Ada fakta menarik bila kita mengamati
perkembangan pola konsumsi pangan penduduk Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir, khususnya dalam soal pemenuhan asupan karbohidrat (carbohydrate
intake). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan,
konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia terus berkurang secara
konsisten. Hal ini tentu merupakan perkembangan yang menggembirakan. Pasalnya,
penurunan konsumsi beras per kapita sebesar 1,5 persen per tahun merupakan
salah satu target pemerintah di bidang pangan.
Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi
dengan peningkatan konsumsi komoditas pangan lokal yang merupakan sumber
karbohidrat selain beras. Tapi, yang meningkat justru konsumsi produk olahan
tepung terigu, terutama mie instan. Hasil Susenas menunjukkan, selama
periode 1996-2011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia
yang dialokasikan untuk membeli mie instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal
ini memberi konfirmasi bahwa peran mie instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat
Indonesia.
Tidak membikin heran, bila belakangan
ini mie instan merupakan salah satu komoditas yang diikutkan dalam perhitungan
garis kemiskinan. Kontribusinya pun cukup besar. Pada September 2014, misalnya,
mie instan merupakan salah satu dari lima komoditas makanan yang memberi andil
paling besar terhadap garis kemiskinan. Kontribusi mie instan di
pedesaan mencapai 2,41 persen, sementara di perkotaan mencapai 2,62 persen
(BPS, 2015).
Data World Instant Noodles
Association (WINA) juga memberi konfirmasi bahwa konsumsi mie instan
masyarakat Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013,
konsumsi mie instan masyarakat Indonesia sudah mencapai 14,9 miliar bungkus,
atau mengalami peningkatan sebesar 1 miliar bungkus bila dibandingkan dengan
konsumsi pada tahun 2009. Itu artinya, secara rata-rata setiap orang Indonesia
mengkonsumsi sekitar 60-61 bungkus atau 1,5 dus mie instan pada tahun 2013.
Tingginya angka konsumsi mie instan ini menempatkan Indonesia di posisi kedua
sebagai negara pengkonsumsi mie instan terbesar di dunia setelah Cina, yang
konsumsinya mencapai 46,2 miliar bungkus.
Celakanya, bahan baku pembuatan mie
instan adalah tepung terigu yang merupakan produk olahan gandum. Karena
gandumnya harus diimpor, tak bisa dihindari, peningkatan konsumsi mie instan
juga dibarengi dengan lonjakan impor gandum. Tidak membikin heran bila kini
Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar ke-4 di dunia setelah
Mesir, Cina, dan Brazil dengan volume impor mencapai 7,4 ton atau senilai US$3
miliar pada kurun 2013-2014 (Koran Jakarta, 12 April 2014). Itu artinya,
volume impor dan banyaknya devisa yang dihabiskan untuk impor gandum sebetulnya
lebih besar dari impor beras. Indonesia bahkan diramalkan bakal menjadi
importir gandum terbesar di dunia dalam lima tahun mendatang.
Karena itu, tren peningkatan impor
gandum harus disikapi secara serius oleh pemerintah. Sedikitnya ada dua hal
yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengerem laju peningkatan impor
gandum. Pertama, pengembangan komoditas pengganti gandum sebagai penghasil
tepung terigu harus didorong oleh pemerintah. Salah satu komoditas yang
potensial untuk dikembangkan sebagai pengganti gandum adalah sagu. Sayangnya,
komoditas ini belum sepenuhnya dilirik oleh industri, meski kandungan seratnya
lebih kaya dibanding gandum.
Kedua, pemerintah juga harus mendorong
budidaya tanaman gandum di dalam negeri. Meskipun sejatinya merupakan tanaman
sub-tropis, ada beberapa varietas gandum yang cocok dibudidayakan di iklim tropis,
sehingga sangat potensial untuk dikembangkan di tanah air. Upaya membudidayakan
gandum di Indonesia sebetulnya sudah dirintis oleh sejumlah kalangan dan
terbilang sukses. Yang dibutuhkan adalah dukungan dan upaya afirmatif dari
pemerintah untuk mendorong budidaya gandum di dalam negeri dengan skala yang
lebih luas. (*)
Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik
(BPS)
Komentar
Posting Komentar