Langsung ke konten utama

Ketegasan Hatta


Nyaris saban hari dalam perjalanan pergi-pulang kantor, sambil gelantungan di atas busway  yang kian hari kian tak nyaman itu, ketika melewati Jalan Kramat Raya 106 saya selalu melempar pandang  pada sebuah gedung mungil nan sederhana. Di depan gedung itu, terdapat sebuah plank warna putih bertuliskan ‘Museum Sumpah Pemuda’. Yang karena itu sering juga disebut sebagai Gedung Pemuda.

Karena plank yang sederhana itulah, sayaseorang perantau dari daerah─jadi tahu bahwa di gedung itu ‘Sumpah Pemuda’, tonggak awal bersatunya negeri ini dalam bingkai ‘Indonesia’, diikrarkan. Bahwa di gedung sederhana itulah lagu ‘Indonesia Raya’─yang kerap membuat saya merinding ketika mendengarnya─untuk pertamakalinya oleh kreator dan komposernya Wage Rudolf (WR) Supratman diperdengarkan. Bahwa digedung mungil itu pulalah pernah tinggal tokoh-tokoh pemuda sekaliber Muhammad Yamin dan Amir Syarifuddin.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda memang telah lama berlalu. Dan satu-satunya ingatan yang tersisa dari peringatan hari bersejarah itu adalah ketika suatu pagi, 28 Oktober tahun lalu, busway yang saya tumpangi berhanti nyaris setengah jam akibat kemacetan─yang menyebabkan saya telat masuk kantor ─yang terjadi di sepanjang Jalan Keramat Raya menuju Senen. Pemicu dari kemacetan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang dihelat di depan Gedung Pemuda.

Saat mengamati sekilas gedung ‘keramat’ di Jalan Kramat Raya itu dari atas busway, ingatan saya selalu kembali tertuju pada buku-buka pelajaran sejarah yang kerap saya baca saat SD dulu, yang mengisahkan cerita-cerita heroik─penuh keteladanan─dari para pemuda negeri ini ‘tempo doeloe’.

Mereka adalah young thinker yang tahu betul bagaimana mengejawantahkan kata nasionalisme dalam kehidupannya. Sosok-sosok manusia idealis yang tulus ikhlas berjuang dengan mengorbankan jiwa serta raga demi kemerdekaan negeri ini. Mereka adalah sosok-sosok bersahaja sesederhana Gedung Pemuda di Jalan Keramat itu, yang jauh dari sifat kerakusan, yang tak mungkin tega merampok bangsa dan negeranya sendiri seperti yang ditunjukkan oleh banyak elite negeri ini.

Mereka adalah generasi emas bangsa ini, yang tentu saja amat berbeda dengan segerombolan pemuda─katanya mahasiswa─yang saya saksikan di depan kampus UPI Salemba tempo hari, yang saling lempar batu dan memaki dari kejauhan dalam sebuah ajang tawuran, saling mencederai sesama bangsa sendiri. Atau sekelompok mahasiswa yang saya tonton di televisi tempo hari yang seolah tak pernah belajar bagaimana cara menghargai pemimpinnya, yang menginjak-injak dan membakar foto presidennya sendiri, karena kecewa terhadap kinerja pemerintah yang memang mengecewakan ini.

Para pemuda negeri ini tempo doeloe adalah orang-orang terpelajar, cerdas, dan tercerahkan. Mereka adalah orang-orang yang sopan dan arif─jauh melebihi usianya─dalam bersikap dan bertutur kata. Mereka tahu betul bagaimana seharusnya menjadi manusia Indonesia yang betul-betul Pancasilais dan berbudaya. Mereka adalah mata rantai penting nan menentukan dalam perjalanan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan.
****
Ketegasan Hatta
Suatu ketika, puluhan tahun yang lalu, jauh sebelum Republik ini merdeka, di Den Hag negeri Belanda sana, seorang pemuda asal Bukittinggi sedang diadili karena kegetolannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Oleh majelis hakim dia dicecar sujumlah pertanyaan yang salah satunya menanyakan, apakah dia dan kawan-kawan seperjuangannya mampu mengurus negara Indonesia yang merdeka. Dengan tegas dan lantang, tampa rasa ragu sedikit pun di wajahnya, pemuda Minang itu menjawab:  “Kalaupun tak mampu, itu bukan urusan Anda. Kami lebih suka melihat Nusantara musnah di bawah lautan daripada menjadi embel-embel Hindia Belanda”.

Sebuah jawaban yang membuat saya merinding. Dan pemuda itulah adalah Hattabukan Hatta Rajasa─sang poklamator kemerdekaan negeri ini. Hatta adalah salah satu dari sekian banyak tokoh tempo doeloe bangsa ini yang begitu memukau ketika mudanya. Yang seharusnya dan sudah sepatutnya ditiru dan digugu oleh pemuda negeri ini. Seandainya pemuda negeri ini seperti Hatta, tentu kita tidak akan kekurangan tokoh pemimpin muda berintegritas seperti yang terjadi dewasa ini.

Ketegasan Hatta yang berpadu padan dengan kecerdasan dan nalar tajamnya juga ditunjukkannya dalam pertarungan intelektual melawan para cendikiawan dan akademisi Belanda perihal keabsahan penggunaan kata ‘Indonesia’ untuk sebuah negara merdeka dan berdaulat terlepas dari embel-embel Hinda Belanda. Saat itu, sebagaimana dikisahkan Daoed Joesoef dalam bukunya, dengan bahasa Belanda yang teratur dan penalaran akademis yang baik (correct), dia melayani secara tertulis semua argumen penolakan dan sanggahan yang dilontarkan oleh para cendikiawan dan akademisi Belanda. Padahal waktu itu, Hatta muda masih berstatus sebagai mahasiswa di Handelshogeshool Rotterdam. Sungguh sangat mengagumkan. Tidak salah kalau Daoed Joesoef menyebut apa yang dilakukan Hatta ini merupakan kemampuan intelektual yang praktis jarang sekali dimiliki oleh mahasiswa seusia dia dewasa ini.

Hatta yang begitu memesona adalah manusia biasa. Dia juga tumbuh dan lahir di negeri bernama Indonesia ini. Bukan tokoh yang diutus Tuhan dari langit. Tetapi mengapa begitu sulit menemukan sosok Hatta-Hatta muda di negeri ini? Masih adakah Hatta-Hatta muda itu di negeri ini? Pertanyaan yang sudah barang tentu tidak perlu dijawab, tetapi dibuktikan oleh kita yang muda-muda.

Sumber Tulisan : Pikiran dan Gagasan Daoed Joesuf: 10 Wacana Tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama (Buku, Kompas)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...