Salah satu persoalan pembangunan di Jakarta yang diwariskan oleh Joko Widodo (Jokowi) kepada gubernur yang baru, Basuki Tjahaja Purnam (Ahok), adalah kemiskinan kota (urban poverty) yang kronik dan sulit diselesaikan.
Statistik memperlihatkan, alih-alih mengalami penurunan,
tingkat kemiskinan di Ibu Kota justru mengalami peningkatan dalam setahun
terakhir. Kondisi kemiskinan saat ini bahkan lebih buruk dari kondisi
kemiskinan saat Jakarta dipimpin oleh Fauzi Bowo (Foke).
Seperti terlihat pada peraga (grafik), persentase penduduk
DKI yang hidup di bawah garis kemiskinan alias miskin mengalami kenaikan yang
cukup signifikan sepanjang Maret 2013-Maret 2014. Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan, persentase penduduk miskin di Jakarta pada Maret tahun ini mencapai
3,92 persen, atau bertambah 0,37 persen dibanding persentase penduduk miskin
pada Maret tahun lalu yang mencapai 3,55 persen dari total penduduk Jakarta.
Peraga juga menunjukkan, kondisi kemiskinan di Jakarta saat
ini jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kondisi pada September 2012 atau
pada akhir pemerintahan Foke sebagai gubernur Jakarta. Itu artinya, kinerja
Jokowi-Ahok dalam menekan angka kemiskinan selama dua tahun memimpin Jakarta
belum maksimal.
Standar kemiskinan
Dalam menghitung jumlah penduduk miskin di Jakarta pada Maret
2014, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp447.797 per kapita per bulan.
Artinya, setiap penduduk Jakarta yang memiliki pengeluaran kurang dari nominal
tersebut pada Maret 2014 bakal berkategori miskin.
Seperti diberitakan oleh sejumlah media dalam jaringan belum
lama ini, Ahok nampaknya kurang setuju dengan standar kemiskinan yang
digunakan oleh BPS tersebut (Liputan6.com, 9 Oktober). Menurut Ahok, garis
kemiskinan yang digunakan BPS terlalu rendah sehingga jumlah penduduk miskin
Jakarta jauh lebih rendah dari yang sebenarnya. Karena itu, Ahok mengusulkan
kepada BPS agar menggunakan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai standar
pengukuran kemiskinan di Jakarta. Usulan Ahok tersebut tentu saja tidak bisa
diterapkan oleh BPS dengan sejumlah alasan.
Pertama, metodologi yang digunakan BPS dalam
menghitung jumlah penduduk miskin, termasuk dalam penentuan standar/garis
kemiskinan, sudah baku dan dibangun berdasarkan proses dan obyektivitas ilmiah.
Metodologi tersebut diterapkan secara seragam pada semua provinsi di Indonesia.
Dengan demikian, ada keterbandingan data kemiskinan pada level provinsi secara
nasional.
Penentuan standar atau garis kemiskinan dalam
menghitung jumlah penduduk miskin juga tidak sesederhana yang dibayangkan.
Titik pijaknya bukan besar kecilnya garis kemiskinan yang digunakan, tapi
konsep dan definisi penduduk miskin yang digunakan. Konsep dan definisi
tersebut tidak bisa dibangun berdasarkan persepsi pribadi, tapi harus mengacu
pada konsep baku yang disepakati secara internasional.
Secara internasional, pengukuran kemiskinan yang diterapkan
di banyak negara dan juga digunakan oleh lembaga-lembaga internasional,
seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, menggunakan pendekatan moneter.
Secara sederhana, dengan pendekatan ini, penduduk miskin didefinisikan sebagai
penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs)—baik
kebutuhan makanan maupun kebutuhan non-makanan.
Dalam prakteknya, BPS kemudian menghitung garis kemiskinan
yang merupakan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Pembahasan lebih rinci mengenai perhitungan
garis kemiskinan dapat dibaca pada tulisan saya yang lain (silakan klik tautan
yang ada di bawah artikel ini).
Karena itu, konsep KHL tidak bisa digunakan sebagai dasar
perhitungan garis kemiskinan. Pasalnya, konsep “hidup layak” dan konsep
pemenuhan “kebutuhan dasar” tentu berbeda. Dan, ruang untuk memperdebatkan
kedua konsep ini—secara ilmiah—sangat terbuka.
Kedua, penggunaan KHL sebagai standard kemiskinan bakal
menghasilkan angka kemiskinan yang tidak realistis (overestimate) jika konsep
“Si Miskin” mengacu pada konsep baku yang digunakan BPS. Bila yang digunakan
sebagai standar kemiskinan di Jakarta adalah KHL, lebih dari separuh, bahkan 60
persen, penduduk Ibu Kota bakal berkategori miskin. Tentu saja ini tidak
realistis.
Seperti diketahui, KHL untuk Jakarta sebesar Rp2,4 juta per
bulan. Jika KHL sebesar ini digunakan sebagai garis kemiskinan, itu artinya,
sebuah rumah tangga di Jakarta, yang terdiri dari empat anggota, harus memiliki
pengeluaran/pendapatan per bulan minimal sebesar Rp9,6 juta agar tidak
berkategori miskin. Bayangkan, angka ini berselisih tipis dengan pendapatan per
kapita Jakarta yang mencapai Rp10,5 juta per bulan pada 2013.
Karena itu, dari pada sibuk mempersoalkan standar kemiskinan
yang digunakan BPS, Ahok sebaiknya lebih berfokus pada upaya menekan jumlah
penduduk miskin di Jakarta yang terus mengalami peningkatan dalam setahun
terakhir. (*)
Komentar
Posting Komentar