Selama ini kita acapkali disuguhi berbagai macam hasil
survei, misalnya, popularitas tokoh atau partai politik tertentu, kepuasan
rakyat terhadap suatu lembaga negara dan kinerja pemerintahan saat ini, dan
yang terbaru adalah hasil survei mengejutkan dari sebuah perguruan tinggi
negeri di Jakarta: sekitar 76 persen warga Muslim Jakarta menginginkan hukum
Islam ditegakkan (Republika, 21/02/2012).
Pertanyaannya kemudian, apakah berbagai hasil survei yang
selama ini disuguhkan kepada kita bisa dipercaya begitu saja sebagai suatu
kebenaran, bukan kebetulan? Haruskah kita menelan bulat-bulat semua hasil
survei itu, tanpa melakukan cross
verification dan menerima begitu saja sebagai gambaran utuh tentang
populasi?
Mengapa survei
dilakukan?
Kita selalu memilki keterbatasan dalam memahami segala hal
tentang populasi. Dalam konteks ilmu statistik (Statistika), segala hal ini
disebut parameter, yakni karakteristik populasi yang─seringkali ─tidak
diketahui secara pasti nilainya, terutama ketika unit yang merupakan anggota
populasi sangat besar jumlahnya.
Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui
nilai-nilai parameter populasi. Pertama, dengan melakukan sensus. Lewat sensus,
semua unit yang merupakan anggota populasi diamati untuk memperoleh nilai
parameter yang ingin diketahui. Contoh kegiatan sensus adalah Sensus Penduduk
yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu (SP210).
Pada SP2010, populasi yang dimaksud adalah semua penduduk
yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada saat
sensus dilakukan, tanpa terkecuali. Dari SP2010 kemudian diperoleh sejumlah
parameter populasi (penduduk Indonesia pada Mei 2010), misalnya, jumlah
penduduk menurut karakteristik tertentu: jenis kelamin, umur, pendidikan yang
ditamatkan, dan wilayah.
Karena semua anggota populasi diamati, gambaran mengenai parameter
populasi yang diperoleh lewat sensus sangat akurat. Namun, ada harga yang harus
dibayar untuk itu, yakni biaya yang sangat mahal dan sumber daya manusia
(tenaga) yang tidak sedikit. SP2010, misalnya, telah menghabiskan hampir 4
triliun duit negara dan melibatkan sekitar 500 ribu orang petugas sensus.
Selain itu, keharusan untuk mengamati semua anggota populasi mengakibatkan proses pencacahan berlangsung lama, dan terbatasnya varian parameter populasi yang dapat dipotret.
Untungnya, sejumlah kelemahan sensus di atas dapat diatasi
melalui cara yang kedua, yakni survei. Lewat survei, kita hanya perlu mengamati
sebagian─
kecil
─anggota populasi untuk memperoleh gambaran mengenai parameter populasi
yang ingin diketahui. Sebagian kecil anggota populasi yang diamati ini disebut
sampel, yang karakteristiknya dapat mewakili parameter populasi.
Gambaran mengenai parameter populasi yang diperoleh
berdasarkan karakteristik sampel pada prinsipnya hanyalah estimasi atau
perkiraan. Dengan lain perkataan, dipastikan tidak akan sama persis dengan
nilai parameter yang ingin diketahui, maksimal mendekati.
Penting untuk diperhatikan, gambaran mengenai populasi yang
diperoleh, baik itu melalui sensus maupun survei, pada dasarnya, adalah kondisi
pada saat sensus atau survei dilakukan. Setelah sensus atau survei hasilnya
kemungkinan besar bisa berubah. Seberapa besar perubahannya? Hal ini tergantung
pada jeda waktu (lag) antara saat
hasil survei/sensus dirilis dan waktu pelaksanaan survei/sensus, serta
karakteristik yang dipotret, persepsi dan preferensi, misalnya, sangat cepat
dan mudah berubah.
