Langsung ke konten utama

Bonus Demografi dan Peran Perempuan


Nampaknya, hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat Indonesia yang mengetahui bahwa negeri ini sedang mengalami periode yang sangat krusial, yang oleh para ahli ekonomi kependudukan disebut sebagai “bonus demografi”.
Periode bonus demografi yang sedang dialami negeri ini menjadi krusial  karena dua hal. Pertama, periode tersebut merupakan momentum yang terjadi hanya sekali seumur hidup bangsa Indonesia. Kedua, jika gagal dimanfaatkan, bonus demografi berpotensi bakal menjadi “beban demografi”, bahkan tidak menutup kemungkinan “bencana demografi”.
Secara sederhana, bonus demografi merupakan kondisi ketika struktur penduduk didominasi  kelompok usia produktif (15-64 tahun). Kondisi ini terjadi karena penurunan tingkat kelahiran secara konsisten, dan pada saat yang sama angka harapan hidup penduduk terus meningkat.
Struktur penduduk yang didominasi kelompok usia produktif atau usia kerja menjadikan angka rasio ketergantungan  (dependency ratio) mengecil. Itu artinya, beban tanggungan penduduk usia produktif menjadi berkurang.
Menurut Prof. Toening, Guru Besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia (UI), negeri ini sebetulnya  telah mengalami bonus demografi sejak akhir 1980an, yang ditandai dengan penurunan angka rasio ketergantungan. Sementara itu, hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035 yang diluncurkan BPS dan Bappenas pada tahun lalu memperlihatkan bahwa periode bonus demografi akan berlangsung hingga dua dekade mendatang.
Pada tahun 2015, angka rasio ketergantungan sebesar 48,6. Itu artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan ≥ 65 tahun). Tren penurunan angka rasio ketergantungan diproyeksikan bakal terus berlangsung hingga puncak bonus demografi terjadi pada tahun 2028-2031.
Periode singkat ini disebut puncak bonus demografi karena pada saat itu angka beban tanggungan mencapai titik terendah, yakni sebesar 47. Periode singkat ini juga disebut “jendela peluang” (window of opportunity), yang jika bisa dimanfaatkan secara optimal bakal berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Setelah puncak bonus demografi berlalu, Indonesia akan memasuki periode “utang demografi”. Angka rasio ketergantungan akan kembali naik akibat peningkatan persentase penduduk usia tua (ageing population), dan secara perlahan struktur penduduk bakal didominasi kelompok lansia.
Peran perempuan
Sebetulnya, “bonus” yang dimaksud ketika berbicara tentang bonus demografi adalah berkurangnya biaya atau porsi pendapatan yang dialokasikan untuk investasi tumbuh kembang anak. Dengan demikian, dana tersebut bisa dialihkan untuk memupuk tabungan masyarakat dan investasi yang lebih produktif.
Dengan kata lain, jika bisa dimanfaatkan secara optimal, bonus demografi berpotensi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dekade mendatang. Dan hal tersebut telah dibuktikan oleh sejumlah negera, seperti Tiongkok dan Korea Selatan.
Namun demikian, bonus tersebut tidak terjadi secara otomatis. Sedikitnya, ada empat prasyarat yang harus dipenuhi agar bonus demografi benar-benar mendatangkan bonus, bukan malah sebaliknya: beban dan bencana. Pertama, penduduk usia produktif harus berkualitas, khususnya dari segi pendidikan dan kesehatan. Jumlah penduduk usia produktif yang besar tak bakal berguna jika kualitasnya rendah dan tidak produktif.
Kedua, partisipasi perempuan dalam pasar kerja harus didorong. Secara faktual, tingkat partisipasi angkata kerja perempuan di pasar kerja masih relatif rendah. Padahal, lebih dari separuh penduduk usia produktif merupakan kaum perempuan.
Hal ini tentu saja merupakan potensi yang hilang (potential loss). Pasalnya, partisipasi kaum perempuan di pasar kerja sangat penting untuk  meningkatkan pendapatan keluarga dan memupuk tabungan masyarakat, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk investasi produktif.
Selama ini, salah satu persoalan utama yang dialami kaum perempuan ketika akan berpartisipasi di pasar kerja adalah adanya barrier to entry. Sejumlah hasil penelitian memperlihatkan bahwa menikah dan meliharkan menjadikan kaum perempuan berpeluang besar untuk keluar dari pasar kerja. Celakanya, untuk kasus Indonesia, perempuan yang berhenti bekerja karena menikah dan melahirkan bakal sulit untuk kembali masuk  ke pasar kerja. Hal ini banyak terjadi di sektor swasta. Karena itu, intervensi dari pemerintah amat dibutuhkan untuk melindungi kaum perempuan dari kehilangan pekerjaan dan kesempatan kerja.
Ketiga, pemerintah harus menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja untuk mengimbangi ledakan jumlah penduduk usia produktif. Bila tidak, tingkat pengangguran terbuka dipastikan bakal melonjak. Tentu saja, lapangan pekerjaan tersebut harus berkualitas. Pasalnya, angka pengangguran yang rendah dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tinggi tidak akan banyak memberi manfaat bila sebagian besar angkatan kerja menggantungkan hidup pada sektor informal, seperti yang terjadi saat ini.
Secara faktual, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan, meskipun tingkat pengangguran terbuka hanya sebesar 5,94 persen pada Agustus 2014, lebih dari 60 persen penduduk bekerja “mengais nasi” di sektor informal. Padahal, sektor informal identik dengan pendapatan yang rendah dan ketiadaan jaminan sosial. Karena itu, intervensi pemerintah melalui instrumen kebijakan yang mendorong iklim investasi untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja di sektor formal merupakan sebuah keniscayaan.
Keempat, tingkat kelahiran harus dikendalikan. Terkait hal ini, kesuksesan program Keluarga Berencana (KB), yang selama ini seoalah mati suri, memainkan peran yang sangat krusial. Dan lagi-lagi, peran kaum perempuan sangat menentukan.
Terwujudnya keempat prasyarat tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi. Dan hal itu tidak melalu menjadi tanggung jawab pemerintah. Secara makro, intervensi kebijakan dari pemerintah memang sangat dibutuhkan, tapi itu semua tidak cukup. Dukungan dan partisipasi kita semua—utamanya kaum perempuan—juga sangat dibutuhkan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...