Saat ini, Indonesia tengah berada dalam
bayang-bayang ancaman middle income trap. Suatu kondisi ketika
sebuah negara yang telah berhasil memasuki kelompok middle income terjebak
dalam stagnasi pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, negara tersebut tak juga
beranjak menjadi negara maju (high income country). Kondisi seperti ini
banyak dialami oleh negara-negara di kawasan Amerika Latin.
Data pertumbuhan ekonomi yang dirilis
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari lalu kian memperkuat ancaman
tersebut. BPS melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 hanya sebesar
5,02 persen. Hal itu memberi konfirmasi bahwa ekonomi Indonesia terus mengalami
perlambatan secara konsisten selama lima tahun terakhir.
Berdasarkan pengelompokkan yang
dilakukan Bank Dunia, saat ini Indonesia termasuk dalam kelompok lower
middle income countries dengan pendapatan nasional bruto (PNB) per
kapita sebesar US$3.580. PNB per kapita sebesar itu masih jauh dari PNB per
kapita minimum negara-negara kelompok high income countries yang
sebesar US$12.747. Itu artinya, bagi Indonesia, potensi untuk terjebak dalam
kelompok middle income cukup besar dan ada di depan mata.
Karena itu, tak ada jalan lain,
pertumbuhan ekonomi harus dipacu. Dan tentu saja, angka pertumbuhan ekonomi
sebesar 5 persen jauh dari memadai. Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi, setidaknya, rata-rata sebesar 6 persen per tahun
dalam dua dekade mendatang. Jika tidak, Indonesia bakal membutuhkan waktu lama
untuk bisa keluar dari kelompok middle income countries dan, boleh
jadi, mimpi untuk menjadi negara maju pada tahun 2030 bakal jauh panggang dari
api.
Untungnya, saat ini hingga dua dekade
mendatang, Indonesia sedang mengalami periode dimana struktur penduduk
didominasi kelompok usia produktif (15-64 tahun). Kondisi tersebut, oleh para
ekonom kependudukan, biasa disebut “bonus demografi”.
Jika dikelola dengan baik, struktur
penduduk yang didominasi kelompok usia produktif berpotensi menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi. Hal itu terjadi karena melimpahnya suplai tenaga kerja,
dan pada saat yang sama pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan, karena lebih
banyak penduduk yang secara ekonomi aktif di pasar kerja.
Struktur penduduk yang didominasi
kelompok usia produktif pada akhirnya akan meningkatkan tabungan masyarakat,
karena mereka dapat menabung lebih banyak sebagai akibat menurunnya porsi
pendapatan yang digunakan untuk menanggung penduduk usia tidak produktif (anak
dan lansia). Tabungan tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk investasi,
yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan
kerja.
Pengalaman sejumlah negara menunjukkan,
bonus demografi berkontribusi signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Tiongkok, misalnya, sepanjang 1960-2000 berhasil memacu pertumbuhan ekonominya
rata-rata 7 persen per tahun. Menariknya, kontribusi bonus demografi terhadap
pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mengesankan itu mencapai 9,2 persen per
tahun.
Pengalaman serupa juga dialami oleh
Thailand, bahkan jauh lebih mengesankan dibanding Tingkok. Betapa tidak,
kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Thailand—yang rata-rata
sebesar 6,6 persen per tahun sepanjang 1960-2000—mencapai 15,5 persen per
tahun.
Namun demikian, patut dicamkan bahwa apa
yang dialami oleh Tiongkok dan Thailand tidak terjadi secara otomatis. Hal
tersebut merupakan buah dari keseriusan mereka dalam mengelola bonus domografi
yang dialami. Satu hal yang pasti, kunci keberhasilan kedua negara tersebut
dalam memanfaatkan bonus demografi adalah adanya keseriusan dan komitmen yang
kuat terhadap investasi modal manusia (human capital), utamanya di
bidang pendidikan dan kesehatan.
Indonesia harus memetik pelajaran
berharga dari keberhasilan Tiongkok dan Thailand serta negara-negara lain
yang telah sukses memanfaatkan bonus demografi untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, kapabilitas (tingkat pendidikan dan kesehatan) penduduk usia
produktif, khususnya generasi muda, harus ditingkatkan. Intervesi kebijakan
dari pemeritah dalam hal ini sangat dibutuhkan. Apa gunanya jumlah penduduk
usia produktif yang besar tapi tidak berkualitas (produktivitas rendah).
Generasi muda/angkatan kerja muda (usia
15-40 tahun) juga harus dibekali dengan keterampilan, kemampuan berwirausaha,
penguasaan teknologi informasi, dan soft skill yang memadai
agar mereka dapat berkontribusi maksimal di pasar kerja. Dengan demikian,
mereka mampu menciptakan sebanyak mungkin pendapatan dan memupuk tabungan.
Dalam hal ini, kesadaran generasi muda
untuk selalu mengembangkan kemampuan dan kapasitas diri serta menghindarkan
hal-hal yang dapat merusak masa depan mereka, seperti narkoba dan
pergaulan bebas, juga memegang peran yang sangat krusial dalam menentukan
keberhasilan negeri ini dalam memanfaatkan bonus demografinya dan terhindar
dari ancaman middle income trap. (*)
Komentar
Posting Komentar