Agar gambaran yang diperoleh mengenai─parameter─populasi
betul-betul akurat, pemilihan sampel harus mengikuti kaidah atau metodologi
tertentu. Tidak asal pilih. Secara garis besar, sampel dapat dikatakan layak
untuk merepresentasikan populasi jika didasarkan pada metode pencuplikan sampel
berpeluang (probability sampling method).
Dengan metode ini, ada jaminan bahwa setiap anggota populasi memiliki peluang
untuk terpilih sebagai sampel. Dan, dari sinilah sejatinya hasil survei itu
dinilai kevalidan atau keterandalannya dalam memotret kondisi populasi yang
ingin diketahui. Karena itu, siapa saja yang merilis hasil sebuah servei─lembaga
atau perorangan─wajib menyertakan secara gamblang, jelas, dan terbuka penjelasan mengenai
metodologi yang digunakan. Tanpa penjelasan mengenai hal itu, hasil sebuah
survei tidak ada bedanya dengan info atau gosip semata yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah keakuratannya.
Penggunaan metode penarikan sampel berpeluang mengharuskan
ketersedian sebuah kerangka sampel (sample
frame) yang betul-betul lengkap untuk menjamin keterwakilan semua anggota
populasi. Kerangka sampel merupakan daftar semua anggota populasi yang akan
dijadikan dasar penarikan sampel. Dalam kasus di mana unit populasi sangat
besar, keharusan untuk menyediakan frame yang
betul-betul lengkap dapat disiasati dengan melakukan pencuplikan sampel secara
bertahap (multistage sampling)─biasanya
dua tahap.
Dengan desain pencuplikan sampel secara bertahap, ketersedian frame yang betul-betul lengkap hanya perlu
dipenuhi pada penarikan sampel tahap akhir.
Terkait survei penilaian publik terhadap kinerja
pemerintahan saat ini (baik, buruk, atau biasa-biasa saja), misalnya, semua
yang disebut ‘publik’ adalah populasinya─bisa dibayangkan betapa besar
jumlahnya (ratusan juta penduduk Indonesia), dan proporsi/persentase publik
yang menilai kinerja pemerintahan saat ini baik, buruk, atau biasa-biasa saja
adalah parameter yang ingin diketahui/estimasi. Dalam kasus ini, metodologi dan
desain sampel yang digunakan harus betul-betul mengahasilkan sampel yang
karakteristiknya bisa merepresentasikan semua yang disebut publik (rakyat
Indonesia), sesuatu yang tentu tidak mudah. Defenisi mengenai publik dan
batasan-batasannya juga harus jelas, begitupula dengan referensi waktunya.
Ketersediaan frame yang lengkap, yakni
daftar identitas mereka yang akan dijadikan dasar penarikan sampel, juga sebuah
keharusan.
Harus
skeptis
Sayangnya, publik acapkali tidak terlalu memerhatikan hal-hal di
atas, atau juga mungkin tak tahu. Padahal, hasil sebuah survei─terutama yang
dipublish di media, walaupun bisa saja didasarkan pada metodologi yang goyang (shaky method)─memiliki magnitude yang
sangat kuat dalam mengarahkan dan memengaruhi opini publik.
Singkat kata, diperlukan sikap skeptis dari masyarakat terhadap
hasil suatu survei. Kita tidak boleh langsung percaya dan menelan bulat-bulat
hasil yang disuguhkan. Harus ada sikap kritis terhadap kevalidan dan
keterandalan metodologi survei yang digunakan. Saya pribadi, sebagai seorang
statistisi, tidak gampang percaya begitu saja dengan berbagai hasil survei yang
dipublish di media selama ini, kecuali setelah benar-benar yakin dengan kevalidan
dan keterandalan metodologi yang digunakan. Bagaimana dengan Anda?(*)
Salam Statistik.
Komentar
Posting Komentar