perkembangan data produksi padi/beras nasional harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Konflik kepentingan harus disisihkan oleh mereka yang selama ini berkepentingan dengan besaran angka produksi padi/beras nasional.
Kepercayaan penuh juga harus diberikan kepada BPS dalam melakukan koreksi data produksi padi/beras nasional. Dalam sambutannya pada Pencanangan Sensus Ekonomi 2016 dan Pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Sensus Ekonomi 2016, Presiden Joko Widodo juga menegaskan bahwa semua statistik resmi untuk penentuan kebijakan di negeri ini harus berasal dari satu sumber: BPS. "Kementerian ini ada proyek survei, kementerian ini ada proyek cari data, kementerian ini ada proyek cari informasi. Enggak. Stop! Stop! Stop! Satu data yang sekarang kita pakai, BPS," ujarnya.
Karena itu, apa pun angka yang dihasilkan oleh BPS dalam melakukan koreksi data produksi/beras nasional harus diterima oleh semua pihak sebagai rujukan dan pegangan bersama, meskipun secara politik bakal menyakitkan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga