Selama ini kita acap kali disuguhi berbagai macam hasil
survei, misalnya, popularitas tokoh atau partai politik tertentu dan kepuasan
rakyat terhadap suatu lembaga negara dan pemerintah. Pertanyaannya, apakah
berbagai hasil survei yang selama ini disuguhkan kepada kita bisa dipercaya
begitu saja sebagai suatu kebenaran? Haruskah kita menelan bulat-bulat semua
hasil survei itu, tanpa melakukan verifikasi dan menerimanya sebagai
gambaran utuh tentang realitas yang sebetulnya terjadi di lapangan?
Mengapa survei dilakukan?
Kita selalu memiliki keterbatasan ketika ingin mengetahui
“suatu hal” tentang populasi. Terutama ketika jumlah elemen di dalam populasi
sangat banyak jumlahnya. Dalam ilmu statistik (statistika), “suatu hal” ini
disebut parameter. Yakni, suatu ukuran kuantitatif yang menjelaskan
karakteristik semua elemen di dalam populasi.
Bila populasi kita adalah seluruh rumah tangga di Indonesia,
yang jumlahnya mencapai 60 juta, besarnya pengeluaran per bulan dan umur kepala
rumah tangga adalah contoh karakteristik—yakni informasi yang melekat pada
setiap rumah tangga—yang sering kali ingin diketahui.
Parameter merangkum informasi mengenai pengeluaran per bulan
dan umur kepala rumah tangga dalam suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan
populasi, misalnya, rata-rata pengeluaran per bulan semua rumah tangga dan
rata-rata umur kepala rumah tangga.
Selain rata-rata, parameter juga dapat berupa total nilai
suatu karakteristik seluruh elemen di dalam populasi, dan proporsi elemen di
dalam populasi dengan karakteristik tertentu, misalnya, proporsi rumah tangga
dengan pengeluaran per bulan lebih kecil dari Rp1.000.000,-.
Dalam prakteknya, nilai parameter populasi dapat diketahui
dengan melakukan sensus. Lewat sensus, semua elemen di dalam populasi diamati
satu per satu untuk mengumpulkan informasi mengenai karakteristik yang ingin
diketahui. Contoh kegiatan sensus adalah Sensus Penduduk yang dilaksanakan
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu (SP2010).
Pada SP2010, populasi yang dimaksud adalah semua penduduk
yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada saat
sensus dilakukan. Dari SP2010 diperoleh sejumlah parameter populasi (penduduk
Indonesia pada Mei 2010), misalnya, jumlah penduduk menurut karakteristik
tertentu: jenis kelamin, umur, pendidikan yang ditamatkan, dan wilayah.
Sayangnya, ketika jumlah elemen dalam populasi sangat
banyak, sensus sering kali tidak efisien. Kita acap kali bakal dihadapkan pada
sejumlah keterbatasan dan kendala soal waktu, biaya, dan tenaga untuk
mengetahui parameter populasi. Singkat kata, sensus membutuhkan biaya yang
mahal serta waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Karena semua elemen di dalam populasi diamati, gambaran
mengenai parameter populasi yang diperoleh dari sensus sebetulnya sangat
akurat. Namun, sekali lagi, ada harga yang harus dibayar untuk itu, yakni biaya
yang sangat mahal dan sumber daya manusia (tenaga) yang tidak sedikit. SP2010,
misalnya, telah menghabiskan hampir 4 triliun uang negara dan melibatkan
sekitar 500 ribu orang petugas sensus.
Kekurangan sensus yang lain adalah kekayaan informasi
karakteristik (biasa juga disebut variabel) yang bisa dikumpulkan. Keharusan
untuk mengamati semua elemen di dalam populasi mengakibatkan proses pencacahan
berlangsung lama, dan terbatasnya varian informasi mengenai populasi yang
dapat dipotret.
Untungnya, sejumlah kelemahan sensus di atas dapat diatasi
dengan survei. Melalui survei, kita hanya perlu mengamati sebagian (kecil)
elemen populasi untuk memperoleh gambaran mengenai parameter populasi yang
ingin diketahui. Sebagian kecil elemen populasi yang diamati ini disebut
sampel, yang karakteristiknya dapat mewakili karakteristik semua elemen di
dalam populasi. Dengan demikian, gambaran mengenai nilai parameter populasi
dapat diketahui tanpa harus mengamati seluruh elemen di dalam populasi.
Gambaran mengenai parameter populasi yang diperoleh
berdasarkan karakteristik sampel pada prinsipnya hanyalah estimasi atau
perkiraan. Sehingga, dipastikan tidak akan sama persis dengan nilai parameter
populasi yang ingin diketahui.
Agar taksiran parameter populasi betul-betul akurat atau
mendekati nilai yang sebenarnya, pemilihan sampel harus mengikuti kaidah atau
metodologi tertentu. Tidak asal pilih. Secara garis besar, sampel dapat
dikatakan layak untuk merepresentasikan populasi jika didasarkan pada metode
pencuplikan sampel berpeluang (probability sampling method). Dengan metode
ini, ada jaminan bahwa setiap elemen populasi memiliki peluang untuk terpilih
sebagai sampel. Pendek kata, dari segi metodologi, sebuah survei harus
betul-betul teruji kesahihan dan keterandalannya dalam memotret populasi.
Karena itu, berbagai lembaga survei yang dewasa ini memenuhi
ruang informasi kita dengan hasil surveinya masing-masing, dituntut untuk
terbuka, gamblang, dan jelas dalam soal metodologi yang digunakan. Tanpa itu,
hasil sebuah survei tidak ada bedanya dengan info atau gosip yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah keakuratannya.
Harus skeptis
Hasil sebuah survei─terutama yang di-publish di media,
walaupun bisa saja didasarkan pada metodologi yang goyang (shaky method)─bahkan
tidak bisa dipertanggungjawabkan, memiliki magnitude yang sangat kuat dalam
mengarahkan dan memengaruhi opini publik.
Singkat kata, diperlukan sikap skeptis dari masyarakat terhadap
hasil suatu survei. Masyarakat tidak boleh langsung percaya begitu saja dan
menelan bulat-bulat hasil survey yang disuguhkan oleh lembaga survei. Harus ada
sikap kritis terhadap kesahihan dan keterandalan metodologi survei yang
digunakan.
Idealnya, ada semacam lembaga (watchdog) yang memiliki
otoritas untuk memverifikasi kesahihan dan keterandalan metodologi yang
digunakan oleh lembaga survei dalam setiap survei mereka. Selain aspek
metodologi, independensi dan obyektivitas lembaga survei juga harus dijaga dan
dikawal. Dengan demikian, hasil survei yang mereka sajikan di ruang publik
adalah potret mengenai realitas, bukan informasi yang bias dan menyesatkan.
Lembaga yang dimaksud dapat berasal dari kalangan akademisi
atau lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk menjembatani
publik yang umumnya awan tentang survei-statistik—namun di sisi lain adalah
pengguna informasi—dengan lembaga survei sebagai produsen informasi berupa
hasil survei.(*)
Komentar
Posting Komentar